Injil Minggu 17 Agustus 2014 / Hari Raya Kemerdekaan RI (Mat 22:15-22 dari renungan-kitabsuci.blogspot
ilustrasi dari koleksi Blog Domus
ilustrasi dari koleksi Blog Domus
Rekan-rekan yang budiman!
Satu ketika Yesus dimintai pendapat tentang membayar pajak kepada Kaisar: apakah hal ini diperbolehkan (Mat 22:15-22 // Mrk 12:13-17).
Bila mengatakan boleh maka ia akan menyalahi rasa kebangsaan. Tetapi
bila mengatakan tidak, ia pun akan berhadapan dengan penguasa Romawi
yang waktu itu mengatur negeri orang Yahudi. Para pengikut Yesus kerap
dihadapkan ke masalah seperti itu. Ada dua macam rumusan. Yang pertama
terlalu menyederhanakan perkaranya, dan bisanya berbunyi demikian:
"Bolehkah mengakui dan hidup menurut kelembagaan duniawi?" Gagasan ini
kurang membantu. Kalau bilang "ya" maka bisa dipersoalkan, lho kan orang
beriman mesti hidup dari dan bagi Kerajaan Surga seutuhnya. Kalau
bilang "tidak", apa maksudnya akan mengadakan pemerintahan ilahi di muka
bumi? Pertanyaan ini sama dengan jerat yang diungkapkan murid-murid
kaum Farisi. Untunglah, ada pertanyaan yang lebih cocok dengan inti
Injil hari ini: Bagaimana Yesus sang pembawa warta Kerajaan Surga
melihat kehidupan di dunia ini? Ia memakai pendekatan frontal? Atau
pendekatan kerja sama? Apa yang dapat dipetik dari cara pandangnya?
Marilah kita dalami petikan dari Injil Matius yang dibacakan bagi Hari
Raya Kemerdekaan RI ini. Akan ditambahkan catatan mengenai bacaan kedua,
yakni 1Petr 2:13-17.
SEBUAH TANYA JAWAB
Dalam
kebiasaan kaum terpelajar Yahudi waktu itu, sebelum menanggapi
persoalan yang diajukan lawan bicaranya, orang berhak mengajukan sebuah
pertanyaan untuk menjernihkan perkaranya terlebih dahulu. (Lihat
misalnya pertanyaan dalam Mat 21:23-25
mengenai asal kuasa Yesus.) Begitu juga dalam perbincangan mengenai
boleh tidaknya membayar pajak kepada Kaisar, Yesus mengajak lawan
bicaranya memasuki persoalan yang sesungguhnya. Ia meminta mereka
menunjukkan mata uang pembayar pajak dan bertanya gambar siapa tertera
di situ. Mereka tidak dapat menyangkal itu gambar Kaisar. Yesus pun
menyudahi pembicaraan dengan mengatakan, "Berikanlah kepada Kaisar yang
wajib kalian berikan kepada Kaisar dan kepada Allah yang wajib kalian
berikan kepada Allah!" Dengan jawaban ini ia membuat mereka memikirkan
sikap mereka sendiri baik terhadap "urusan kaisar" maupun keprihatinan
mereka mengenai "urusan Allah" dan sekaligus menghindari jerat yang
dipasang lawan-lawannya. Bagaimana penjelasannya?
Kaum
Farisi memang bermaksud menjerat Yesus. Mereka menyuruh murid-murid
mereka datang kepadanya bersama dengan para pendukung Herodes. Kedua
kelompok ini sebetulnya memiliki pandangan yang bertolak belakang.
Orang-orang Farisi secara prinsip tidak mengakui hak pemerintah Romawi
memungut pajak yang dikenal sebagai pajak "kensos" (inilah asal kata
sensus), yakni pajak bagi orang yang memiliki tanah. Inilah pajak yang
dibicarakan dalam petikan ini. Tidak dibicarakan pajak pendapatan.
Mereka yang warga Romawi tidak dikenai pajak penduduk, tapi mereka
diwajibkan membayar pajak pendapatan kepada pemerintah. Orang Yahudi
yang bukan warga Romawi diharuskan membayar pajak penduduk. Maklumlah,
seluruh negeri ada dalam kedaulatan Romawi. Pemerintah Romawi tidak
memungut pajak pendapatan orang Yahudi yang bukan warga Romawi. Tapi
aturan agama Yahudi juga mewajibkan mereka membayar pajak pendapatan dan
hasil bumi yang dikenal dengan nama "persepuluhan" kepada lembaga
agama. Disebut pajak Bait Allah. Kepengurusan Bait Allah akan mengatur
pemakaian dana tadi bagi pemeliharaan tempat ibadat, menghidupi yatim
piatu, janda, kaum terlantar serta keperluan sosial lain. Jadi orang
Yahudi yang memiliki tanah dan berpendapatan dipajak dua kali. Mereka
tidak menyukai keadaan ini.
Sebuah
catatan. Seperti ditunjukkan di atas, pajak yang dibicarakan Injil kali
ini hanya dipungut dari orang Yahudi yang memiliki tanah. Orang miskin
yang tentunya tidak memiliki tanah tidak kena pajak ini. Jadi meleset
bila pembicaraan ini ditafsirkan dengan mengkaitannya dengan semua
orang. Injil kali ini menyangkut masalah orang Yahudi yang berkecukupan.
MASALAH PERPAJAKAN
Bagi
orang Farisi, membayar pajak penduduk berarti mengakui kekuasaan Romawi
atas tanah suci. Padahal dalam keyakinan mereka, tanah itu milik
turun temurun yang diberikan Allah, dan tak boleh diganggu gugat,
apalagi dipajak. Maka pungutan pajak penduduk dirasakan sebagai perkara
yang amat melawan ajaran agama leluhur. Para penarik pajak yang orang
Yahudi dipandang sebagai kaum murtad dan melawan inti keyahudian
sendiri. Mereka itu dianggap pendosa, sama seperti perempuan yang tidak
setia.
Bagaimana
sikap para pendukung Herodes? Yang dimaksud ialah Herodes Antipas,
penguasa wilayah Galilea di bagian utara tanah suci. Pemerintah Romawi
meresmikannya sebagai penguasa "pribumi" dan memberi wewenang dalam
urusan sipil dan militer di wilayahnya. Tetapi di Yerusalem dan Yudea
wewenang dipegang langsung oleh perwakilan Romawi, waktu itu Ponsius
Pilatus. Herodes mengikuti politik Romawi dan merasa berhak menarik
pajak penduduk di wilayahnya. Mereka yang disebut kaum pendukung Herodes
dalam Mat 21:16 itu
sebetulnya bukan mereka yang tinggal di Galilea, melainkan orang
Yerusalem dan Yudea pada umumnya yang menginginkan otonomi "pribumi"
seperti Herodes di utara. Mereka memperjuangkan pajak penduduk – pajak
yang dibicarakan dalam petikan ini – tetapi bukan bagi pemerintah
Romawi, melainkan bagi kas kegiatan politik mereka di Yudea dan
Yerusalem. Jadi mereka berbeda paham dengan orang Farisi yang menganggap
penarikan pajak penduduk dalam bentuk apa saja oleh siapa saja tidak
sah dan melawan ajaran agama.
Bila
Yesus menyetujui pembayaran pajak penduduk yang diklaim penguasa
Romawi, ia akan berhadapan dengan mereka yang bersikap nasionalis dan
akan dianggap meremehkan pandangan teologis bahwa tanah suci ialah hak
yang langsung diberikan oleh Allah. Dan orang Farisi bisa memakainya
untuk mengobarkan rasa tidak suka kepada Yesus. Tetapi bila ia
mengatakan jangan, maka ia akan bermusuhan dengan para pendukung
Herodes yang dibawa serta orang Farisi dan sekaligus melawan politik
Romawi. Jawaban apapun akan membuat Yesus mendapat lawan-lawan baru.
Memang itulah yang diinginkan oleh orang Farisi.
PEMECAHAN
Ketika
mengatakan berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib diberikan kepada
Kaisar sebetulnya Yesus mengajak lawan bicaranya memikirkan keadaan
mereka sendiri, yakni dibawahkan pada kuasa Romawi. Jelas kaum Farisi
dan para pendukung Herodes hendak menyangkalnya, tapi dengan alasan yang
berbeda. Kaum Farisi menolak dengan alasan agama, sedangkan kaum
pendukung dengan alasan kepentingan politik mereka sendiri. Di sini ada
titik temu dengan permasalahan yang kadang- kadang dihadapi para
pengikut Yesus di manapun juga seperti disebut pada awal ulasan ini.
Bukan dalam arti mengidentifikasi diri dengan pilihan orang-orang yang
datang membawa masalah, melainkan belajar dari sikap Yesus dalam
menghadapi persoalan tadi. Dengan mengatakan bahwa patutlah diberikan
kepada Allah yang wajib diberikan kepadaNya, Yesus hendak menekankan
perlunya integritas batin. Bila kehidupan agama mereka utamakan,
hendaklah mereka menjalankannya dengan lurus. Bila mau jujur, mereka mau
tak mau akan memeriksa diri adakah mereka sungguh percaya atau
sebetulnya mereka menomorsatukan kepentingan sendiri dengan memperalat
agama.
Yesus
juga membuat mereka yang datang kepadanya berpikir apakah ada pilihan
lain selain memberikan kepada Kaisar yang menjadi haknya. Bila ya, coba
mana? Ternyata keadaan mereka tak memungkinkan. Mereka tidak mencoba
menemukan kemungkinan yang lain. Mereka telah menerima status quo dan
tidak mengusahakan perbaikan kecuali dengan mengubahnya menjadi soal
teologi. Padahal masalahnya terletak dalam kehidupan sehari-hari. Iman
dan hukum agama mereka pakai sebagai dalih belaka. Yesus tidak mengikuti
pemikiran yang sempit ini.
Pada
akhir petikan disebutkan mereka "heran" mendengar jawaban tadi. Dalam
dunia Perjanjian Lama, para musuh umat tak bisa berbuat banyak karena
Allah sendiri melindungi umatNya dengan tindakan-tindakan ajaib. Para
lawan itu tak berdaya dan bungkam mengakui kebesaranNya. Inilah makna
"heran" tadi. Mereka kini terdiam mengakui kebijaksanaan Yesus dan
mundur. Seperti penggoda di padang gurun yang terdiam dan mundur
meninggalkannya.
KOMUNITAS ORANG YANG PERCAYA
Ketika merumuskan pertanyaan mereka (Mat 21:16),
murid-murid orang Farisi terlebih dahulu menyebut Yesus sebagai "orang
yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan tidak takut kepada
siapa pun juga, sebab tidak mencari muka." Dalam bahasa sekarang, Yesus
itu dikenal sebagai orang yang berprinsip. Juga sebagai orang yang
berintegritas tinggi. Bukannya demi meraih keuntungan dan menjaga
kedudukan. Orang yang mencobainya sebetulnya sudah melihat arah
pemecahan masalah, yakni sikapnya yang terarah pada kepentingan Allah.
Pembicaraan selanjutnya menunjukkan bahwa sikap itu bukan sikap menutup
diri terhadap urusan duniawi dan memusuhinya. Malah hidup dengan urusan
duniawi itu juga menjadi cara untuk membuat kehidupan rohani lebih
berarti. Itulah kebijaksanaan Yesus. Itulah yang dapat dikaji dan
diikuti para pengikutnya.
Pengajaran
dasar yang ditampilkan dalam petikan di atas dapat menjadi arahan
bagi Gereja. Apakah Gereja sebagai lembaga rohani yang ada di muka bumi
ini menemukan perannya juga? Sebagai kelompok masyarakat agama, Gereja
diharapkan dapat berdialog dengan kenyataan yang berubah-ubah dalam
masyarakat luas tanpa memaksa-maksakan posisi dan pilihan-pilihan
sendiri. Pada saat yang sama disadari juga betapa pentingnya menjalankan
perutusannya sebagai komunitas orang- orang yang mau menghadirkan
Allah, yang memungkinkan urusan-Nya berjalan sebaik-baiknya di bumi ini.
Petikan di atas mengajak orang menumbuhkan kebijaksanaan hidup dan
menepati perutusan tadi.
DARI BACAAN KEDUA
Dalam bacaan kedua, yakni 1Petr 2:13-14 didapati
serangkai nasihat bagaimana hidup sebagai orang yang percaya di dalam
masyarakat luas yang boleh jadi memiliki pandangan hidup yang lain.
Ditegaskan pada dasarnya agar orang yang percaya bersikap "tunduk"
kepada kelembagaan dan pemegang kuasa di masyarakat (ay. 13-14).
Maksudnya tentu saja mengikuti wewenang yang sah yang mengatur kehidupan
bermasyarakat. Memang orang kristiani awal dulu yang berasal dari
kalangan Yahudi banyak yang hidup di luar Tanah Suci sehingga tidak bisa
begitu saja dapat beranggapan hukum adat sama dengan hukum umum. Sering
keadaan ini membuat hidup mereka tidak gampang karena harus menepati
adat kebiasaan sendiri tapi juga mengikuti pola-pola hidup umum. Namun
surat Petrus ini justru memandang keadaan itu sebagai kesempatan bagi
orang yang percaya untuk memperlihatkan kebaikan ilahi bagi semua orang
secara merdeka (ay. 15-16). Orang yang percaya diharapkan mampu
menyatukan empat hal berikut (ay. 17): tahu menghargai orang lain,
mengasihi sesama orang percaya, menghayati agama sendiri ("takutlah
kepada Alah!"), dan menghormati penguasa.
Keempat
arah itu kiranya menjadi pegangan bagaimana orang yang percaya dapat
hidup di masyarakat luas tanpa memiliki sikap menyendiri. Berarti pula
adat kebiasaan yang dalam keadaan lain begitu saja dapat diikuti perlu
diselaraskan dengan keadaan dan lingkungan. Boleh dikata, inilah
keadaban yang dipegang dan dikembangkan orang yang percaya.
Salam hangat,
A. Gianto
0 comments:
Post a Comment