Berikut ini
adalah terjemahan yang tidak resmi (unofficial translation) dari
ensiklik Paus Fransiskus yang berjudul Lumen Fidei (Terang
Iman). Jika anda ingin mengutip terjemahan ensiklik ini, mohon
mencantumkan www.katolisitas.org sebagai sumbernya, sehingga kalau ada masukan
dapat diberitahukan kepada kami.
AN
UNOFFICIAL INDONESIAN TRANSLATION OF THE ENCYCLICAL LUMEN FIDEI (The Light
of Faith)
@COPYRIGHT 2014 – KATOLISITAS
@COPYRIGHT 2014 – KATOLISITAS
Surat
Ensiklik
TERANG IMAN
TERANG IMAN
dari Sri Paus
FRANSISKUS
Kepada Para Uskup Imam dan Diakon
Kaum Religius dan Umat Awam
Tentang IMAN
Kaum Religius dan Umat Awam
Tentang IMAN
BAB DUA: JIKA KAMU TIDAK PERCAYA, KAMU TIDAK
AKAN MENGERTI (bdk. Yes 7:9)
Iman dan kebenaran
23. Jika
kamu tidak percaya, kamu tidak akan mengerti (bdk. Yes 7:9). Versi Yunani dari
Alkitab Ibrani, terjemahan Septuaginta yang dibuat di Aleksandria, memberikan
gambaran kata-kata di atas yang diucapkan oleh nabi Yesaya kepada Raja Ahas.
Dengan cara ini, persoalan pengetahuan tentang kebenaran menjadi pusat bagi
iman. Namun demikian, teks Ibrani, membacanya berbeda, nabi itu berkata kepada
raja: “Jika kamu tidak percaya, kamu tidak akan teguh jaya”. Di sini ada
permainan kata-kata, didasarkan pada dua bentuk kata kerja’amān :”Kamu
akan percaya” (ta’amînû) dan “Kamu akan teguh jaya” (tē’āmēnû). Karena
ketakutan dengan kekuatan musuh-musuhnya, raja itu mencari keamanan yang dapat
ditawarkan oleh sebuah aliansi dengan kerajaan Asyur yang besar. Sebaliknya,
nabi itu memberitahukan raja untuk percaya sepenuhnya kepada batu yang kokoh
dan tetap teguh yang adalah Allah Israel. Karena Allah dapat dipercaya, adalah
wajar untuk memiliki iman kepada-Nya, untuk berdiri teguh pada sabda-Nya. Dia
adalah Allah yang sama yang nantinya disebut oleh Yesaya, dua kali dalam satu
ayat, Allah yang adalah Amin, “Allah kebenaran” (bdk. Yes 65:16), pondasi yang
tetap bertahan bagi kesetiaan perjanjian itu. Mungkin kelihatannya, dengan
menerjemahkan “teguh jaya” sebagai “mengerti”, Alkitab versi Yunani tersebut,
secara mendalam telah mengubah makna teks dengan bergerak menjauh dari gagasan
alkitabiah akan kepercayaan kepada Allah, menuju kepada sebuah gagasan Yunani
akan pemahaman intelektual. Namun terjemahan ini, yang sementara tentu
mencerminkan sebuah dialog dengan budaya Helenistik, adalah tidak asing dengan
semangat yang mendasari teks Ibrani itu. Pondasi yang kokoh, yang Yesaya
janjikan kepada raja itu memang didasarkan pada sebuah pemahaman tentang
perbuatan Allah dan kesatuan yang Dia berikan kepada kehidupan manusia dan
kepada sejarah umat-Nya itu. Nabi ini menantang raja, dan kita, untuk memahami
cara-cara Tuhan, dengan melihat di dalam kesetiaan Allah, rencana yang
bijaksana yang mengatur zaman ke zaman. Santo Agustinus mengambil perpaduan
dari ide-ide “pengertian” dan “menjadi teguh jaya” ini dalam Pengakuan-Pengakuan-nya
(Confessions) ketika ia berbicara tentang kebenaran yang atasnya
seseorang dapat bersandar agar dapat berdiri teguh: “Selanjutnya aku akan
dibentuk dan ditempatkan dengan kokoh dalam cetakan kebenaran-Mu”.[17] Dari
konteks tersebut kita tahu bahwa perhatian Agustinus adalah untuk menunjukkan
bahwa kebenaran Allah yang dapat dipercaya ini adalah, sebagaimana Alkitab
jelaskan, kehadiran-Nya sendiri yang setia sepanjang sejarah, kemampuan-Nya
untuk terus memelihara waktu dan zaman, dan untuk mengumpulkan menjadi satu,
untaian yang tersebar dari hidup kita.[18]
24. Membaca
dalam terang ini, teks nubuat itu mengarah kepada satu kesimpulan: kita
membutuhkan pengetahuan, kita membutuhkan kebenaran, karena tanpa ini kita
tidak bisa berdiri teguh, kita tidak bisa bergerak maju. Iman tanpa kebenaran
tidak menyelamatkan, hal itu tidak menyediakan sebuah pijakan yang pasti. Ia
[iman tanpa kebenaran]tetap menjadi sebuah cerita yang indah, proyeksi dari
kerinduan kita yang mendalam untuk kebahagiaan, sesuatu yang mampu memuaskan
kita sampai-sampai kita bersedia untuk menipu diri kita sendiri. Entah itu,
atau iman direduksi menjadi sebuah perasaan yang tinggi sekali, yang membawa
penghiburan dan kegembiraan, namun tetap menjadi kurban karena fantasi dari roh
kita dan perubahan musim, yang tidak mampu mempertahankan sebuah perjalanan
yang mantap di sepanjang kehidupan. Seandainya yang semacam itu adalah iman,
Raja Ahas akan menjadi benar untuk tidak mempertaruhkan hidup dan keamanan
kerajaannya pada sebuah perasaan. Tapi justru karena hubungannya yang mendasar
dengan kebenaran, sebaliknya iman mampu menawarkan sebuah terang yang baru,
yang lebih unggul dari perhitungan- perhitungan raja itu, karena iman melihat
lebih lanjut dalam kejauhan dan memperhitungkan tangan Allah, yang tetap setia
kepada perjanjian dan janji-janji-Nya.
25. Saat ini
lebih dari sebelumnya, kita perlu diingatkan tentang ikatan antara iman dan
kebenaran ini, mengingat krisis kebenaran dalam zaman kita. Dalam budaya
kontemporer, kita sering cenderung untuk mempertimbangkan satu-satunya
kebenaran nyata adalah [kebenaran]dari teknologi itu: kebenaran adalah apa yang
berhasil kita bangun dan ukur dengan pengetahuan ilmiah kita, kebenaran adalah
apa yang berhasil dan apa yang membuat hidup lebih mudah dan lebih nyaman.
Dewasa ini, hal ini muncul sebagai satu-satunya kebenaran yang pasti,
satu-satunya kebenaran yang bisa dibagikan, satu-satunya kebenaran yang dapat
berfungsi sebagai sebuah dasar untuk diskusi atau untuk karya bersama. Namun di
ujung lain dari timbangan tersebut, kita bersedia untuk memperbolehkan kebenaran-kebenaran
subjektif dari perorangan, yang terdapat dalam kesetiaan kepada
keyakinan-keyakinannya yang terdalam, namun demikian ini adalah kebenaran-
kebenaran yang berlaku hanya untuk pribadi orang itu dan tidak dapat untuk
diusulkan kepada orang lain dalam upaya untuk melayani kepentingan bersama.
Tapi Kebenaran itu sendiri, kebenaran yang secara komprehensif akan menjelaskan
kehidupan kita sebagai individu dan dalam masyarakat, dipandang dengan
kecurigaan. Tentunya kebenaran semacam ini – kita dengar itu dikatakan – adalah
apa yang diklaim oleh gerakan-gerakan totaliter yang besar di abad terakhir,
sebuah kebenaran yang mengenakan pandangan dunianya sendiri agar menghancurkan
kehidupan-kehidupan nyata dari orang per orang. Pada akhirnya, apa yang tersisa
pada kita adalah relativisme, di mana pertanyaan tentang kebenaran universal
itu – dan akhirnya hal ini berarti pertanyaan tentang Allah – tidak lagi
relevan. Akan menjadi logis, dari sudut pandang ini, untuk mencoba memutuskan
ikatan antara agama dan kebenaran, karena ikatan itu tampaknya terletak pada
akar fanatisme, yang membuktikan penindasan bagi siapa pun yang tidak mempunyai
keyakinan-keyakinan yang sama. Meskipun demikian, dalam hal ini, kita dapat
berbicara tentang sebuah amnesia yang sangat besar dalam dunia kontemporer
kita. Persoalan tentang kebenaran adalah benar-benar sebuah persoalan memori/
kenangan, kenangan yang mendalam, karena hal itu berhubungan dengan sesuatu
yang lebih awal dari diri kita sendiri dan dapat berhasil dalam mempersatukan
kita dengan cara yang melampaui kesadaran individu kita yang kecil dan
terbatas. Ini adalah sebuah persoalan tentang asal-usul dari semua yang ada,
yang dalam cahayanya kita dapat sekilas melihat tujuan itu dan dengan demikian,
makna dari jalan yang kita tempuh bersama.
0 comments:
Post a Comment