Ketika akan merayakan Pesta Perak Imamat 22 Januari
2006, saya dengan teman seangkatan menjalani retret beberapa hari sebelumnya di
Pertapaan Rawaseneng. Teman seangkatan tersebut adalah Rama Heruyanto dan Rama
Kartasudarma. Selain bermenung secara pribadi, kami melakukan temu sharing dua
kali sehari dan sekali sehari pertemuan dibimbing oleh Rama Abas.
Dalam salah satu pertemuan bersama Rama Abas, saya
terkejut oleh kata-kata Rama Heru ketika melaporkan salah satu sharing kami.
Sharing itu berkaitan dengan hal-hal yang dapat kami rintis untuk penghayatan
imamat ke depan. Ketika melapor pokok-pokok sharing saya, Rama Heru kurang
lebih mengatakan: "Rama Bambang merasa pesimis memandang imamat ke depan.
Dia khawatir akan penerimaan para rama muda terhadapnya." Waktu itu saya
diam saja walau tidak ada pesimisme dalam diri saya.
Pada tahun 2005 Mgr. Haryo memang sudah mengatakan
bahwa mulai dengan tahun 2006 saya akan dipindahkan dari lembaga Karya Misioner
yang berbasis di Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner (MMM PAM). Saya
memang sudah merasa mulai out of date dalam karya ini sejak tahun 2004.
Beberapa teman tim kerja misioner kerap melontarkan ketidakpuasannya terhadap
kinerja saya. Dalam hal menyongsong kepindahan, saya melakukan surve sambil
lalu berkaitan dengan kemungkinan karya ke depan. Saya kerap mampir bertandang
ke rama-rama yang relatif masih muda. Saya bertanya "Bagaimana kalau suatu
saat saya menjadi satu komunitas pastoran dan karya denganmu?" Pada
umumnya ngomong sekitar "mangga", "manut Bapak Uskup".
Tetapi ada dua rama yang sungguh saya perhatikan ucapannya. Yang satu berterus
terang di hadapan saya "Wah, aku ora isa nek duwe pastor pembantu
senior. Ngene wae, suk manggona neng kene bareng aku. Apa pun takopeni. Tapi
nyuwuna tugas lain. Sehingga kowe ora melu dadi penentu kebijakan karo aku. Nek
aku butuh, aku isa njaluk tulung tetapi antar kita tak ada kesamaan bidang
karya." Sedangkan kata-kata rama yang lain saya dengar dari info
seorang awam teman dekat saya "Wah, nek karo Rama Bambang aku emoh."
Terus terang saya memang bersiap membuat antisipasi
kepindahan karya bahkan tempat sesudah menyelesaikan tugas di lembaga misioner
sejak 1983. Saya membayangkan bagaimana kalau saya jadi pastor pembantu? Saya membayangkan
bagaimana kalau tinggal bersama dengan rama-rama jaman kini? Saya membayangkan
bagaimana kalau saya harus tinggal sendiri? Saya membayangkan bagaimana kalau
tempat tinggal saya banyak trapnya (karena kondisi jalan saya yang pakai krug)?
Saya membayangkan bagaimana kalau sudah tidak bermobil? Karena dalam perjalanan
ternyata kepindahan diundur-undur hingga akhir Juni 2010, saya pun membayangkan
bagaimana kalau tinggal di rumah tua? Kalau tinggal di rumah tua, bagaimana
kalau saya menjadi orang yang dilupakan dan tak ada yang mengunjungi? Bahkan
saya pun membayangkan bagaimana kalau di rumah tua fasilitas dan kesejahteraan
terasa tak memadahi?
Bayangan-bayangan itu kerap saya lontarkan kepada para
petinggi Keuskupan dan jajarannya dengan ungkapan-ungkapan berbau kelakar.
Menjadi sembrono pari kena (kelakar dengan intensi jelas). Tak jarang
muncul komentar "mbok aja negative thinking". Dalam kenyataan
saya memang ditempatkan di Rumah Tua Domus Pacis. Memang ada rumusan tugas,
tetapi Keuskupan tidak memberi target. Maka secara praktis saya mengalami
semacam pensiun dini, karena untuk imam praja masa pensiun dimulai pada saat
berusia 65 tahun, padahal saya lahir pada 30 Januari 1951. Saya tinggal di
Domus Pacis mulai dengan 1 Juli 2010. Untuk menjadi sreg mendiami kamar
dan suasana Domus, saya membutuhkan waktu 59 hari. Dalam hal mecari-cari bentuk
karya (walau sudah lebih dari 6 bulan saya persiapkan di MMM PAM), saya
mengalami kebingungan hampir 18 bulan. Kini dalam kondisi fisik dan wawasan
yang terbatas, selain melayani misa-misa ujub, saya mulai menemukan bentuk
karya yang saya sebut PIKATU (Pendampingan Iman kaum Tua). Dengan bantuan Pak
Pratiknya dan Pak Dicky, dua profesor psikologi, saya boleh mendapatkan
cakrawala ketuaan yang sebelumnya sama sekali tidak saya ketahui. Bahkan
Komunitas Rama Domus Pacis, yang berkembang menggembirakan, menjadikan saya
sebagai salah satu rekan karya pastoral dalam merintis Domus Pacis sebagai
salah satu karya Pastoral Ketuaan. Ternyata antisipasi negative thinking
menunju ketuaan justru menjadi kekuatan batin mengarungi gurun batin proses pergantian meninggalkan yang
lama menuju yang baru. *Rama Bambang
0 comments:
Post a Comment