DEVOSI DENGAR WAYANG?
Sudah 5 bulan lebih saya tidak mendengarkan wayang dari radio di malam hari. Saya sungguh dapat menikmati yang namanya kesunyian malam. Suara serangga menambah keteduhan. Kokok jago yang bermacam-macam (ayam ketawa, ayam kampung, ayam kate) mulai dini hari tidak mengganggu rasa tenang. Bahkan suara mobil dan motor yang menyeruak kesunyian malam tidak mengganggu keheningan. Lain halnya dengan suara radio yang menyiarkan wayang kulit. Walau saya amat menyukainya, mendengarkan wayang semalam membuat hati sulit mengheningkan diri. Jalannya ceritera membuat perasaan dikuasai oleh suasana gembira, marah, sedih dan lain-lainnya yang diciptakan oleh sang dalang dalam suara permainan wayang.
Tetapi dini hari Minggu 10 Maret 2013 ini lain. Jam 22.15 Sabtu 9 Maret malam saya mencoba memutar radio dan menemukan siaran wayang. Ketika mendengarkannya, terasa ada suasana lain yang menarik. Dalangnya baru kali itu saya dengar. Saya menilai bagus. Iringan gamelannya apik. Ternyata siaran langsung dan bukan putaran kaset. Muncul kebimbangan dalam hati. Dihidupkan terus atau matikan saja? Kalau dihidupkan, saya akan terjaga atau paling tidak terbangun sebelum dini hari. Bukankah saya harus menjaga irama kedisiplinan hening mulai sekitar jam 2.00? Tetapi entah mengapa, saya membiarkan radio berbunyi terus. Dan saya memang segera terlelap tidur. Namun demikian saya terbangun ketika jam hampir menunjuk angka 1.00.
Saya menikmati kisah sang dalang dan alunan gamelan dan gendhing-gendhingnya (lagu atau kidung). Daaaan ...... saya duduk terpejam dan dalam hati sering bergema "Indah Gusti ...... enak Gusti ...... terima kasiiiiih ....." Kalau terdengar kata-kata dalang yang terasa bermakna, hati berbunyi "Oooooo, gitu ya Gusti?" Ini terjadi berulang-ulang. Sampai suatu saat tangan saya meraih Kitab Suci dan kemudian membaca kutipan sesuai penanggalan liturgi. Tanpa kehilangan isi dan nikmatnya wayang, saya menimbang-nimbang kata-kata dalam ayat-ayat kutipan itu. Dan saya pun terus mendengarkan wayang sambil melamunkan isi Kitab Suci. Kata "Gusti" tetap berdengung berkali-kali membelai hati menyertai kata-kata yang muncul dalam pikiran, perasaan dan kehendak saya. Tak terasa wayang pun selesai dan saya melihat jam sudah menunjuk angka 4.00 lebih. Hati terasa damai dan ada kegembiraan khusus.
Ketika merenungkan peristiwa itu, saya merasa heran. Mengapa dalam situasi yang amat duniawi (mendengarkan wayang) tetap terjadi suasana doa batin? Apakah ini bukan model perutusan awam "menyucikan dunia"? Seorang awam dalam kehidupan duniawinya menghayati imannya dengan merasakan kehadiran Allah. Dengan penghayatan iman dalam hidup berkeluarga, bekerja dan berkegiatan di tengah pergaulan sehari-hari, kaum awam menghayati dan menjadi saksi iman. Saya sebagai imam praja juga disebut imam sekulir. Kata sekulir berasal dari akar kata Latin seculum yang berarti dunia. Saya pun menghayati imamat dengan landasan kehidupan yang sungguh duniawi. Maka, apakah pengalaman saya dapat menjadi referensi orang yang pola hidupnya duniawi? Dengan pengalaman ini saya merasa bahwa orang dapat berdevosi dalam hal-hal duniawi baik dalam keluarga, rumah, kerja, pergaulan bahkan dalam hiburannya. Saya berpikir demikian karena pada dasarnya "Devotion is the feeling side of christian faith. It consists of emotions and affections which are common and appropriate responses to commitment to Jesus Christ and belief in his gospel within church" (The New Dictionary of Theology. Michael Glazier, Inc, USA, 1987:283). Apakah yang saya alami di atas boleh atau dimungkinkan disebut "Devosi Dengar Wayang"? Kalau dimungkinkan akan muncul "Devosi Nonton TV", "Devosi Piknik", dan devosi-devosi menikmati kehidupan kongkret duniawi sambil merasakan kehadiran ilahi. *Rama Bambang
Saturday, March 9, 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment