Jawaban:
1. Definisi hibah, menurut Pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam
(“KHI”), adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan
dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Dari
cerita Anda, sebelum wafat ayah Anda menghibahkan kepada ketiga anaknya
masing-masing sebuah rumah. Anda juga mengatakan bahwa rumah yang
dihibahkan kepada Anda lebih besar daripada dua rumah lainnya yang
diberikan kepada dua kakak perempuan Anda.
Berkaitan
dengan hal tersebut, Nabi Muhammad saw. memang menganjurkan agar
orangtua menyamaratakan pemberian kepada anak-anaknya. Hal ini tercermin
dalam hadits riwayat dari al Thabrani dan al Bayhaqi dari Ibn Abas RA.
bahwa Nabi saw. pernah bersabda yang artinya:
“Samakanlah
pemberian yang kamu lakukan terhadap anak-anakmu; dan sekiranya hendak
melebihkan, maka hendaklah kelebihan itu diberikan kepada anak
perempuan.”
Meski
demikian, sikap ayah Anda yang semasa hidupnya memberikan kepada Anda
rumah yang lebih besar daripada yang diberikan kepada kedua kakak Anda,
tidak dapat dipersalahkan.
Di
sisi lain, Anda tidak menjelaskan apakah hibah rumah tersebut dilakukan
sesuai prosedur yang semestinya. Untuk diketahui, menurut hukum, hibah
atas tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta yang dibuat Pejabat
Pembuat Akta Tanah (“PPAT”). Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah:
“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
2. Yang dilakukan oleh Ayah anda adalah hibah yang juga diatur Pasal 1666 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut:
“Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali,
untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu.
Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang
yang masih hidup.”
3. Selanjutnya,
Anda menceritakan bahwa setelah ayah Anda meninggal kedua Saudara
perempuan Anda ingin agar harta waris ayah Anda dibagi sesuai hukum
Islam.
Dalam
hukum waris Islam, pada prinsipnya pembagian terhadap anak laki-laki
lebih besar dari anak perempuan. Hal ini berdasarkan ketentuan dalam Pasal 176 KHI yang menyatakan sebagai berikut :
“Anak
perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang
atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan
apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian
anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.”
Jika
keinginan kedua saudara perempuan Anda tersebut berkaitan dengan hibah
yang telah diterima dari ayah Anda, maka kita dapat merujuk pada
ketentuan Pasal 211 KHI yang menyatakan bahwa hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Penjelasan mengenai Pasal 211 KHI, berikut kami kutip uraian Drs. Dede Ibin, S.H. (Wkl. Ketua PA Rangkasbitung) dalam tulisannya berjudul Hibah, Fungsi dan Korelasinya dengan Kewarisan (diunduh dari www.badilag.net):
“Pengertian
‘dapat’ dalam pasal tersebut bukan berarti imperatif (harus), tetapi
merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan
sengketa warisan. Sepanjang para ahli waris tidak ada yang mempersoalkan
hibah yang sudah diterima oleh sebagian ahli waris, maka harta warisan
yang belum dihibahkan dapat dibagikan kepada semua ahli waris sesuai
dengan porsinya masing-masing. Tetapi apabila ada sebagian ahli waris
yang mempersoalkan hibah yang diberikan kepada sebagian ahli waris
lainnya, maka hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai harta warisan,
dengan cara mengkalkulasikan hibah yang sudah diterima dengan porsi
warisan yang seharusnya diterima, apabila hibah yang sudah diterima
masih kurang dari porsi warisan maka tinggal menambah kekurangannya, dan
kalau melebihi dari porsi warisan maka kelebihan hibah tersebut dapat
ditarik kembali untuk diserahkan kepada ahli waris yang kekurangan dari
porsinya.”
Kalaupun
para ahli waris, terutama Anda dan kedua saudara perempuan Anda, masih
belum dapat bersepakat mengenai harta warisan ayah Anda, maka hal
tersebut dapat diselesaikan melalui Pengadilan Agama. Hal ini sesuai
dengan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU 3/2006”), yang berbunyi:
Pengadilan
agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.”
Demikian jawaban dari kami, semoga dapat bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
2. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
3. Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
0 comments:
Post a Comment