- Diberi tahu agar pindah
- Itu tidak nguwongke (menghargai) orang lain
- Tidak hormat pada yang tua
- Kasih tahu anak-cucu agar tak begitu dengan demikian akan jadi contoh bagi teman-temannya
- Dalam kenyataan sebenarnya dicuekin sehingga dibiarkan
- Itu tidak patas, mengganggu orang lain, dan membuat risih
- Kejadian-kejadian seperti itu mengingatkan pentingnya pendidikan sopan-santun ala budaya timur
- Hal ini memang memprihatinkan. Generasi kini tak berakhlak karena jadi korban tak adanya pelajaran budi pekerti sehingga menjadi korban sistem
- Semuanya diakibatkan orang tua lupa sehingga mengabaikan pentingnya penanaman budi pekerti atau sopan santun
- Itu adalah tanggungjawab orang tua dan pendidik
- Semua karena sudah tak berpikir empan papan (tahu bagaimana menempatkan diri)
- Barangkali semua adalah pengaruh budaya barat seperti seorang gadis men"tato" punggung bagian bawah.
1. Kebersamaan
dalam Masyarakat
Dua
golongan dalam masyarakat Jawa
Pola
hidup bersama dalam masyarakat amat ditentukan oleh tata budayanya. Kebudayaan berkaitan dengan pandangan hidup
warga masyarakat dalam menata hubungan satu sama lain. Dalam masyarakat Jawa
ada warisan nilai-nilai budaya yang sadar atau tidak sadar membagi orang-orang
dalam dua kelompok: 1) Wong cilik
(massa rakyat), dan 2) Wong gedhé
(kaum elit). Wong gedhé adalah
golongan yang menetukan tata hidup bersama, karena golongan inilah yang
memegang hubungan struktural kehidupan umum. Menjadi kaum elit adalah cita-cita
umum, karena dengan masuk kelompok wong
gedhé orang mendapatkan kesempurnaan hidup. Untuk menjaga kesempurnaan, wong gedhé akan menjaga diri agar tidak
jatuh masuk golongan wong cilik.
Menjaga
keselarasan adalah paling pokok
Baik
wong cilik maupun wong gedhé kesemuanya memiliki prinsip dasar untuk hidup,
yaitu menjaga “keselarasan” (harmoni sosial). Segala hal yang membuat dan
bahkan memungkinkan adanya konflik dipandang buruk dan berbahaya. Apapun yang
baru harus diwaspadai agar tidak mengganggu keselarasan hidup bersama. Penghayatan
akan keselarasan ini dihayati secara berbeda di antara golongan wong cilik dan golongan wong gedhé.
Sekalipun
menyangkut mayoritas massa rakyat, kebersamaan golongan wong cilik menekankan hidup “paguyuban”. Di dalam paguyuban yang
ditekankan adalah hubungan personal yang hangat sehingga iklim kesemartabatan
amat kenthal. Pola hidup padha-padha
(sama derajat) dan gotong royong
(kerjasama) menjadi prinsip yang menyuburkan hidup bersama. Di sini sikap
“rukun” amat dijunjung tinggi.
Di
kalangan wong gedhé, yang dalam
masyarakat tradisional disebut golongan
priyayi, pola organisasi menjadi kerangka hubungan satu sama lain. Hubungan
antar orang ditentukan oleh status struktural (posisi) dalam tata
institusional. Dengan suasana seperti ini sikap “hormat” menjadi nilai yang
dijunjung tinggi.
2. Sopan-Santun dan
Sikap Hormat
Di
dalam kehidupan orang Jawa ada ucapan désa
mawa cara, negara mawa tata (desa menggunakan kebiasaan, kota menggunakan
aturan). Orang desa (kalangan orang kecil) untuk menjadi baik cukup dengan
menjalani berbagai kebiasaan. Sementara itu untuk menjadi sempurna orang harus
mampu hidup sebagaimana diajarkan dan diatur oleh orang-orang cerdik pandai dan
kuasa (kalangan orang elit). Di kalangan kaum elit segala gerak dan kata-kata
dalam hubungan satu sama lain diatur sesuai dengan posisi masing-masing. Di
sinilah letak kepentingan sopan santun,
yaitu tatanan perilaku untuk hubungan
antar orang sesuai dengan posisi strukturalnya. Dengan demikian sopan
santun bukan pola untuk hubungan personal, yang menekankan hubungan hati,
sebagaimana dalam keluarga dan paguyuban. Memang, di kalangan orang Jawa sopan
santun juga menjadi cara untuk menjalin hubungan dengan orang yang belum
dikenal dan atau untuk menjaga jarak personal.
Satu
hal yang perlu dimengerti adalah pola hubungan Jawa yang menekankan rasa
kekeluargaan. Panggilan antar siapapun yang tidak ada hubungan darah biasa
menggunakan khasanah sebutan keluarga seperti “bapak, ibu, mbah, eyang, budhé,
pakdhé, paklik, bulik, mas, mbak, dik ...” Ini berbeda dengan hubungan orang
Barat yang kepada orang lain menggunakan sebut “tuan, nyonya, nona”. Dengan
latar belakang seperti ini sopan santun bukan hanya dilakukan oleh yang lebih
rendah kepada yang lebih tinggi dan lebih muda kepada yang lebih tua. Semua
menjalani sopan santun:
·
Yang
“bawah” dengan sikap ajrih-asih,
·
Yang
“atas” dengan sikap ngrengkuh.
3. Sopan-Santun dan
Perubahan Zaman: Sebuah Soal
Dalam
kenyataan hidup masyarakat selalu berubahan sejalan dengan perubahan zaman. Ada
zaman agraris (hubungan orang ditentukan oleh kesatuan dan persatuan suku).
Dari agraris zaman berkembang dan berubah karena munculnya masyarakat industri
(hubungan orang terbuka pada rasa kebangsaan). Dan kini orang berada dalam
zaman global (orang masuk dalam hubungan jejaring dunia).
Satu
hal yang harus terjaga, sekalipun ada perubahan zaman, adalah penghayatan
nilai-nilai budaya. Bangsa yang tidak menjaga penghayatan nilai-nilai budaya
akan mengalami kehidupan yang kacau. Dalam hal ini yang disebut nilai-nilai
budaya adalah sikap kejiwaan dan bukan bentuk ekspresi atau ungkapan dan
pewujudan diri. Bentuk-bentuk ekspresi akan dipengaruhi oleh kenyataan yang
dihadapi. Berkaitan dengan sopan santun, barangkali yang menjadi pertanyaan
adalah:
Bagimana
orang harus berekspresi dan menangkap ekspresi orang lain
yang
mengandung rasa hormat?
0 comments:
Post a Comment