3. Wajib Berdoa
“Dan
apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka
mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada
tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata
kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau
berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu
yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan
membalasnya kepadamu.” (6:5-6)
Bukan Eksposisi
Ternyata doa juga dapat menjadi
kemunafikan. Kalau sikap munafik adalah nafsu penonjolan diri, kemunafikan doa
menjadi tindakan menunjukkan diri kepada khalayak bahwa seseorang adalah pendoa
bahkan pendoa hebat. Untuk saat ini mungkin kemunafikan doa tidak terjadi “dengan
berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya”. Tetapi
orang dapat saja berlama-lama berada di gedung Gereja atau kapel dengan niatan
agar dilihat sedang berdoa. Sehingga di situ hanya sekedar duduk-duduk atau
sebagai orang yang sudah berlanjut usia bosan dengan keadaan rumah. Bisa saja
di situ orang hanya ber-HP-ria asyik sana-sini jumpa dengan banyak orang di
dunia maya. Barangkali dengan HP dia tetap berada dalam kesibukan doa, yaitu
dengan menuliskannya. Dan kemudian ditayangkan lewat dunia media sosial. Bahkan
mungkin orang menyampaikan keberhasilannya lewat doa-doa tertentu.
Sebenarnya doa di dalam tempat
ibadat dan menuliskannya sebagai sharing dalam media sosial bukan hal yang
tidak terpuji. Di sini yang perlu dicermati dalam hati adalah dorongan batin
dari yang dilakukan. Kalau itu sungguh untuk ungkapan relasi dengan Tuhan tentu
saja menjadi keutamaan. Tetapi kalau untuk mengekspos diri agar dilihat atau diketahui
orang sebagai “Nih, aku berdoa”, itulah yang dilarang oleh Tuhan Yesus.
Kewajiban keagamaan bukan untuk mencari untung duniawi sekalipun itu berupa
sanjungan atau pengakuan yang dapat menaikkan gengsi dalam hidup bersama.
Jalan Tol Doa Lanjut usia
Dalam
kesendirian
Orang sering begitu saja
menyamakan doa dengan ibadat. Ibadat itu menyangkut kebersamaan dalam
mengungkapkan hubungan denganTuhan. Karena menjadi tindakan bersama, dalam
ibadat biasa ada panduan atau doa-doa tradisi agar semua dapat terlibat. Lain
halnya dengan doa. Doa adalah hubungan personal orang dengan Tuhan. Ini adalah
relasi yang sungguh pribadi antara “aku insani” dengan “Aku ilahi”. Hubungan
pribadi dengan Allah akan mendasari segala kebaikan dalam hidup termasuk dalam
hidup keagamaan. Peribadatan akan sungguh bermakna kalau dilandasi oleh
masing-masing peserta yang memiliki kebiasaan kontak personal dengan Allah.
Bahkan doa tradisi, yang diucapkan dalam doa pribadi, akan sungguh bermakna
karena adanya kebiasaan kontak personal dengan Allah.
Karena doa pada dasarnya merupakan
hubungan personal dengan Allah, layaklah bila Tuhan Yesus berkata “jika engkau
berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu
yang ada di tempat tersembunyi.” Hubungan pribadi dengan Allah mengkondisikan
orang berhubungan dengan Allah seperti dengan orang tua atau sosok yang
mencinta dan jadi topangan jiwani. Ini adalah tindakan yang dihayati dalam
kesendirian. Yesus menggambarkan doa sejati ada di tempat tersembunyi yang
tidak diketahui oleh orang lain. Bagi kaum lanjut usia untuk masuk dalam
kesendirian adalah hal yang amat leluasa dapat dialami. Pada umumnya orang yang
masuk lanjut usia sudah tidak banyak aktif dalam kebersamaan. Hidupnya sudah
banyak berada dalam kesendirian. Bila tinggal di rumah tua, dia akan berjumpa
dengan orang serumah hanya dalam jam-jam tertentu dalam acara bersama seperti
makan atau ibadat. Bila hidup serumah dengan anak cucu, orang lanjut usia
banyak ditinggal sendiri karena mereka memiliki kesibukan sendiri-sendiri.
Apalagi kalau berada di rumah sementara anak cucu tidak tinggal bersama, dia
akan berjumpa dengan orang lain bila masih dapat ikut aktif dalam
pertemuan-pertemuan. Kaum lanjut usia yang beriman akan menghayati kondisi kesendirian
itu justru menjadi anugerah istimewa sehingga bisa mendapatkan jalan leluasa
memesrakan hidup berhubungan dengan Allah.
Sendiri
berhening diri
Doa sebagai perjumpaan dengan
Allah di tempat tersembunyi mengarahkan orang dalam kesendiriannya masuk dalam
hubungan dengan relung hati. Di dalam relung hati orang tidak berjumpa dengan
dirinya tetapi dengan Allah sendiri karena setiap orang adalah “bait dari Allah
yang hidup” (2Kor 6:16). Sekalipun hati hanyalah bagian dari unsur jasmaniah
tetapi tubuh manusia adalah “bait Roh Kudus” (1Kor 6:19).
Satu hal yang bisa menjadi soal
adalah kenyataan kesendirian kaum lanjut usia membuat orang mengalami suasana
sepi yang bisa membuat kesepian. Dari sini kaum lanjut usia memang harus mengolah
suasana sepi sendiri menjadi kesempatan leluasa untuk berhening diri. Ketika
ada liburan Hari Raya Nyepi Selasa 12 Maret 2013 saya teringat ketika mengalami
Hari Raya itu di Bali pada tahun 2006. Dengan ingatan itu saya membuat catatan
berkaitan dengan kenyataan kaum lanjut usia. “Bukankah
kaum tua pada umumnya banyak mengalami kesendirian? Bukankah kaum tua banyak mengalami suasana sepi karena
sendiri? Kalau begitu, bukankah Hari
Raya Nyepi dapat menyadarkan kaum tua akan ANUGERAH SUASANA
SEPI yang dimiliki secara berlebihan?”
Yang saya sebut anugerah suasana sepi adalah kesempatan berhening diri. Santa
Theresa dari Calcuta mengatakan bahwa keheningan adalah as atau poros kekudusan
karena lewat keheningan orang akan selalu tersambung secara personal dengan
Allah. Secara umum pola dinamika olah rohani Santa Theresa adalah “Dengan
hening aku berdoa; Dengan doa aku beriman; Dengan iman aku mengasih; Dengan kasih
kualami kedamaian”. Kedamaian adalah suasana orang yang selalu mengalami
keheningan dalam dirinya. Di dalam catatan itu saya mengetengahkan olah rohani
mencapai keheningan dengan merujuk pada religiusitas Jawa.
Berkaitan dengan kemampuan hening diri, hal ini mudah terjadi
kalau orang dapat mengalami suasana sepi sendiri. Dalam suasana seperti ini
orang akan meNeng (diam). Kalau suasana diam ini dijalani,
orang dapat mengalami suasana weNing (hening, jernih)
sehingga dapat menyadari banyak hal yang terjadi dalam kehidupannya dengan
jernih atau jelas. Kejernihan diri akan membuat orang duNung (paham)
apa yang sebaiknya dilakukan untuk pengembangan dan kalau perlu perubahan diri.
Proses ini membuat orang meNang (mampu bersusah payah melakukan
yang bermakna untuk dirinya). Suasana sepi kalau diterima dan dijalani secara
alami akan membawa orang berbudi pekerti luhur karena proses Neng,
Ning, Nung, Nang. Dalam hidup keagamaan, ini semua membawa orang berproses
menjadi orang kerabat ilahi. (Catatan
pribadi Selasa 12 Maret 2013)
Lamunan
iman
Sebetulnya keheningan berkaitan
dengan suasana hati. Hati hening dapat dialami dalam keadaan apapun termasuk
dalam kesibukan maupun dalam pertemuan-pertemuan. Dan karena hati hening orang
tetap dapat membangun sambung batin dengan Tuhan lewat omongan-omongan singkat
dalam hati seperti dalam ber-SMS-an. Tetapi dalam kesendirian, yang pada
umumnya menjadi anugerah berlimpah bagi kaum lanjut usia, orang dapat makin
memperdalam kemesraan dengan Tuhan. Dengan memanfaatkan proses rohani dalam
religiusitas Jawa, hal itu dapat berada dalam kisaran sebagai berikut:
- NENG. Karena banyak berada dalam kesendirian kaum lanjut usia sungguh mendapatkan keleluasaan untuk meneng (diam). Di dalam diam kita bisa mengulang-ulang kata-kata yang membuat hati kita terbukan pada Tuhan. Selayaknya kita memiliki kata-kata keagamaan yang bisa kita ucapkan seperti mantra. Kata-kata itu misalnya “Tuhan ... Tuhan ...” atau “Ya Tuhan, aku datang melakukan kehendak-Mu” atau kata-kata lain yang kita ketemukan dalam khasanah hidup beragama.
- NING. Dari proses diam, kita dapat menyadari apa yang kita pikir, apa yang kita rasakan, dan apa yang kita kehendaki. Itu semua menjadi jelas dalam kesadaran diri. Di sinilah kita mengalami yang disebut wening (jernih bagaikan air kolam tak tercemar). Inilah keheningan. Dalam keadaan hening inilah segalanya menjadi seperti bayangan yang tampak jelas dalam benak. Dan dalam keheningan ini kita omongkan apapun yang terpikir atau terasa atau terkehendaki dengan Tuhan dalam hati. Dalam hati hening kita dapat asyik ngobrol dengan Dia.
- NUNG. Dalam omongan asyik dengan Tuhan dalam hati, sadar atau tidak sadar kita mengalami bimbingan Roh. Dalam bimbingan Roh kita akan dunung (memahami) apa dan mengapa kita punya pikiran atau perasaan atau kehendak atau campuran (entah keduanya entah ketiganya) seperti itu. Di dalam bimbingan Roh kita dapat menimbang-nimbang banyak hal.
- NANG. Karena memahami semua bayangan yang muncul dari pikiran, perasaan, dan kehendak, orang dapat menang. Kata menang memang ada konotasi dengan peristiwa mengalahkan. Sebagai murid Tuhan Yesus kita memang harus berjuang mengalahkan diri. Tuhan berkata “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Luk 9:23) Kita mampu menyangkal pikiran, perasaan, dan kehendak yang hanya membuat kita tak dapat menerima keadaan nyata lanjut usia. Dengan bimbingan Roh kita mampu dan menerima dengan ceria salib atau keadaan tidak enak harian karena kondisi lanjut usia. Ini semua terjadi karena kita orang yang ada dalam kuasa ilahi dan menang berhadapan dengan yang membuat kita berpaling dari Allah. Dengan demikian kita akan mengalami keceriaan batin (dalam religiusitas Jawa ada istilah pamudaran yang bermakna pencerahan) karena mempercayakan diri pada Injil, yaitu warta sukacita yang diamanatkan Kristus. Kita dapat menjalani warta utama Tuhan Yesus “Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mrk 1:15)
Doa dalam sendiri berhening diri
memang seperti peristiwa melamun. Tetapi ini adalah lamunan iman. Ini bukan
lamunan yang membuat orang masuk dalam rimba aneka pikiran, perasaan, dan
kehendak yang bisa menyesatkan. Ini adalah lamunan yang membawa kita untuk
menghayati diri sebagai “bait Roh Kudus” (1Kor 6:19)
Penghalang Utama
Karena doa pribadi, yang
sejatinya masuk dalam kesendirian mengalami kemesraan hubungan batin dengan
Tuhan, penghalang utama adalah kalau orang tak mampu menghayati kesendirian.
Untuk murid Kristus pada umumnya kesendirian iman dapat terjadi dalam
kesempatan misalnya rekoleksi dan retret. Kalau orang tak tahan untuk masuk
dalam diam sendiri, orang amat terhalang untuk sungguh berdoa. Ketidakmampuan
diam sendiri ini dalam diri kaum lanjut usia akan membuat hidup kacau bukan
main. Kaum lanjut usia yang sulit mengalami kesendirian akan mudah sangat
diwarnai oleh keinginan banyak bepergian atau ikut banyak kumpulan. Dia dapat
berdalih no man is an island (manusia
itu bukan sebuah pulau yang terpisah dengan pulau-pulau lain). Atau yang lebih
populer orang dapat berkata “manusia itu makhluk sosial”. Tetapi dalih atau
alasan seperti itu, kalau melupakan bahwa manusia itu pribadi, justru hanya jadi
hambatan dalam hidup bersama. Kaum lanjut usia seperti ini dalam kumpulan mudah
tampil mengganggu orang-orang lain. Anak cucu yang tinggal serumah pun akan
berusaha menyingkir. Dalam dirinya orang lanjut usia demikian jauh dari sambung
batin dengan Allah. Dan kalau “Allah adalah kasih” (1Yoh 4:8), dia adalah orang
lanjut usia yang kosong menghayatan kasih dan penuh dengan nafsu-nafsu
egoistis.
(ada lanjutan)
0 comments:
Post a Comment