Berikut ini
adalah terjemahan yang tidak resmi (unofficial translation) dari
ensiklik Paus Fransiskus yang berjudul Lumen Fidei (Terang
Iman). Jika anda ingin mengutip terjemahan ensiklik ini, mohon
mencantumkan www.katolisitas.org sebagai sumbernya, sehingga kalau ada masukan
dapat diberitahukan kepada kami.
AN
UNOFFICIAL INDONESIAN TRANSLATION OF THE ENCYCLICAL LUMEN FIDEI (The Light
of Faith)
@COPYRIGHT 2014 – KATOLISITAS
@COPYRIGHT 2014 – KATOLISITAS
Surat
Ensiklik
TERANG IMAN
TERANG IMAN
dari Sri Paus
FRANSISKUS
Kepada Para Uskup Imam dan Diakon
Kaum Religius dan Umat Awam
Tentang IMAN
Kaum Religius dan Umat Awam
Tentang IMAN
Kepenuhan
iman Kristiani
15. “Abraham
bersukacita bahwa ia akan melihat hari-Ku; ia telah melihatnya dan bersukacita”
(Yoh 8:56). Berdasarkan kata-kata Yesus ini, iman Abraham telah merujuk kepada
Diri-Nya; dalam arti hal tersebut telah meramalkan misteri-Nya. Maka Santo
Augustinus memahami itu ketika ia menyatakan bahwa para patriakh telah
diselamatkan oleh iman, bukan iman akan Kristus yang telah datang melainkan
akan Kristus yang masih akan datang, sebuah iman yang menekankan ke arah masa
depan Yesus.[13] Iman Kristiani berpusat pada
Kristus; itu merupakan pengakuan bahwa Yesus adalah Tuhan dan bahwa Allah telah
membangkitkan Dia dari antara orang mati (bdk. Rom 10:9). Semua jalur benang
dari Perjanjian Lama bertemu menjadi satu pada Kristus; Dia menjadi “Ya” yang
definitif untuk semua janji-Nya, dasar utama “Amin” kita kepada Allah (bdk. 2
Kor 1:20). Sejarah Yesus adalah manifestasi lengkap
keandalan Allah. Jika bangsa Israel terus mengingat perbuatan-perbuatan
besar kasih Allah, yang telah membentuk inti dari pengakuan imannya dan
memperluas pandangannya dalam iman, kehidupan Yesus sekarang muncul sebagai
wadah dari campur tangan Allah secara definitif, manifestasi tertinggi dari
kasih-Nya untuk kita. Sabda yang Allah katakan kepada kita dalam Yesus bukanlah
hanya satu sabda di antara banyak [sabda], melainkan Sabda-Nya yang kekal (bdk.
Ibr 1:1-2). Allah tidak dapat memberikan jaminan lebih besar daripada
Kasih-Nya, sebagaimana Santo Paulus ingatkan pada kita (bdk. Rom 8:31-39). Dengan demikian, iman Kristiani adalah iman akan sebuah kasih
yang sempurna, akan kekuatannya yang menentukan, akan kemampuannya untuk
mengubah dunia dan untuk mengungkap sejarahnya. “Kita mengenal dan
percaya akan kasih Allah kepada kita” (1 Yoh 4:16). Dalam kasih Allah yang
dinyatakan dalam Yesus, iman menyadari pondasi itu yang padanya bersandar semua
realitas dan tujuan akhirnya.
16. Bukti
yang paling jelas dari keandalan kasih Kristus dapat ditemukan dalam
kematian-Nya demi kita. Jika seseorang memberikan nyawanya untuk
sahabat-sahabatnya adalah bukti terbesar dari kasih (bdk. Yoh 15:13), Yesus
mempersembahkan hidup-Nya sendiri bagi semua [orang], bahkan bagi
musuh-musuh-Nya, untuk mengubah hati mereka. Hal ini menjelaskan mengapa para
penginjil dapat melihat waktu penyaliban Kristus sebagai puncak dari tatapan
iman; pada saat itu kedalaman dan luasnya kasih Allah bersinar keluar. Saat
itulah kemudian Santo Yohanes mempersembahkan kesaksiannya yang
sungguh-sungguh, saat ia bersama-sama dengan Ibu Yesus memandang kepada Dia
yang telah ditikam (bdk. Yoh 19:37): “Orang yang melihat hal ini sendiri telah
memberikan kesaksian, supaya kamu juga percaya. Kesaksiannya adalah benar, dan
ia tahu bahwa ia mengatakan kebenaran” (Yoh 19:35). Dalam The Idiot
karya Dostoevsky, Pangeran Myshkin melihat sebuah lukisan yang dibuat
oleh Hans Holbein Muda, yang menggambarkan Kristus yang wafat di dalam kubur,
dan [ia]berkata: “Melihat pada lukisan itu mungkin dapat menyebabkan seseorang
kehilangan imannya”.[14] Lukisan itu adalah sebuah
gambaran mengerikan dari efek- efek yang menghancurkan dari kematian pada tubuh
Kristus. Namun justru dalam merenungkan kematian Yesuslah maka iman bertambah
kuat dan menerima sebuah terang yang mempesonakan; lalu ia [iman]dinyatakan
sebagai iman akan kasih setia Kristus bagi kita, sebuah kasih yang mampu
merangkul kematian untuk membawa kita kepada keselamatan. Kasih ini, yang tidak
undur terhadap kematian agar dapat menunjukkan kedalamannya, adalah sesuatu
yang dapat kupercayai; pemberian diri total Kristus mengatasi setiap kecurigaan
dan memungkinkan aku untuk mempercayakan diriku sendiri kepada-Nya sepenuhnya.
17. Kematian
Kristus memperlihatkan keandalan yang sempurna dari kasih Allah yang terpenting
dalam terang kebangkitan-Nya. Sebagai Seorang yang bangkit, Kristus adalah
saksi yang dapat dipercaya, patut diimani (bdk. Why 1:5; Ibr 2:17), dan sebuah
pendukung yang kuat untuk iman kita. “Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka
sia-sialah kepercayaanmu”, kata Santo Paulus (1 Kor 15:17). Seandainya kasih
Bapa tidak menyebabkan Yesus bangkit dari kematian-Nya, seandainya kasih itu
belum mampu mengembalikan tubuh-Nya untuk hidup kembali, maka itu tidak akan
menjadi sebuah kasih yang benar-benar dapat diandalkan, yang mampu menerangi
juga kegelapan dari kematian. Ketika Santo Paulus menggambarkan hidup barunya
di dalam Kristus, ia berbicara tentang “iman di dalam Putera Allah yang telah
mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Gal 2:20). Jelas, “iman di
dalam Putera Allah” ini berarti iman Paulus di dalam Yesus, tetapi iman itu
juga mengambil dasar jaminan bahwa Yesus sendiri adalah layak untuk diimani,
atas dasar bukan hanya bahwa Ia telah mengasihi kita bahkan sampai mati, tetapi
juga atas dasar status keputraan ilahi-Nya. Tepatnya karena Yesus adalah
Putera-Nya, karena Dia secara keseluruhan didasarkan dalam Allah Bapa, Dia
mampu menaklukkan kematian dan membuat kepenuhan hidup bersinar keluar. Budaya
kita telah kehilangan arti kehadiran nyata dan aktivitas Allah di dunia kita.
Kita berpikir bahwa Allah dapat ditemukan di luar sana, pada tingkatan lain
dari realitas, jauh terpisahkan dari hubungan-hubungan relasi kita sehari-hari.
Tapi jika ini terjadi, jika Allah tidak bisa bertindak di dunia ini, kasih-Nya
tidak akan menjadi benar-benar kuat, benar-benar nyata, dan dengan demikian
bahkan tidak benar, sebuah kasih yang mampu mengantarkan kebahagiaan yang
dijanjikannya. Keadaan ini tidak akan membuat perbedaan sama sekali apakah kita
telah percaya kepada-Nya atau tidak. Sebaliknya, umat Kristiani, mengakui iman
mereka dalam kasih Allah yang nyata dan kuat yang benar-benar bertindak dalam
sejarah dan menentukan tujuan akhirnya: sebuah kasih yang dapat dijumpai,
sebuah kasih yang sepenuhnya terungkap dalam sengsara, kematian dan kebangkitan
Kristus.
18.
Kepenuhan ini yang Yesus bawa kepada iman, memiliki aspek yang menentukan
lainnya. Dalam iman, Kristus bukan hanya yang di dalam-Nya kita percaya,
manifestasi tertinggi dari kasih Allah itu; Dia juga adalah Seorang yang
dengan-Nya kita bersatu, justru dengan maksud untuk percaya. Iman tidak hanya memandang kepada Yesus, tetapi melihat
hal-hal sebagaimana Yesus sendiri melihat mereka, dengan mata-Nya sendiri: itu
adalah sebuah partisipasi dalam cara Ia melihat. Di banyak area dalam
hidup kita, kita percaya kepada orang lain yang tahu lebih banyak daripada yang
kita sendiri ketahui. Kita percaya kepada arsitek yang membangun rumah kita,
apoteker yang memberikan kita obat untuk penyembuhan, pengacara yang membela
kita di pengadilan. Kita juga perlu seseorang yang bisa dipercaya dan
berpengetahuan luas sehubungan dengan Allah. Yesus, Putera Allah, Dialah yang
menyatakan Allah kepada kita (bdk. Yoh 1:18). Hidup Kristus, cara-Nya mengenal
Bapa-Nya dan hidup dalam hubungan yang lengkap dan konstan dengan Bapa-Nya,
membuka rangkaian pandangan yang baru dan yang mengundang bagi pengalaman
manusia. Santo Yohanes menyatakan pentingnya sebuah hubungan pribadi dengan
Yesus bagi iman kita dengan menggunakan berbagai bentuk kata kerja “percaya”.
Selain “percaya bahwa” apa yang Yesus katakan kepada kita adalah benar, Yohanes
juga berbicara tentang “percaya” Yesus dan “percaya akan” Yesus. Kita “percaya”
Yesus ketika kita menerima Sabda-Nya, kesaksian-Nya, karena Dia berkata benar.
Kita “percaya akan” Yesus ketika kita secara pribadi menyambut-Nya ke dalam
hidup kita dan melakukan perjalanan ke arah-Nya, dengan melekat kepada-Nya
dalam kasih dan mengikuti jejak-Nya sepanjang jalan-Nya. Untuk memampukan kita
mengenal, menerima dan mengikuti-Nya, Putera Allah mengambil daging kita
[menjadi manusia]. Dengan cara ini Dia juga melihat Bapa-Nya dengan cara
manusiawi, dalam kerangka sebuah perjalanan yang menjadi jelas dalam waktu.
Iman Kristiani adalah iman akan inkarnasi dari Sang Sabda dan kebangkitan
Tubuh-Nya; itu adalah iman akan Allah yang berada begitu dekat dengan kita
sehingga Dia masuk ke dalam sejarah manusia. Jauh dari memisahkan kita dengan
realitas, iman kita kepada Putera Allah yang menjadi manusia dalam Yesus dari
Nazaret memungkinkan kita untuk memahami makna terdalam dari realitas dan untuk
melihat betapa besar Allah mengasihi dunia ini dan terus membimbingnya ke arah
Diri-Nya sendiri. Hal ini menuntun kita, sebagai umat Kristiani, untuk
menjalani hidup kita di dunia ini dengan komitmen dan intensitas yang semakin
besar.
0 comments:
Post a Comment