Program
“Jagongan Iman” yang ditawarkan oleh Domus Pacis bertambah satu kelompok
sebagai peminat. Dua belas orang (8 ibu dan 4 bapak) dari Lingkungan Santo
Petrus Murangan Timur, Paroki Medari, berkumpul di rumah Bapak Bari pada Minggu
14 September 2014 dari jam 16.00-18.00. Kesemuanya adalah kesepuhan (golongan tua) dan banyak yang pensiunan. Akan tetapi
mereka adalah warga Katolik yang masih aktif ikut terlibat dalam masyarakat dan
Gereja.
Program
“Jagongan Iman” bertujuan untuk ambil bagian dalam pendampingan iman kaum tua
untuk menjadi kaum tua pewarta. Dengan pendampingan ini para peserta damping
diharapkan mampu mewujudkan iman dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga,
pergaulan dengan tetangga-tetanggan, dan kalau masih bekerja dengan teman-teman
kerja. Untuk kepentingan ini Syahadat
Katolik menjadi pegangan pokok dengan pegangan Katekismus Gereja Katolik. Dalam pertemuan pertama, dari program 12
kali pertemuan, para peserta disodori pertanyaan:
Bagaimana
keyakinan “Aku percaya akan Allah,
Bapa
yang Mahakuasa Pencipta langit dan bumi” dijalani dalam hidup sehari-hari
dalam
keluarga, pergaulan dengan tetangga, dan kalau masih bekerja dengan teman-teman
sekerja?
Terhadap
pertanyaan itu para peserta di Murangan Timur diminta untuk berbicara dengan
teman duduk dekatnya. Sesudah itu mereka menyampaikan hasil pembicaraan. Rama
Bambang menemukan tiga hal yang dipakai untuk merangkum pengalaman yang sudah
dijalani:
- Olah batin. Ini muncul dari yang sudah dilakukan: berjuang menciptakan suasana tentram dan damai; menjaga perilaku sebagai putra-putri Tuhan; berjuang hidup ngemperi Allah (meneladan jejak Tuhan); berjuang mengembangkan jiwa tidak saling balas seperti dalam ajaran yang didapat dari pewayangan; berjuang menjadi teladan.
- Kesaksian. Ini berkaitan dengan tindakan kongkret: ikut terlibat dalam hidup masyarakat; membantu beasiswa dan memberi pinjaman orang tak mampu untuk membangun usaha; menerima pasangan hidup baik dan buruknya; mengajak anak ke gereja dan menganjurkan ikut misdinar dan mudika; terlibat dalam masyarakat dengan tidak membawa “bendera Katolik”; tidak membeda-bedakan tukang-tukang yang bekerja; mencintai dan mengembangkan tanaman sebagai sarana mengembangkan “obat alami” untuk menghadirkan pembelajaran dalam masyarakat.
- Kenabian. Ini berkaitan dengan sikap kritis dalam hidup bermasyarakat sehingga kalau baik akan meneguhkan dan kalau tidak baik berani meneguhkan. Pengalaman yang muncul: tidak ikut ngrumpi dan kalau perlu menegur; mengakui kebaikan orang lain dan tidak iri; berani menegur tindakan yang tidak baik.
Karena
dalam pembicaraan pengalaman kata “cinta” dan “putra/putri Allah” banyak
dijadikan dasar dari mayoritas tindakan, Rama Bambang membacakan dan mengulas Katekismus Gereja Katolik no. 239:
“Kalau
bahasa iman menamakan Allah itu "Bapa", maka ia menunjukkan terutama
kepada dua aspek: bahwa Allah adalah awal mula segala sesuatu dan otoritas yang
mulia dan sekaligus kebaikan dan kepedulian yang penuh kasih akan semua
anak-Nya. Kebaikan Allah sebagai orang-tua ini dapat dinyatakan juga dalam
gambar keibuan, yang lebih menekankan imanensi Allah, hubungan mesra antara
Allah dan ciptaan-Nya. Dengan demikian bahasa iman menimba dari pengalaman
manusia dengan orang-tuanya, yang baginya boleh dikatakan wakil-wakil Allah
yang pertama. Tetapi sebagaimana pengalaman menunjukkan, orang-tua manusiawi
itu dapat juga membuat kesalahan dan dengan demikian menodai citra kebapaan dan
keibuan. Karena itu perlu diperingatkan bahwa Allah melampaui perbedaan jenis
kelamin pada manusia. Ia bukan pria, bukan juga wanita; Ia adalah Allah. Ia
juga melebihi kebapaan dan keibuan manusiawi, walaupun Ia adalah awal dan
ukurannya. Tidak ada seorang bapa seperti Allah.”
Dari
perundingan disepakati bahwa pertemuan kedua akan terjadi di rumah bapak
Ponidi. Hari yang disepakati adalah Rabu. Rama Bambang akan mengirimkan SMS aternatif
tanggal.
0 comments:
Post a Comment