Berikut ini
adalah terjemahan yang tidak resmi (unofficial translation) dari
ensiklik Paus Fransiskus yang berjudul Lumen Fidei (Terang
Iman). Jika anda ingin mengutip terjemahan ensiklik ini, mohon
mencantumkan www.katolisitas.org sebagai sumbernya, sehingga kalau ada masukan
dapat diberitahukan kepada kami.
AN
UNOFFICIAL INDONESIAN TRANSLATION OF THE ENCYCLICAL LUMEN FIDEI (The Light
of Faith)
@COPYRIGHT 2014 – KATOLISITAS
@COPYRIGHT 2014 – KATOLISITAS
Surat
Ensiklik
TERANG IMAN
TERANG IMAN
dari Sri Paus
FRANSISKUS
Kepada Para Uskup Imam dan Diakon
Kaum Religius dan Umat Awam
Tentang IMAN
Kaum Religius dan Umat Awam
Tentang IMAN
BAB SATU - KITA TELAH PERCAYA AKAN
KASIH (bdk. 1 Yoh 4:16)
Abraham, bapa kita dalam iman
8. Iman
membuka jalan di hadapan kita dan mendampingi langkah kita sepanjang masa.
Karena itu, jika kita ingin memahami apa iman itu, kita perlu mengikuti rute
yang telah diambil oleh iman, jalur yang ditapaki oleh mereka yang percaya,
seperti yang disaksikan pertama- tama dalam Perjanjian Lama. Di sini, sebuah
tempat unik dimiliki oleh Abraham, bapa kita dalam iman. Sesuatu yang
mengganggu terjadi dalam hidupnya: Allah berbicara kepadanya; Ia menyatakan
diri-Nya sebagai Allah yang berbicara dan memanggil namanya. Iman dihubungkan
dengan pendengaran. Abraham tidak melihat Allah, tetapi dia mendengar
suara-Nya. Oleh karena itu, iman menyangkut aspek pribadi. Allah bukanlah allah
dari suatu tempat, atau dewa yang dihubungkan dengan waktu sakral tertentu,
melainkan Allah dari seorang pribadi, Allah dari Abraham, Ishak, dan Yakub,
yang mampu berinteraksi dengan manusia dan menetapkan perjanjian dengannya.
Iman adalah tanggapan kita kepada sebuah sabda yang menarik kita secara
pribadi, kepada sebuah “Engkau” yang memanggil kita sesuai nama kita.
9. Firman
yang disampaikan kepada Abraham mengandung makna sebuah panggilan dan sebuah
janji. Pertama, sebagai sebuah panggilan untuk meninggalkan kampung halamannya,
sebuah panggilan menuju hidup yang baru, awal dari suatu eksodus yang
mengarahkan dia kepada sebuah masa depan yang tak terbayangkan. Pandangan yang
diberikan oleh iman kepada Abraham akan selalu dihubungkan dengan kebutuhan
untuk melangkah maju: iman “melihat” dalam arti bahwa ia sendiri melakukan
perjalanan, dalam arti bahwa ia memilih untuk masuk ke dalam wawasan yang
dibukakan oleh sabda Allah. Sabda ini juga mengandung sebuah janji: Keturunanmu
akan besar jumlahnya, engkau akan menjadi bapa dari sebuah bangsa yang besar
(bdk. Kej 13:16; 15:5; 22:17). Sebagai tanggapan dari sabda yang mendahuluinya,
iman Abraham akan selalu menjadi sebuah tindakan peringatan. Namun peringatan
ini tidak terpaku pada kejadian di masa lampau tetapi, sebagai kenangan akan
sebuah janji, yang mampu membuka masa depan, yang mencurahkan terang ke jalan
yang harus diambil. Kita melihat bagaimana iman, sebagai peringatan akan masa
depan, memoria futuri, oleh karena itu, terkait erat dengan pengharapan.
10. Abraham
diminta untuk mempercayakan dirinya pada sabda ini. Iman memahami bahwa sesuatu
yang nampak tidak kekal dan fana seperti kata- kata, bila diucapkan oleh Allah
yang adalah kesetiaan, menjadi sepenuhnya pasti dan tidak tergoyahkan, menjamin
keberlanjutan perjalanan kita sepanjang sejarah. Iman menerima sabda ini
seperti sebuah batu karang yang kokoh yang di atasnya kita dapat membangun,
sebuah jalan besar nan lurus yang dapat kita lalui. Dalam Alkitab, iman
diekspresikan oleh kata dalam bahasa Ibrani ’emûnāh, yang diturunkan
dari kata kerja ’amān yang akar katanya berarti “untuk menegakkan”.
Istilah ’emûnāh dapat menunjukkan kesetiaan Allah sekaligus juga iman
manusia. Manusia yang beriman menimba kekuatan dengan meletakkan dirinya dalam
tangan Allah yang setia. Bermain dengan kata yang mempunyai dua arti ini – yang
juga ditemukan dalam istilah-istilah yang sinonim dalam bahasa Yunani (pistós)
dan Latin (fidelis) – Santo Sirilus dari Yerusalem memuji martabat
seorang Kristen itu yang menerima nama Allah sendiri: keduanya disebut
“setia”.[8] Seperti yang dijelaskan oleh Santo Agustinus:
“Manusia dikatakan setia saat ia percaya kepada Allah dan janji- janji-Nya;
Allah dikatakan setia saat Ia memberikan kepada manusia apa yang telah Ia
janjikan”.[9]
11. Unsur
terakhir dari kisah Abraham adalah penting untuk memahami imannya. Sabda Allah,
sekalipun membawa kebaruan dan kejutan, tidaklah sama sekali asing bagi
pengalaman Abraham. Dalam suara yang berbicara kepadanya, sang patriakh
mengenali sebuah panggilan yang mendalam yang sudah selalu hadir di inti
dirinya. Allah mengikat janji-Nya pada aspek kehidupan manusia itu yang selalu
nampak paling “penuh dengan janji”, yaitu, untuk menjadi orangtua,
memperanakkan kehidupan baru: “Isterimu Sara akan melahirkan anak laki-laki
bagimu, dan engkau akan menamai dia Ishak” (Kej 17:19). Allah yang meminta
kepercayaan penuh dari Abraham menyatakan diri-Nya sebagai sumber segala
kehidupan. Iman, karena itu, dihubungkan dengan ke-Bapa-an Allah, yang
menghidupi segala ciptaan; Allah yang memanggil Abraham adalah Sang Pencipta,
Dia-lah yang “menjadikan apa yang tidak ada menjadi ada” (Rm 4:17), Dia yang
“telah memilih kita sebelum dunia dijadikan… telah menentukan kita dari semula
untuk menjadi anak- anak-Nya” (Ef 1:4-5). Bagi Abraham, beriman kepada Allah
membuat jelas di kedalaman dirinya, imannya memampukan dia untuk mengakui mata
air kebaikan di awal mula dari segala sesuatu dan untuk menyadari bahwa
hidupnya bukanlah produk dari benda mati atau kebetulan, tetapi buah dari
sebuah panggilan pribadi dan sebuah kasih pribadi. Allah yang misterius yang
memanggilnya bukanlah dewa yang asing, melainkan Allah yang adalah awal mula
dan dasar dari segala yang ada. Ujian besar bagi iman Abraham, pengurbanan
anaknya Ishak, dapat menunjukkan sejauh mana kasih purba ini mampu menjamin
kehidupan bahkan setelah kematian. Sabda yang dapat melahirkan seorang putra
bagi dia yang “seperti sudah mati”, di dalam “kemandulan” rahim Sarah (bdk. Rm
4:19), juga dapat memenuhi janjinya akan masa depan melampaui segala ancaman
atau bahaya (bdk. Ibr 11:19; Rm 4:21).
0 comments:
Post a Comment