diambil dari http://www.unio-indonesia.org ditulis oleh admin pada Sab, 03/11/2018 - 22:40
BERNALAR TENTANG AGAMA
Pada hari Minggu Biasa XXXI tahun B ini dibacakan Mrk 12:28b-34. Dalam petikan ini Yesus menjawab pertanyaan seorang ahli Taurat yang bermaksud menjajaki pengetahuan keagamaannya. Ia ditanyai, manakah perintah yang paling utama dalam Taurat. Maklum, ada 613 hukum, 365 di antaranya ialah larangan dan yang 248 perintah. Yesus menjawab dengan mengutip Ul 6:4-5 bahwa perintah yang terutama dan yang pertama ialah “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu!”. Kemudian, dengan merujuk pada Im 19:18, ditegaskannya bahwa perintah yang kedua ialah “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!” Ditandaskannya pula, tak ada perintah lain yang lebih utama dari pada kedua perintah itu.
BERNALAR TENTANG TAURAT
Pertanyaan kepada Yesus “Guru, perintah manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” tentu membuat orang ikut berpikir, dari sekian banyak hukum dalam Taurat, manakah yang paling pokok. Dalam rumusan aslinya, pertanyaan tadi sebenarnya berbunyi: “Guru, perintah macam apa bisa disebut besar di dalam Taurat?” Jadi yang dipertanyakan bukanlah yang mana, melainkan macamnya, jenisnya, kategorinya. Pertanyaan ini mengarah pada ciri-ciri yang membuat perintah tertentu dapat dikatakan perintah utama. Memang diandaikan perintah-perintah dalam Taurat tidak sama bobotnya. Ahli Taurat itu mau tahu apa Yesus memiliki kemampuan menimbang bobot perintah-perintah itu dan bukan hanya asal kutip sana sini.
Kaum terpelajar Yahudi menyadari bahwa tidak semua aturan sama bobotnya. Yesus sendiri di lain kesempatan juga mengungkapkan kepekaan ini, misalnya mengenai hukum hari Sabat (Mat 12:1-14). Di situ kewajiban menguduskan Sabat dibawahkan kepada kewajiban berkurban dan melaksanakan belas kasihan. Mana prinsip memahami perintah yang satu lebih pokok dari yang lain? Soal ini dijawab Yesus dengan mengutarakan dua perintah yang disebutkannya sebagai perintah yang paling utama. Kedua perintah itu dikutip dari Kitab Ulangan dan Kitab Imamat, dua kitab dalam Taurat. Dalam hal yang pertama, perintahnya terdapat setelah penegasan mengenai keesaan Tuhan Allah orang Israel (Ul 6:4, yang juga dikutip dalam Mrk 12:29). Penegasan ini dihayati sebagai mengasihiNya dengan komitmen penuh – itulah yang dimaksud dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan (Ul 6: 5 – tentang sisipan “segenap akalbudimu” dalam Mrk 12:30 lihat uraian di bawah). Perintah mengasihi Tuhan Allah dengan sepenuh-penuhnya itu termasuk ayat-ayat suci yang wajib didoakan dua kali sehari (pagi dan petang) oleh orang Yahudi yang saleh. Perintah mengenai mengasihi sesama dikutip dari Im 18:8 dan ditandaskan sebagai perintah utama yang kedua.
PERINTAH UTAMA
Semalam saya mengajak tiga sekawan Mark, Matt, dan Luc ngobrol di Biblicum. Berikut ini beberapa potong pembicaraan kami di sela-sela hangatnya jahe wangi yang saya bawa dari Jawa tiga minggu lalu.
GUS: Kalian ini menyampaikan peristiwa yang sama tapi menaruh dalam konteks yang berbeda-beda. Bikin bingung pembaca. Mark kau bilang kayak di atas tadi. Tapi, dalam Kitab Ulangan kan tak ada “segenap akalbudimu” seperti dalam tulisanmu? Apa Yesus menambahkan?
MARK [mulai tak tenang]: Versi Ul 6:5 yang sampai padaku memuat empat unsur “segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatanmu”. Sebenarnya, “segenap akalbudi” itu untuk menjelaskan arti “segenap hati”. Bagi orang Yahudi, hati itu tempat bernalar, bukan tempat perasaan.
GUS: “Segenap kekuatan” yang ada dalam teks Perjanjian Lama itu tidak ada dalam versinya Matt.
MATT: Ehm, sudah jelas jadi tak perlu kusertakan.
LUC: Menyela sebentar, kalau aku, kusampaikan seperti Mark. He, Matt, kalau pakai sumber Perjanjian Lama mestinya cermatan dikit, gitu kan?
MATT: Nyang bener aje! Tentang Perjanjian Lama kau tahu apa sih! Dalam versimu (Luk 10:25-28) kedua perintah itu kautaruh dalam mulut ahli Taurat yang menanyai Yesus, bukan dalam kata-kata Yesus seperti kami laporkan. Sapa yang bikin-bikin begitu?
MARK [buru-buru menyela sebelum Luc sempat menukas Matt]: Sudah, sudah, yang itu asalnya juga dari tulisanku. Memang Yesus mengutip kedua perintah tadi (Mrk 12:29-31). Tapi seperti kuceritakan, ahli Taurat tadi kemudian mengulang yang dikatakan Yesus (Mrk 12:32-33). Ini yang diolah Luc, ya kan? Jadi kalian berdua benar. Jangan berantem kayak anak kecil, apa ndak malu dilihat ekseget? [Mengalihkan perhatian.] Jahenya kok arum bener nih!.
LUC [nyruput lalu mendesis]: Peristiwa tanya jawab itu kupakai mengantar kisah orang Samaria. Dia yang biasanya dianggap tak masuk hitungan itu toh bisa betul-betul menjadi sesama bagi orang Yahudi yang sedang mengalami musibah di perjalanan.
MARK: Bagiku, dan tentunya bagi Matt juga, tanya jawab itu menunjukkan bahwa Yesus tak kalah piawainya dengan ahli Taurat dalam menafsirkan Perjanjian Lama. [Matt manggut-manggut.]
GUS : Gimana?
MARK: Yesus menegaskan bahwa tak ada perintah yang lebih utama dari keduanya tadi.
MATT: Sebentar, yang itu kutajamkan begini: “Pada kedua perintah inilah bergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para Nabi” (Matt 22:40)
GUS [meletakkan cangkir]: Jadi, kalian berdua, Mark dan Matt, bermaksud menonjolkan pandangan Yesus bahwa kedua perintah memang menjadi dasar dan menjiwai semua hukum Taurat dan kitab para Nabi.
MARK [tampak puas, juga Matt]: Benar. Yesus tidak mengabaikan hukum-hukum lain.
MATT [meraih poci jahe]: Justru Yesus menunjukkan makna kumpulan hukum itu. Ini kurang ditekankan Mark, apalagi Luc.
LUC: Tapi kalian kan tidak memberi contoh bagaimana mengasihi Tuhan sepenuh-penuhnya dan mengasihi sesama seperti diri sendiri. Orang sekarang lebih mudah menangkap bila diberi cerita. Pendekatan naratif. Itulah sebabnya kutampilkan perumpamaan orang Samaria itu.
MARK: Manis, eh wedang jahenya, tapi ceritanya juga! Kisah orang Samaria itu tentang perintah kedua. Lalu perintah pertama?
LUC: Seluruh kisah Yesus menuju tujuan perjalanannya di Yerusalem (Luk 9:51-19:28) itu penjelasan naratif tentang mengasihi Tuhan dengan sepenuh-penuhnya. Kan nanti di kayu salib Yesus menyerahkan nyawanya kepada Bapanya yang dikasihinya sepenuh-penuhnya.
MARK: Sudahlah, jangan kita bikin eksegese tentang tulisan kita sendiri, serahkan saja kepada para ahli tafsir.
GUS: Ceeile! Tentang “kasihilah sesama seperti dirimu sendiri” kiranya ada yang masih perlu diulas. Kalian kan bermaksud mengatakan, kasihilah sesama yang punya pengalaman sama seperti dirimu sendiri, betul begitu? Kita ini pada dasarnya mengalami pahit getirnya kehidupan seperti orang lain. Maka nanti kalau sudah merasa lebih beruntung, jangan lupa orang yang sedang ada dalam kesusahan, gitu kan? Jadi tafsirnya bukan mengasihi sesama seperti halnya kita mengasihi diri kita sendiri.
MATT: Betul! Itu juga yang kumaksud dalam Mat 19:19 dan 22:39. Paul juga, lihat Rom 13:9, Gal 5:14, juga Opa Jim dalam Yak 2:8.
LUC [setelah mengisi cangkir lagi]: Kalau mau bilang mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri, mestinya kata “mengasihi” diulang. Aku ingat kalimat seperti itu dalam tulisan Oom Hans (Yoh 15:12), “Inilah perintahku, yaitu supaya kamu saling mengasihi seperti aku (=Yesus) mengasihi kamu.”
GUS: Kalau bisa kurumuskan kembali, mengasihi Tuhan hendaknya dijalankan dengan kesadaran penuh (= segenap “hati”/”akalbudi”) yang keluar dari keyakinan (= segenap “jiwa”) dan tekad utuh (= segenap “kekuatan”). Jadi bukan hanya setengah-setengah, mendua, atau ikut-ikutan, tapi dengan pengertian. Lalu mengasihi sesama itu kan karena sesama itu seperti kita-kita ini juga dalam suka duka kehidupan ini. Kalian tentunya tidak keberatan kan?
HIDUP BERAGAMA
Dalam versi Mark, masih ditambahkan bahwa sang ahli Taurat membenarkan pendapat Yesus dan malah menegaskan bahwa kedua perintah itu mengatasi semua kurban bakaran dan kurban lainnya (Mrk 12:32-33). Kesadaran seperti ini membuat Yesus mengatakan bahwa orang itu tak jauh lagi dari Kerajaan Allah. Ia sudah melihat ufuk yang lebih luas dalam hidup beragama. Bukan sekedar menjalankan kurban, tapi juga upaya memahami sesama sebagai yang sama-sama diperhatikan Allah. Inilah yang membuatnya dapat mengasihi Allah dengan utuh. Inilah yang membuatnya dekat dengan kehadiran ilahi.
Pembicaraan malam itu kemudian semakin berpusat pada kemampuan Yesus memperlihatkan apa itu inti ajaran agama. Saya tanyakan bagaimana penjelasannya kok Yesus bisa melihat sedalam itu dan menyampaikan pemahamannya kepada orang banyak. Jawab tiga kawan tadi: Yesus sendiri memenuhi kedua perintah utama tadi. Seluruh hidupnya diserahkan untuk mengasihi Yang Maha Kuasa dengan kesadaran penuh dan dengan keyakinan dan tekad yang matang. Dan semuanya ini terungkap dalam kesediaannya ikut merasakan yang dialami orang lain. Ia percaya orang lain itu juga seperti dia sendiri, yakni dikasihi Allah dan oleh karenanya dapat mengasihiNya. Inilah dasar dan inti hidup beragama.
Salam hangat,
A. Gianto
A. Gianto
0 comments:
Post a Comment