Catatan: Artikel ini ditayangkan dalam rangka mencari wawasan untuk tambahan dalam pembicaraan seminar "Geger Warisan" di Domus Pacis Minggu 5 Oktober 2014
oleh I Ketut Merta Mupu dalam Kompasiana 1 Oktober 20112
Berbicara
kehidupan bermasyarakat seringkali kita berhadapan dengan kesenjangan
sosial. Di Bali sebagian besar beraggapan bahwa kaum perempuan sering
ditindas dan tidak dihargai terutama persoalan pembagian waris. Hal
ini disebabkan sistem kekeluargaan yang dianut di Bali. Suatu sistem
apabila tidak dipahami secara benar maka akan melahirkan anggapan yang
keliru bahkan menyesatkan.
Waris memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Hukum
waris adalah bagian dari hukum kekayaan, akan tetapi erat sekali
kaitannya dengan hukum keluarga, karena seluruh pewarisan menurut
undang-undang berdasarkan atas hubungan keluarga sedarah dan hubungan
perkawinan. Dengan demikian, hukum waris termasuk bentuk campuran antara
bidang yang dinamakan hukum kekayaan dan hukum keluarga.
Masyarakat
adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau kebapaan yang
lebih dikenal luas dalam masyarakat Bali dengan istilah kepurusaan atau purusa[1]. Kepurusaan tidak selalu keturunan berdasarkan garis laki-laki, adakalanya berdasarkan garis perempuan, terutama dalam perkawinan nyentana, ini terjadi bilamana sebuah keluarga tidak memiliki keturunan laki-laki. Seperti yang dinyatakan Ketut Sri Utari dalam makalah “Mengikis Ketidakadilan Gender Dalam Adat Bali[2]”, ia mengungkapkan sistim kewarisan menurut garis purusa yang sepenuhnya tidak identik dengan garis lurus laki-laki, karena perempuan pun bisa menjadi “Sentana Rajeg” sebagai penerus kedudukan sebagai kepala keluarga dan penerus keturunan keluarga.
Prinsip-prinsip dalam kekeluargaan kepurusa sama dengan sistem kekeluargaan yang dianut dalam kitab Manawa Dharmasastra, yang dikenal sebagai salah satu kitab Hukum Hindu[3]. Hal ini tidak terlepas dari agama yang dianut mayoritas penduduk
masyarakat Bali. Sistem kekeluargaan ini dalam ilmu hukum disebut sistem
kekeluargaan patrilineal, sistem kekeluargaan ini dianut dalam
masyarakat Batak, Nias, Sumba dan beberapa daerah lainnya. Demikian juga
halnya dalam pewarisan ternyata prinsip-prinsip pewarisan hampir serupa
dengan ketentuan kitab Manawa Dharmasastra,
hanya saja sedikit terjadi penyimpangan, dimana dalam Hukum Hindu
perempuan mendapat seperempat, sedangkan di Bali perempuan tidak
mendapat warisan.
Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, kaum perempuan mulai menuntut kesetaraan[4]
khususnya dalam hal pewarisan. Sebagian perempuan Hindu Bali
menghendaki adanya pembagian warisan yang sama antara laki-laki dan
perempuan, hal ini dianggap sebagai sebuah keadilan.
Di
Indonesia, sistem pewarisan menggunakan tiga sistem yaitu (1) sistem
hukum waris Islam, (2) sistem hukum kewarisan perdata barat dari Burgerlijk Wetboek (BW) atau umum dikenal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
(3) sistem hukum adat. Tampaknya tuntutan pembagian warisan yang sama
antara laki-laki dan perempuan dipengaruhi sistem kewarisan dalam hukum
kewarisan perdata barat (BW), dimana keturunan laki-laki dan perempuan
mendapat warisan yang sama. Sedangkan di Bali sistem kewarisan
menggunakan sistem kewarisan adat yang dijiwai Hukum Agama Hindu.
Berbicara
warisan memang seolah-olah ada kesenjangan didalam hukum adat Bali,
tetapi sebenarnya tidak demikian. Berbicara warisan adalah berbicara hak
dan kewajiban. Perempuan Bali pada umumnya hanya sedikit mendapatkan
warisan bahkan hampir tidak mendapat warisan sedangkan lelaki mendapat
warisan lebih besar. Perempuan yang kawin adalah wajar mendapat sedikit
warisan dari orang tua kandungnya karena ia akan melakukan kewajiban di
rumah suaminya dan mendapat warisan bersama sang suami. Sedangkan
seorang laki-laki akan melaksanakan kewajiban yang besar terhadap
leluhurnya misalnya upacara “ngaben”, sehingga wajar ia mendapatkan
warisan lebih besar pula.
Menurut Ketut
Sri Utari (2006), Konsep warisan dalam hukum adat bali memiliki beda
makna dengan warisan dalam pengertian hukum barat, yang selalu merupakan
hak dan bersifat materiil atau memiliki nilai uang. Di Bali warisan
mengandung hak dan kewajiban yang tidak bisa ditolak bersifat materiil
maupun inmaterial. Laki-laki menerima warisan biasanya berupa:
1) Kewajiban terhadap Desa Adat
2) Kewajiban menjaga kelangsungan ibadah pura, pemerajan yang bersifat dewa yadnya
3)
Kewajiban melakukan manusia yadnya dan pitra yadnya terhadap anggota
keluarga, orang tua maupun saudari perempuannya yang janda atau gadis.
4) Kewajiban melanjutkan keturunan dengan memiliki anak kandung atau anak angkat
5) Mewarisi harta kekayaan keluarga sebaliknya juga semua hutang piutang.
6) Memelihara hidup anggota keluarga termasuk saudari-saudari yang menjadi tanggungjawabnya.
Dari
6 angka di atas ternyata 5 merupakan kewajiban dan hanya satu hak
mewaris harta kekayaan. Akan sangat beruntung anak laki-laki bila orang
tua kaya, tetapi lebih banyak yang apes/tidak beruntung bila hidup
mereka pas-pasan dan bahkan bila sangat miskin seperti itu,
tanggungjawab tetap harus dipikulnya[5].
Apabila
berbicara warisan tidak berpedoman pada hak dan kewajiban maka akan
terjadi kesesatan dalam berpikir. Seperti beberapa daftar kewajiban
utama keturunan laki-laki maka dapat disimpulkan kewajiban dan tanggung
jawab keturunan laki-laki begitu berat. Sehingga wajar mendapat warisan
lebih besar.
Selain
itu sebenarnya hukum Hindu (adat) juga tidak melarang orang tua memberi
hibah berupa tanah untuk anak perempuannya yang kawin, inilah yang
disebut dengan harta tatadan, tentu wewenang sepenuhnya ada pada orang tua. Seorang
perempuan Hindu yang kawin juga mendapat “bekel” atau harta bawaan dan
apabila ditinjau dari sudut pandang hukum Hindu perempuan mendapat
bagian warisan seperempat dari keturunan laki-laki.
Sebagai akibat hukum yang timbul atas pemberian harta tatadan, harus merawat orang tua nantinya kalau ia sudah sakit-sakitan sebagai wujud bhakti anak terhadap orang tua dan juga harus memelihara harta tatadan yang diberikan oleh orang tuanya. Dikemudian hari, bilamana diperlukan oleh orang tuannya, niscaya dapat dimanfaatkan. Hal ini wajar sebab sudah merupakan hukum siapa yang menerima hak maka akan melakukan kewajiban.
Apabila
kita bandingkan dengan sistem kewarisan perdata barat (BW) yang hanya
berorientasi pada pembagian harta benda saja memang tampak pembagian
warisan hukum Hindu maupun hukum adat Bali seolah-olah tidak adil.
Tetapi apabila dilihat dari hak dan kewajiban justru pembagian warisan
yang sama bukanlah sebuah keadilan melainkan ketidak adilan. Bagimanapun
juga adat ketimuran selalu mengedapankan kewajiban kemudian hak
mengikuti. Demikian pula halnya dalam hukum waris, siapa yang menanggung
kewajiban maka ia pula yang mendapatkan hak, dalam hal ini hak berupa
warisan.
Seharusnya
perempuan merasa beruntung menjadi individu yang bebas mengekspresikan
dirinya, tak terikat kewajiban keluarga akibat hukum tidak menerima hak
berupa warisan.
Perlu
ditekankan kembali bahwa pada dasarnya warisan bukan untuk dibagi-bagi
melainkan untuk dipelihara dan dijaga bersama, terutama warisan yang
berupa tanah dan pura keluarga. Selain itu pula berdasarkan “Peraturan (Peswara) tanggal,
13 Oktober 1900 tentang hukum waris berlaku bagi penduduk Hindu Bali
dari Kabupaten Buleleng” dikeluarkan oleh Residen Bali dan Lombok dengan
permusyawarahan bersama-sama Pedanda-pedanda dan punggawa-punggawa[6],
pasal 1 ayat 2 dnyatakan “Sebelum pengabenan diselenggarakan, dilarang
melakukan pembagian atas harta peninggalan itu atau melepaskan
(mendjual, menggadaikan, dsb), ketjuali untuk keperluan tersebut’.
Selanjutnya pasal 2 ayat 1 dinyatakan pula bahwa sisa dari pembiayaan
tersebut digunakan untuk keperluan-keperluan keluarga yang ditinggalkan
(mungkin maksudnya istri sang pewaris, anak angkat, dsb).
Catatan Kaki
[1]
R Soepomo, 1977, hal 51 dalam Wayan P. Windya, Pengantar Hukum Adat
Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas
Udayana, 2006, hal 78.
[2]
Disajikan (untuk urun pendapat) dalam Temu Ilmiah II Asosiasi Pengajar
dan Peminat Hukum Berspektif Gender se Indonesia ( APPHGI). Tgl 18-20
September 2006, di Hotel Santika Jln Pandigiling 45 Surabaya
Telp.031-5667707 . dalam http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/mengikis%20ktdkad%20gender%20ad.pdf . Diakses 22 september 2012.
[3]
Wayan P. Windya, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan
Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2006, hal 78-79.
[4] Pada
hakekatnya memang laki-laki dan perempuan kedudukannya setara, tetapi
apabila berhubungan dengan hak dan kewajiban maka akan berbeda,
tergantung besar kecilnya kewajiban, seperti dinyatakan didalam Manu
Smerti 9.133 yang berbunyi “Tidak ada
perbedaan putra laki-laki dengan putra (anak) perempuan yang diangkat
statusnya, baik yang berhubungan dengan masalah duniawi ataupun masalah
kewajiban suci. Karena bagi ayah dan ibu mereka keduanya lahir dari
badan yang sama”
[5] Ketut Sri Utari, Loc Cit
0 comments:
Post a Comment