Berikut ini
adalah terjemahan yang tidak resmi (unofficial translation) dari
ensiklik Paus Fransiskus yang berjudul Lumen Fidei (Terang
Iman). Jika anda ingin mengutip terjemahan ensiklik ini, mohon
mencantumkan www.katolisitas.org sebagai sumbernya, sehingga kalau ada masukan
dapat diberitahukan kepada kami.
AN
UNOFFICIAL INDONESIAN TRANSLATION OF THE ENCYCLICAL LUMEN FIDEI (The Light
of Faith)
@COPYRIGHT 2014 – KATOLISITAS
@COPYRIGHT 2014 – KATOLISITAS
Surat
Ensiklik
TERANG IMAN
TERANG IMAN
dari Sri Paus
FRANSISKUS
Kepada Para Uskup Imam dan Diakon
Kaum Religius dan Umat Awam
Tentang IMAN
Kaum Religius dan Umat Awam
Tentang IMAN
Pengetahuan kebenaran dan kasih
26. Ini
menjadi masalahnya, dapatkah iman Kristiani memberikan sebuah pelayanan untuk
kepentingan bersama berkaitan dengan cara yang benar untuk memahami kebenaran?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu merenungkan jenis pengetahuan yang
terlibat dalam iman. Berikut sebuah perkataan Santo Paulus yang dapat membantu
kita: “Seseorang percaya dengan hatinya” (Rom 10:10). Dalam Alkitab, hati
adalah inti dari pribadi manusia itu, di mana semua dimensinya yang berbeda
bersinggungan: tubuh dan jiwa, interioritas dan keterbukaan terhadap dunia dan
orang lain, kecerdasan, kemauan dan ungkapan kasih. Jika hati mampu memegang
semua dimensi ini bersama-sama, itu adalah karena kita menjadi terbuka kepada
kebenaran dan kasih, di mana kita membiarkan keduanya menyentuh kita dan dengan
mendalam mengubah kita. Iman mengubah keseluruhan pribadi seseorang tepatnya
dalam artian bahwa ia menjadi terbuka terhadap kasih. Melalui perpaduan iman
dan kasih ini kita dapat melihat jenis pengetahuan yang dibawa oleh iman,
kekuatannya untuk meyakinkan dan kemampuannya untuk menerangi langkah-langkah
kita. Iman mengetahui, karena iman terikat kepada kasih, sebab kasih itu
sendiri membawa pencerahan. Pengertian iman lahir ketika kita menerima cinta
kasih Allah yang begitu besar yang mengubah kita dari dalam dan memungkinkan
kita untuk melihat realitas dengan mata yang baru.
27.
Penjelasan tentang hubungan antara iman dan kepastian yang diajukan oleh filsuf
Ludwig Wittgenstein cukup dikenal dengan baik. Bagi Wittgenstein, percaya dapat
dibandingkan dengan pengalaman jatuh cinta: itu adalah sesuatu yang subjektif
yang tidak dapat diusulkan sebagai sebuah kebenaran yang valid bagi semua
orang.[19] Memang, kebanyakan orang
dewasa ini tidak akan menganggap cinta kasih berhubungan dengan kebenaran dalam
cara apapun. Cinta kasih dipandang sebagai pengalaman yang diasosiasikan dengan
dunia emosi sesaat, tidak lagi dengan kebenaran.
Tapi apakah
ini adalah sebuah penjabaran yang memadai tentang kasih? Kasih tidak dapat
direduksi menjadi sebuah emosi yang singkat. Benar, kasih terkait dengan
pengaruh emosi kita, tetapi untuk membukanya kepada orang yang dikasihi dan
dengan demikian menjadi pemicu jalur yang menjauh dari keterpusatan kepada diri
sendiri dan mengarah kepada orang lain, dalam upaya untuk membangun sebuah
hubungan yang abadi; kasih bertujuan kepada persatuan dengan sang kekasih. Di
sini kita mulai melihat bagaimana kasih mensyaratkan kebenaran. Hanya dalam
artian bahwa kasih didasarkan pada kebenaran, kasih dapat bertahan dari waktu
ke waktu, dan dapat melampaui saat yang bergulir dan menjadi cukup kuat untuk
menopang sebuah perjalanan bersama. Jika kasih tidak terikat pada kebenaran, ia
menjadi korban emosi-emosi yang berubah-ubah dan tidak dapat bertahan dalam
ujian waktu. Kasih sejati, di sisi lain, menyatukan semua elemen pribadi kita
dan menjadi sebuah terang baru yang menunjukkan jalan kepada sebuah kehidupan
yang besar dan lengkap. Tanpa kebenaran, kasih tidak mampu membentuk sebuah
ikatan kuat; ia tidak dapat membebaskan ego kita yang terisolasi atau
membebaskannya dari momen yang cepat berlalu, agar menciptakan kehidupan dan
menghasilkan buah.
Jika kasih
membutuhkan kebenaran, kebenaran juga membutuhkan kasih. Kasih dan kebenaran
tidak dapat dipisahkan. Tanpa kasih, kebenaran menjadi dingin, impersonal
(bukan bersifat pribadi) dan menindas kehidupan manusia sehari- hari. Kebenaran
yang kita cari, kebenaran yang memberikan makna pada perjalanan kita sepanjang
kehidupan, menerangi kita setiap kali kita disentuh oleh kasih. Seseorang yang
mengasihi menyadari bahwa kasih adalah sebuah pengalaman akan kebenaran, bahwa
kasih membuka mata kita untuk melihat realitas dengan cara yang baru, dalam
persatuan dengan sang kekasih. Dalam pengertian ini, Santo Gregorius Agung
dapat menulis bahwa “amor ipse notitia est“, kasih itu sendiri adalah
sejenis pengetahuan yang dimiliki logikanya sendiri.[20] Ini merupakan sebuah cara relasional yang
memandang dunia, yang kemudian menjadi sebuah bentuk pengetahuan bersama, visi
melalui mata orang lain dan sebuah visi bersama dari semua yang ada. Santo
William dari Thierry, pada abad pertengahan, mengikuti tradisi ini ketika dia
memberikan komentar pada ayat Kidung Agung di mana sang kekasih berkata kepada
kekasihnya, “Matamu bagaikan merpati” (Kid 1:15).[21] Dua mata itu, kata William,
adalah akal budi dan kasih yang dipenuhi oleh iman, yang kemudian menjadi satu
dalam pendekatan kepada kontemplasi Allah, ketika pemahaman kita menjadi “sebuah
pemahaman tentang kasih yang dicerahkan [oleh pandangan pengetahuan dan
spiritual]“.[22]
28. Penemuan
kasih ini sebagai sumber ilmu pengetahuan, yang merupakan bagian dari
pengalaman primordial [terdapat sejak awal mula dahulu]dari setiap pria dan
wanita, menemukan ekspresi otoritatif dalam pemahaman tentang iman secara
alkitabiah. Dalam menikmati kasih yang dengannya Allah telah memilih mereka dan
membuat mereka menjadi sebuah bangsa, Israel sampai pada pemahaman tentang
keseluruhan kesatuan rencana ilahi itu. Pengetahuan iman, karena lahir dari
kasih perjanjian Allah, adalah pengetahuan yang menerangi sebuah jalan dalam
sejarah. Itulah sebabnya, dalam Alkitab, kebenaran dan kesetiaan berjalan
bersama-sama: Allah yang benar adalah Allah kesetiaan yang menepati
janji-janji-Nya dan membuatnya mungkin, tepat pada waktunya, sebuah pemahaman
yang lebih dalam akan rencana-Nya. Melalui pengalaman para nabi, dalam
kepedihan hati dari pengasingan dan dengan pengharapan akan kembalinya ke kota
suci secara pasti, Israel sampai pada penglihatan bahwa “kebenaran” ilahi ini
telah melampaui batas-batas sejarah bangsa itu sendiri, untuk merangkul
keseluruhan sejarah dunia, yang dimulai dengan penciptaan. Pengetahuan- iman
tidak hanya memperjelas nasib dari satu bangsa tertentu, tetapi seluruh sejarah
dari dunia yang diciptakan, dari asal-usulnya sampai kepada penyempurnaannya.
0 comments:
Post a Comment