Berikut ini
adalah terjemahan yang tidak resmi (unofficial translation) dari
ensiklik Paus Fransiskus yang berjudul Lumen Fidei (Terang
Iman). Jika anda ingin mengutip terjemahan ensiklik ini, mohon
mencantumkan www.katolisitas.org sebagai sumbernya, sehingga kalau ada masukan
dapat diberitahukan kepada kami.
AN
UNOFFICIAL INDONESIAN TRANSLATION OF THE ENCYCLICAL LUMEN FIDEI (The Light
of Faith)
@COPYRIGHT 2014 – KATOLISITAS
@COPYRIGHT 2014 – KATOLISITAS
Surat
Ensiklik
TERANG IMAN
TERANG IMAN
dari Sri Paus
FRANSISKUS
Kepada Para Uskup Imam dan Diakon
Kaum Religius dan Umat Awam
Tentang IMAN
Kaum Religius dan Umat Awam
Tentang IMAN
1. Terang
Iman: demikianlah cara tradisi Gereja berbicara mengenai karunia besar yang
dibawa oleh Yesus. Di dalam Injil Yohanes, Kristus berkata mengenai diriNya:
“Aku telah datang ke dalam dunia sebagai terang, supaya setiap orang yang
percaya kepada-Ku, jangan tinggal di dalam kegelapan” (Yoh 12:46). Santo Paulus
menggunakan gambaran yang sama: “Sebab Allah yang telah berfirman, ‘Dari dalam
gelap akan terbit terang!’, Ia juga yang membuat terang-Nya bercahaya di dalam
hati kita” (2 Kor 4:6). Kaum pagan, yang lapar akan terang, telah menyaksikan
perkembangan kultus dewa matahari, Sol Invictus, yang diseru-serukan
setiap hari saat matahari terbit. Namun demikian, meskipun matahari lahir baru
setiap pagi, jelaslah bahwa matahari tidak dapat memancarkan sinarnya kepada
seluruh keberadaan umat manusia. Matahari tidak dapat menerangi semua realita;
cahayanya tidak dapat menembus bayangan kematian, tempat di mana mata manusia
tertutup dari cahayanya. “Tidak seorangpun – tulis Santo Yustinus Martir – yang
pernah siap untuk mati demi imannya akan matahari”.[1] Sadar akan luasnya cakrawala
yang telah dibentangkan oleh iman mereka, umat Kristen menyebut Yesus sebagai
matahari yang sejati, “yang sinarnya mengaruniakan kehidupan”.[2] Kepada Martha, yang menangisi
kematian saudaranya Lazarus, Yesus berkata: “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu:
Jikalau engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah?” (Yoh 11:40).
Mereka yang percaya, melihat; mereka melihat dengan terang yang menerangi
seluruh perjalanan hidup mereka, karena terang itu datang dari Yesus yang
bangkit, bintang fajar yang tak pernah terbenam.
Sebuah terang ilusi?
2. Namun demikian saat kita berbicara mengenai terang iman, kita seringkali dapat mendengar keberatan- keberatan dari banyak orang di zaman ini. Di zaman modern, terang tersebut mungkin dianggap telah cukup untuk masyarakat zaman dulu, tetapi dirasa menjadi tidak berguna untuk masa sekarang, untuk sebuah kemanusiaan yang telah sampai pada zaman, yang bangga akan rasionalitasnya dan begitu gelisah untuk menyelidiki masa depan dengan cara-cara yang baru. Maka untuk sejumlah orang, iman nampak sebagai terang ilusi yang mencegah umat manusia dari langkah yang berani dalam penyelidikan pengetahuan. Nietzsche saat muda menyemangati saudarinya Elisabeth untuk mengambil risiko, untuk menjalani “jalur baru… dengan segala ketidakpastian seseorang yang harus mencari jalannya sendiri”, dengan menambahkan bahwa, “di sinilah di mana jalur-jalur kemanusiaan berpisah jalan: jika kamu menginginkan kedamaian bagi jiwa dan kebahagiaan, maka percayalah, tetapi jika kamu ingin menjadi pengikut kebenaran, maka carilah”.[3] Kepercayaan akan menjadi tidak selaras dengan pencarian. Dari titik ini Nietzsche kemudian membangun kritiknya terhadap ajaran Kristiani karena menghilangkan arti sepenuhnya dari eksistensi manusia dan menanggalkan hal-hal baru dan petualangan dari kehidupan. Maka iman akan menjadi terang ilusi, sebuah ilusi yang menghalangi jalan yang menuju pembebasan kemanusiaan untuk masa depannya.
3. Dalam
prosesnya, iman jadi diasosiasikan dengan kegelapan. Dulu ada orang-orang yang
mencoba menyelamatkan iman dengan membuat ruang baginya sebelah menyebelah
dengan terang akal budi. Ruangan tersebut akan terbuka di saat terang akal budi
tidak dapat menembus, di mana kepastian tidak mungkin lagi. Iman kemudian
dimengerti entah sebagai loncatan dalam gelap, yang harus dilakukan saat tidak ada
terang, didorong oleh emosi yang buta, atau sebagai terang yang subjektif, yang
mungkin dapat menghangatkan hati dan membawa penghiburan pribadi, tetapi bukan
sebagai sesuatu yang dapat ditawarkan kepada orang lain sebagai suatu terang
yang objektif dan yang dapat dibagikan, yang menunjukkan jalan. Walaupun
demikan, lambat namun pasti, akan menjadi nyata bahwa terang akal budi saja
tidak cukup untuk menerangi masa depan; pada akhirnya masa depan tetaplah
merupakan bayang-bayang dan penuh dengan ketakutan akan sesuatu yang tidak
diketahui. Akibatnya, manusia mengabaikan pencarian akan sebuah terang yang
besar, [yaitu]Kebenaran itu sendiri, agar dapat puas dengan terang- terang yang
lebih kecil yang menerangi saat ini yang sedang bergulir cepat walaupun terbukti
tidak sanggup untuk menunjukkan jalan. Namun dengan tidak adanya terang
semuanya jadi membingungkan; menjadi tidak mungkin untuk membedakan yang baik
dari yang jahat, atau jalan yang menuju tujuan kita dari jalan-jalan lain yang
hanya membawa kita berputar- putar tiada akhir, yang tanpa tujuan.
0 comments:
Post a Comment