dari www.hidayatullah.com Senin, 2 Juli 2012 - 07:00 WIB; ilustrasi dari koleksi Blog Domus
Assalamu ‘Alaikum Wr.WbUstaz, bagaimana pandangan Islam terhadap anak yang meminta harta dari orangtua (dengan dalih sebagai warisan), padahal orang tersebut masih hidup? Kedua, bagaimana hukumnya apabila ternyata anak tersebut masih berlanjut meminta bagiannya dari harta yang lain lagi, padahal dia telah menerima bagian dari pembagian harta yang telah dibagi sebelumnya?
Ketiga, bagaimana kedudukan dalam hukum Islam atas harta yang dihibahkan kepada satu anak dengan persetujuan semua pihak. Apakah ahli waris yang lain gugur? Dan jika tidak gugur bagaimana porsi pembagiannya? Mohon kiranya penjelasan disertai dalil-dalil sahih. Terima kasih.
Wassalamu ‘Alaikum Wr.Wb
Ima Riestandry K
Surabaya
Wa’alaikum Salam Wr.Wb.
Bagi yang tahu apa yang dimaksud dengan harta warisan, tentu hal itu sangat aneh. Tetapi mungkin anak itu belum tahu bahwa yang namanya harta warisan adalah harta yang ditinggalkan seseorang setelah terbukti wafat, baik orangtua, saudara maupun kerabat lain. Artinya, bila orangtua masih dalam kondisi hidup, status semua harta tersebut adalah miliknya. Belum ada secuil pun yang dikatakan harta warisan, serta tak seorang pun di antara anaknya yang telah berhak atas harta tersebut atas nama warisan.
llah berfirman: ”Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (al-Nisa’ : 7). Firman Allah ini begitu tegas menyatakan bahwa anak itu hanya berhak atas ”harta peninggalan”. Harta itu dikatakan ”harta peninggalan” orangtua, bila orang tersebut telah meninggal.
Hukum meminta harta warisan dari orangtua pada saat hidup secara khusus, memang tidak ada, tetapi yang jelas yang demikian adalah permintaan yang bukan haknya dan belum saatnya. Di samping itu, ada hal lain yang perlu dicermati, yaitu sisi etika. Tatkala seorang anak meminta warisan, sementara orangtua masih hidup, mengandung pelanggaran etika yang mendalam, yaitu adanya ketidaksabaran dari anak atas masih hidupnya orangtua, sehingga warisan itu harus diminta sebelum waktunya.
Makna lain yang termasuk dalam tindakan itu adalah, adanya unsur harapan orangtua agar segera meninggal. Dua sikap demikian, tentu sangat menyakitkan orangtua, yang secara hukum jelas haram, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah: ”Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (al-Isra’: 23).
Kedua, secara hukum apa ia peroleh di awal tidak dapat dikatakan warisan –maksimal hanya dikatakan hibah–, maka dari itu harta yang diberikan tidak dapat menggugurkan hak warisan itu, kecuali ia mensyaratkan diri demikian.
Ketiga, pada dasarnya pemberian orangtua kepada anak harus sama, kecuali ada kondisi yang menghendaki untuk dibedakan secara adil alias proporsional. Nabi bersabda: ”Berbuat adillah kalian kepada anak-anak kalian. Berbuat adillah kalian kepada anak-anak kalian” (HR. Abu Dawud dan al-Nasa’i).
Dalam riwayat lain Nabi bersabda: ”Berbuat adillah kalian kepada anak-anak kalian dalam memberi (nahal), sebagaimana kalian menyukai mereka untuk berbuat adil kepada kalian dalam berbakti dan menyayangi.” (HR. Ibn Hibban, al-Baihaqi dan al-Thabrani). Bila kemudian semua anak telah sepakat bahwa semua bagiannya diberikan untuk salah seorang di antara mereka, berarti mereka tidak berhak lagi untuk mewarisi apa yang semestinya menjadi bagian warisannya.Wallahu a’lam bishshawab.*
Rep: Administrator
Editor: Cholis Akbar
0 comments:
Post a Comment