Berikut ini adalah terjemahan yang tidak resmi (unofficial translation) dari ensiklik Paus Fransiskus yang berjudul Lumen Fidei (Terang Iman). Jika anda ingin mengutip terjemahan ensiklik ini, mohon mencantumkan www.katolisitas.org sebagai sumbernya, sehingga kalau ada masukan dapat diberitahukan kepada kami.
AN
UNOFFICIAL INDONESIAN TRANSLATION OF THE ENCYCLICAL LUMEN FIDEI (The Light
of Faith)
@COPYRIGHT 2014 – KATOLISITAS
Surat
Ensiklik
TERANG IMAN
TERANG IMAN
dari Sri Paus
FRANSISKUS
Kepada Para Uskup Imam dan Diakon
Kaum Religius dan Umat Awam
Tentang IMAN
Kaum Religius dan Umat Awam
Tentang IMAN
Iman bangsa Israel
12. Sejarah
bangsa Israel dalam Kitab Keluaran mengikuti jejak iman Abraham. Iman sekali
lagi lahir dari karunia yang awali: Israel percaya kepada Allah, yang berjanji
untuk membebaskan umat-Nya dari kesusahan mereka. Iman menjadi suatu panggilan
untuk sebuah perjalanan panjang yang menuju kepada penyembahan Tuhan di Sinai
dan pewarisan sebuah tanah terjanji. Kasih Allah dilihat seperti kasih seorang
bapa yang membawa anaknya sepanjang perjalanan (bdk. Ul 1:31). Pengakuan iman
Israel terbentuk atas dasar perbuatan- perbuatan Allah dalam membebaskan
umat-Nya dan dalam bertindak sebagai penunjuk jalan mereka (bdk. Ul 26:5-11),
sebuah dasar yang diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Terang
Allah menerangi Israel melalui kenangan akan perbuatan- perbuatan Allah yang
ajaib, yang diingat dan dirayakan dalam penyembahan, dan diturunkan dari orang
tua kepada anak-anak. Di sini kita melihat bagaimana terang iman dihubungkan
dengan cerita kehidupan yang nyata, dengan kenangan penuh rasa syukur atas
perbuatan Allah yang ajaib dan pemenuhan terus-menerus atas janji-janji-Nya.
Arsitektur gaya Gothik memberikan gambaran yang jelas akan hal ini: dalam
katedral- katedral yang megah, cahaya turun dari surga melalui kaca- kaca
jendela yang menggambarkan sejarah penyelamatan. Terang Allah datang kepada
kita melalui kisah pewahyuan diri-Nya, dan oleh karena itu menjadi mampu untuk
menerangi perjalanan kita sepanjang waktu dengan mengenangkan
anugerah-anugerah-Nya dan menunjukkan bagaimana Ia memenuhi janji-janji-Nya.
13. Sejarah
bangsa Israel juga menunjukkan kepada kita godaan untuk tidak percaya yang
kepadanya bangsa tersebut menyerah lebih dari sekali. Di sini kebalikan dari
iman ditunjukkan dengan penyembahan berhala. Sementara Musa berbicara dengan
Allah di Sinai, bangsa Israel tidak tahan dengan misteri Allah yang
tersembunyi, mereka tidak dapat bersabar menunggu saat untuk melihat wajah-Nya.
Iman pada dasarnya menuntut pengingkaran akan kepemilikan langsung yang nampaknya
ditawarkan oleh penglihatan kita; iman adalah sebuah undangan untuk berpaling
ke sumber terang tersebut, sementara menghormati misteri wajah Allah yang akan
tersingkap sendiri pada waktunya. Martin Buber sekali waktu mengutip sebuah
definisi tentang penyembahan berhala dari seorang Rabi dari Kock: penyembahan
berhala ialah “saat sebuah wajah mengacu pada sebuah wajah yang bukan sebuah
wajah”.[10] Daripada beriman kepada
Allah, sepertinya lebih baik menyembah berhala, yang wajahnya dapat kita lihat
langsung dan asal muasalnya kita ketahui, karena itu adalah hasil kerja tangan
kita. Di hadapan sebuah berhala, tidak ada risiko bahwa kita akan diminta untuk
meninggalkan zona aman kita, karena berhala-berhala “memiliki mulut, tetapi
mereka tidak dapat bicara” (Mzm 115:5). Berhala-berhala ada, kita mulai
melihat, sebagai sebuah alasan untuk menempatkan diri kita di pusat realitas
dan menyembah hasil kerja tangan kita sendiri. Saat manusia kehilangan arah
dasar yang menyatukan keberadaannya, manusia terpecah-pecah dalam keinginan-
keinginannya yang berlipat ganda; dengan menolak untuk menunggu waktu yang dijanjikan,
kisah hidupnya terpecah belah menjadi banyak sekali peristiwa-peristiwa yang
tidak berhubungan. Oleh karena itu, berhala selalu bersifat politeisme, sebuah
peralihan dari dewa yang satu ke dewa yang lain tanpa tujuan.
Berhala
tidak menawarkan sebuah jalan melainkan banyak jalan yang tidak jelas arah
tujuannya dan yang membentuk sebuah labirin yang besar sekali. Mereka yang
tidak memilih untuk percaya kepada Allah harus mendengar hiruk pikuk dari dewa-dewi
yang tidak terhitung jumlahnya yang berseru-seru: “Percayalah kepada saya!”
Iman, walaupun terikat kepada pertobatan, adalah kebalikan dari berhala; iman
berpisah dengan berhala, untuk berpaling kepada Allah yang hidup dalam suatu
perjumpaan pribadi. Percaya berarti menyerahkan diri kepada sebuah kasih yang
penuh pengampunan yang selalu menerima dan memaafkan, yang menguatkan dan
mengarahkan hidup kita, dan yang menunjukkan kuasanya dengan kemampuannya untuk
meluruskan kebengkokan dalam sejarah kita. Iman mengandung kesediaan untuk
membiarkan diri kita terus menerus diubah dan diperbaharui dengan panggilan
Allah. Di sinilah terdapat sebuah paradoks: dengan terus menerus berpaling
kepada Tuhan, kita menemukan sebuah jalan yang pasti yang membebaskan kita dari
kerusakan moral yang dipaksakan atas kita oleh para berhala.
14. Dalam
iman bangsa Israel kita juga berjumpa dengan figur Musa, sang perantara. Bangsa
itu tidak dapat melihat wajah Allah; Musa-lah yang berbicara dengan Yahwe di
gunung itu dan lalu memberitahukan kepada mereka kehendak Tuhan. Dengan kehadiran
seorang perantara di tengah mereka, bangsa Israel belajar untuk berjalan
bersama dalam persatuan. Tindakan iman pribadi mendapat tempatnya dalam
komunitas, dalam kebersamaan “kami” bagi bangsa itu yang, dalam iman, menjadi
seperti sebuah pribadi – “anak lelaki sulungku”, seperti digambarkan Allah
tentang Israel (bdk. Kel 4:22). Di sini perantaraan bukanlah sebuah halangan,
melainkan pintu masuk: melalui perjumpaan kita dengan orang lain, pandangan
kita terangkat kepada sebuah kebenaran yang lebih besar daripada diri kita
sendiri. Rousseau pernah sekali meratap bahwa ia sendiri tidak dapat melihat
Allah: “Berapa banyak orang yang berdiri antara Allah dengan aku!”[11] … “Bukankah itu sungguh sangat sederhana dan alamiah bahwa Allah
seharusnya akan mencari Musa untuk berbicara dengan Jean Jacques Rousseau?”[12] Atas dasar konsep pengetahuan
yang individualistis dan sempit, seseorang tidak dapat menghargai pentingnya
pengantaraan, kapasitas ini untuk mengambil bagian dalam cara pandang orang
lain, pengetahuan bersama ini, yang merupakan pengetahuan yang tepat untuk
kasih. Iman adalah anugerah gratis dari Allah, yang meminta kerendahan hati dan
keberanian untuk percaya dan untuk berpasrah; iman memampukan kita untuk
melihat jalan terang yang mengarahkan kita ke perjumpaan antara Allah dan umat
manusia: sejarah penyelamatan.
0 comments:
Post a Comment