BY A GIANTO ON OCTOBER 20, 2014 JENDELA ALKITAB, MINGGUAN dalam renungan-kitabsuci.blogspot.com
ilustrasi dari koleksi Blog Domus
Rekan-rekan yang baik!
Minggu
Biasa XXX tahun A ini dirayakan dengan bacaan Injil dari Mat 22:34-40.
Di situ Yesus menjawab pertanyaan seorang ahli Taurat yang hendak
menjajaki pengetahuan keagamaannya. Ditanyakan kepadanya, manakah
perintah yang paling utama dalam Taurat. Jawabnya, perintah yang
terutama dan yang pertama ialah (Ul 6:5) "Kasihilah Tuhan, Allahmu,
dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal
budimu." Dan perintah yang kedua ialah (Im 19:18) "Kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri." Ditambahkannya, pada kedua perintah itu
bergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi. (Kitab para nabi
menurut orang Yahudi meliputi kitab-kitab sejarah dari Hakim sampai
Raja-raja dan nabi-nabi Yesaya, Yereremia, Yeheskiel dan ke-12 nabi
lain; Kita Daniel tidak termasuk di sini).
BERTEOLOGI TENTANG TAURAT
Pertanyaan
kepada Yesus berbunyi "Guru, perintah manakah yang terutama dalam
hukum Taurat?" membuat orang berpikir, dari sekian banyak perintah,
manakah yang paling pokok. Namun, dalam rumusan aslinya, pertanyaan tadi
sebenarnya berbunyi: "Guru, perintah macam apa bisa disebut besar di
dalam Taurat?" Jadi yang dipertanyakan bukanlah yang mana, melainkan
macamnya, jenisnya, kategorinya… Pertanyaan ini mengarah pada
ciri-ciri yang membuat perintah tertentu dapat dikatakan perintah besar.
Memang diandaikan perintah-perintah dalam Taurat tidak sama bobotnya.
Ahli Taurat itu mau tahu apa Yesus memiliki kemampuan menimbang-nimbang
Taurat dan bukan hanya asal kutip sana sini.
Memang dalam
kesadaran orang Yahudi yang terpelajar, ada macam-macam bobot. Dan tidak
bisa dipukul rata. Yesus sendiri di lain kesempatan juga menunjukkan
kepekaan ini. Misalnya hukum Sabat (Mat 12:1-14). Di situ kewajiban
menguduskan Sabat dibawahkan kepada kewajiban berkurban dan melaksanakan
belas kasihan. Mana prinsip memahami perintah yang satu lebih pokok
dari yang lain? Soal ini dijawab Yesus dengan mengutarakan dua perintah
yang disebutkannya sebagai tempat bergantung semua hukum Taurat dan
kitab para nabi.
Perintah mengasihi Tuhan Allah dengan
sepenuh-penuhnya yang dikutipnya dari Ul 6:5 itu termasuk ayat-ayat
suci yang wajib didoakan dua kali sehari (pagi dan petang) oleh orang
Yahudi yang saleh. Perintah Im 19:8 mengenai mengasihi sesama itu
disertakannya sebagai perintah utama yang kedua.
ISI PERINTAH UTAMA DAN MAKNANYA
Semalam
saya mengajak tiga sekawan Matt, Luc, dan Mark ngobrol ke sana ke mari
tentang perbincangan Yesus dengan pemuka-pemuka Yahudi seperti
disampaikan Matt. Berikut ini beberapa potong pembicaraan kami di
sela-sela hangatnya wedang ronde malam itu.
GUS: Kalian ini
menyampaikan peristiwa yang sama tapi menaruh dalam konteks yang
berbeda-beda. Bikin bingung pembaca. Matt, lu bilang kayak di atas tadi.
Tapi, ekseget tahu kau memakai bahan dari Mark kan?
MATT [mulai
tak tenang, rada segan dengan kaum penafsir]: Versi Ul 6:5 yang dikutip
Mark itu memuat empat unsur "segenap hati, jiwa, akal budi dan
kekuatanmu". Sebenarnya "segenap akalbudi" yang dipakai Mark itu kan
untuk menjelaskan arti "segenap hati". Bagi orang Yahudi seperti kami,
hati itu tempat bernalar, bukan tempat perasaan. "Segenap kekuatan"
yang ada dalam teks Perjanjian Lama tidak dikutip kembali oleh Mark dan
juga tak kutampilkan kembali karena sudah jelas bagi kami. [MARK
manggut-manggut] Tapi Luc, ah dia tulis sesuai teks Perjanjian Lama
"dengan segenap hati, jiwa, kekuatan", tetapi ia juga masukkan tambahan
Mark yang menyebut "dan segenap dan akal budi."
LUC: Kalau pakai sumber Perjanjian Lama mestinya cermat, gitu kan?
MATT: Kau tentang Perjanjian Lama tahumu apa sih! Dalam versimu [Luk
10:25-28] kedua perintah itu kautaruh dalam mulut ahli Taurat yang
menanyai Yesus, bukan dalam kata-kata Yesus seperti kami laporkan. Lu
aje yang cermatan dikit dulu dong!
MARK [buru-buru menyela
sebelum Luc sempat menukas Matt]: Sudah, sudah, yang itu asalnya juga
dari tulisanku. Memang Yesus mengutip kedua perintah tadi [Mrk
12:29-31]. Tapi seperti kuceritakan, ahli Taurat tadi kemudian
mengulang yang dikatakan Yesus [Mrk 12:32-33]. Ini yang diolah Luc, ya
kan? Jadi kalian berdua benar. Jangan berantem kayak anak kecil, malu
ah.
LUC: Peristiwa tanya jawab itu kupakai untuk mengantar kisah
orang Samaria yang baik hati yang menjelaskan bagaimana orang Samaria
yang biasanya dianggap tak masuk hitungan sekalipun toh bisa betul-betul
menjadi sesama bagi orang Yahudi yang kena musibah di perjalanan.
MATT: Bagiku, tanya jawab itu menunjukkan bahwa Yesus tak kalah piawai dengan ahli Taurat dalam menafsirkan Perjanjian Lama.
GUS [mulai tertarik]: Gimana?
MATT:
Begini, seperti ditulis Mark, ada tambahan dari Yesus bahwa tak ada
perintah yang lebih utama dari keduanya tadi. Nah tambahan ini
kupertajam dengan mengungkapkannya kembali demikian: "Pada kedua
perintah inilah bergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi".
GUS:
Jadi, Matt, kau bermaksud menonjolkan pandangan Yesus bahwa kedua
perintah memang menjadi dasar dan menjiwai semua hukum Taurat dan kitab
para nabi.
MATT [tersenyum puas, dapat angin]: Benar. Bukan
maksud Yesus mengabaikan hukum-hukum lain. Justru ia mau menunjukkan
makna kumpulan hukum itu. Ini kurang ditekankan Mark, apalagi Luc.
LUC:
Tapi Matt , you kan tidak memberi contoh bagaimana mengasihi Tuhan
sepenuh-penuhnya dan mengasihi sesama seperti diri sendiri. Orang
sekarang lebih mudah menangkap bila diberi cerita. Pendekatan naratif. Itulah sebabnya kutampilkan perumpamaan orang Samaria itu.
MATT: Oke, deh. Cerita orang Samaria yang engkau tampilkan itu menjelaskan perintah kedua. Tapi perintah pertama?
LUC:
Belum ngerti? Seluruh kisah Yesus menuju tujuan perjalanannya di
Yerusalem (Luk 9:51-19:28) itu penjelasan naratif tentang mengasihi
Tuhan dengan sepenuh-penuhnya. Kan nanti pada akhirnya di kayu salib
Yesus menyerahkan nyawanya kepada Bapanya yang dikasihinya
sepenuh-penuhnya – itu caraku menjelaskan.
MARK: Sudahlah, kita tak perlu menjelaskan sendiri tulisan kita, serahkan saja kepada ekseget.
GUS:
Terima kasih, kukira kalian sendiri mau jadi penafsir. Gini, mengenai
"kasihilah sesama seperti dirimu sendiri" ada sesuatu yang masih perlu
diulas. Kan kalian maksudkan, kasihilah sesama yang punya pengalaman
sama seperti dirimu sendiri, begitu kan. Jadi diingatkan bahwa kita ini
pada dasarnya mengalami pahit getirnya kehidupan seperti orang lain.
Maka ingat nanti kalau sudah lebih beruntung, gitu kan, jangan lupa
orang yang sedang ada dalam kesusahan, ya kan? Jadi tafsirnya bukan
mengasihi sesama seperti halnya kita mengasihi diri kita sendiri.
MATT
[melirik ke Mark yang tampak setuju]: Benar! Itu juga yang kumaksud
dalam Mat 19:19 dan 22:39. Paul juga gitu, lihat Rom 13:9, Gal 5:14,
juga Opa Jim dalam Yak 2:8.
LUC: Persis. Kalau mau bilang
mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri, mestinya diulang kata
"mengasihi" itu. Aku ingat kalimat seperti itu dalam tulisan Oom Hans
(Yoh 15:12), "Inilah perintahku, yaitu supaya kamu saling mengasihi
seperti aku (=Yesus) mengasihi kamu."
GUS [lega mereka bertiga
setuju]: Kalau bisa kurumuskan kembali, mengasihi Tuhan hendaknya
dijalankan dengan kesadaran penuh (= segenap "hati" /"akalbudi") yang
keluar dari keyakinan (= segenap "jiwa") dan tekad utuh (= segenap
"kekuatan"). Jadi bukan hanya setengah-setengah, mendua, atau
ikut-ikutan, tapi dengan pengertian. Lalu mengasihi sesama itu kan
karena sesama itu seperti kita-kita ini juga dalam suka duka kehidupan
ini. Kalian tak keberatan dengan parafrase ini kan?
SIKAP HIDUP BERAGAMA
Pembicaraan
malam itu kemudian semakin berpusat pada kemampuan Yesus memperlihatkan
apa itu inti ajaran Taurat dan para nabi, dari hukum-hukum dan
kisah-kisah yang mengajarkan hidup sebagai orang percaya. Saya
lontarkan pertanyaan kepada ketiga rekan ini bagaimana penjelasannya kok
Yesus bisa melihat sedalam itu dan menyampaikan pemahamannya kepada
orang banyak. Jawab mereka satu dan sama: Yesus memenuhi kedua perintah
utama tadi. Boleh dikatakan, seluruh hidupnya diserahkan untuk mengasihi
Yang Mahakuasa dengan kesadaran penuh dan dengan keyakinan dan tekad
yang matang. Dan semuanya ini terungkap dalam kesediaannya ikut
merasakan yang dialami orang lain. Ia percaya orang lain itu juga
seperti dia sendiri: dikasihi Allah dan oleh karenanya dapat
mengasihiNya. Inilah dasar dan inti hidup beragama.
Pembicaraan
dengan ketiga rekan tadi semakin memperjelas betapa inti hidup beragama
itu sebetulnya menomorsatukan Allah dan sesama, bukan aturan-aturan
agama belaka yang malah bisa menjauhkan orang dari sesama dan dari Allah
sendiri.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment