HARI NYEPI SAAT NENG: MAKNA BAGI KAUM TUA
Sekarang, Selasa 12 Maret 2013, adalah Hari Raya Nyepi. Hari Raya Nyepi adalah salah satu hari besar umat Hindu. Ini adalah hari tanpa aktivitas lahiriah duniawi. Bahkan kegiatan nyepi adalah kegiatan pati geni (hidup tanpa cahaya). Orang memusatkan diri dalam kegiatan batin dalam kediaman. Di Bali, kecuali dalam Hotel Internasional, kegiatan-kegiatan dihentikan. Transportasi darat, laut dan udara diliburkan. Listrik di rumah-rumah dipadamkan. Ini berlaku untuk siapa pun yang tinggal di Bali walau tidak beragama Hindu. Para Pecalang (petugas keamanan adat) menjaga kedisiplinan Hari Raya Nyepi agar pelanggaran ditiadakan. Siapa pun (tua, dewasa, muda, remaja, anak, bayi) harus mentaatinya. Hari Raya Nyepi sungguh membuat Bali sepi.
Pada hemat saya bagi orang zaman kini suasana sepi yang amat diciptakan di Bali sungguh menjadi pelajaran dan peringatan penghayatan hidup sejati. Orang zaman kini ditandai oleh jutaan trend yang ditawarkan lewat alat-alat media hasil tekhnologi informasi yang semakin canggih, maju dan berkembang pesat. Orang makin mudah hanyut dalam berbagai kesibukan dan pada umumnya jadi "orang sibuk". Walau ada kecenderungan orang makin individualistik, tetapi orang dapat tidak mampu jadi dirinya sendiri. Segalanya ditentukan oleh arus umum. Dalam fenomena kecil "berbelanja", orang sekarang makin tidak dapat bertransaksi sebagaimana di pasar tradisional. Era globalisasi menciptakan model warung mahabesar, besar sampai kecil mematok harga barang dagangan sama bagi kaum kaya maupun kere. Orang dengan keluarga dan dirinya sendiri makin ditentukan oleh kekuatan luar dan makin sulit ikut menentukan bahkan untuk dirinya sendiri. Ini dapat memunculkan bencana kejiwaan sehingga orang dapat hanya menjadi alat ekonomis dengan istilah SDM (Sumber Daya Manusia). Martabat manusia dapat merosot dan dapat hilang harga. Semua terjadi karena LANGKANYA SAAT HENING.
Berkaitan dengan kemampuan hening diri, hal ini mudah terjadi kalau orang dapat mengalami suasana sepi sendiri. Dalam suasana seperti ini orang akan meNeng (diam). Kalau suasana diam ini dijalani, orang dapat mengalami suasana weNing (hening, jernih) sehingga dapat menyadari banyak hal yang terjadi dalam kehidupannya dengan jernih atau jelas. Kejernihan diri akan membuat orang duNung (paham) apa yang sebaiknya dilakukan untuk pengembangan dan kalau perlu perubahan diri. Proses ini membuat orang meNang (mampu bersusah payah melakukan yang bermakna untuk dirinya). Suasana sepi kalau diterima dan dijalani secara alami akan membawa orang berbudi pekerti luhur karena proses Neng, Ning, Nung, Nang. Dalam hidup keagamaan, ini semua membawa orang berproses menjadi orang kerabat ilahi. Sebagaimana dikatakan oleh Beata Theresa dari Calcuta: dengan hening orang berdoa, dengan doa orang beriman, dengan iman orang mengasihi, dengan kasih orang melayani, dengan melayani orang mengalami kedamaian. Maka Hari Raya Nyepi sungguh menjadi peringatan besar bagi manusia untuk mempertahankan martabat kemanusiaannya agar tidak jatuh hanya menjadi alat atau sumber daya yang dapat dimanipulasi demi kepentingan bahkan keserakahan duniawi.
Bagi kaum tua? Bukankah kaum tua pada umumnya banyak mengalami kesendirian? Bukankah kaum tua banyak mengalami suasana sepi karena sendiri? Kalau begitu, bukankah Hari Raya Nyepi dapat menyadarkan kaum tua akan ANUGERAH SUASANA SEPI yang dimiliki secara berlebihan? Bukankah dengan anugerah besar berlimpah ini kaum tua dapat menjalani proses Neng, Ning, Nung, Nang dengan amat sangat leluasa sekali? *Rama Bambang
Monday, March 11, 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment