dari http://lifestyle.okezone.com
PERNAHKAH Anda merasa bahwa orangtua saat lansia
(lanjut usia) menjadi sensitif? Ya, mereka jadi mudah marah atau
tersinggung hanya karena hal-hal sepele.
Dalam kondisi itu, kita pun terpaksa menjawab pertanyaan, apakah yang sebenarnya membuat orangtua demikian? Menanggapi hal itu, Direktur Kesehatan Jiwa Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kemenkes RI, Eka Viora, menerangkan bahwa munculnya rasa sensitif dipengaruhi tiga faktor, yakni sosial, psikologis, dan biologis.
Lebih dalam, Eka memaparkan sisi biologis memiliki gambaran, usia menua dan penyakit-penyakit bermunculan yang kerap menyusahkan anak dan cucu. Kemudian, aktivitas terbatas, misalnya dulu ke mana-mana jalan kaki namun sekarang pakai kursi roda.
Selanjutnya, sisi psikologis, dengan gambaran kehilangan dominasi untuk para pria. Dulunya dia kepala keluarga, beralih menjadi anak yang kini menolongnya. Sementara, faktor sosial atau purnabakti, dengan contoh mengurangi penghasilan mereka.
“Jika salah satu kebutuhan tak tercukupi, hal itu akan memengaruhi suasana hati dan perilakunya. Yang biasanya membuat orangtua mudah marah ialah rasa tidak dibutuhkan, tidak dihargai, atau merasa hampa dan terasing di rumah sendiri,” katanya di Jakarta, baru-baru ini.
Jika kondisinya sudah seperti itu, Eka berpesan para anak harus melakukan pendekatan berbeda. Misalnya, dengan berbicara lebih halus, memberi pengertian terlebih dahulu, dan jangan pernah memaksa. Pasalnya, kebutuhan sosial, psikologis, dan biologis orangtua kini sudah berbeda.
"Sebagai anak harus bicara dulu, mereka itu ingin dihormati dan dihargai," imbuhnya.
Eka mencontohkan, caranya bisa dengan menjaga lingkungan sosialnya, membiarkannya bersosialisasi dengan teman sebaya, dan mendukungnya menggeluti hobi. Terpenting, mereka memiliki aktivitas dan rutinitas yang terjaga.
“Kemudian, jangan pakai pembantu kalau dia mau bantu melakukan pekerjaan rumah sebagai aktualisasi dirinya, dan berikan ruang untuk mereka dekat dengan cucunya, itu akan membuatnya merasa tetap dihargai," pungkas Eka.
(fik)
Dalam kondisi itu, kita pun terpaksa menjawab pertanyaan, apakah yang sebenarnya membuat orangtua demikian? Menanggapi hal itu, Direktur Kesehatan Jiwa Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kemenkes RI, Eka Viora, menerangkan bahwa munculnya rasa sensitif dipengaruhi tiga faktor, yakni sosial, psikologis, dan biologis.
Lebih dalam, Eka memaparkan sisi biologis memiliki gambaran, usia menua dan penyakit-penyakit bermunculan yang kerap menyusahkan anak dan cucu. Kemudian, aktivitas terbatas, misalnya dulu ke mana-mana jalan kaki namun sekarang pakai kursi roda.
Selanjutnya, sisi psikologis, dengan gambaran kehilangan dominasi untuk para pria. Dulunya dia kepala keluarga, beralih menjadi anak yang kini menolongnya. Sementara, faktor sosial atau purnabakti, dengan contoh mengurangi penghasilan mereka.
“Jika salah satu kebutuhan tak tercukupi, hal itu akan memengaruhi suasana hati dan perilakunya. Yang biasanya membuat orangtua mudah marah ialah rasa tidak dibutuhkan, tidak dihargai, atau merasa hampa dan terasing di rumah sendiri,” katanya di Jakarta, baru-baru ini.
Jika kondisinya sudah seperti itu, Eka berpesan para anak harus melakukan pendekatan berbeda. Misalnya, dengan berbicara lebih halus, memberi pengertian terlebih dahulu, dan jangan pernah memaksa. Pasalnya, kebutuhan sosial, psikologis, dan biologis orangtua kini sudah berbeda.
"Sebagai anak harus bicara dulu, mereka itu ingin dihormati dan dihargai," imbuhnya.
Eka mencontohkan, caranya bisa dengan menjaga lingkungan sosialnya, membiarkannya bersosialisasi dengan teman sebaya, dan mendukungnya menggeluti hobi. Terpenting, mereka memiliki aktivitas dan rutinitas yang terjaga.
“Kemudian, jangan pakai pembantu kalau dia mau bantu melakukan pekerjaan rumah sebagai aktualisasi dirinya, dan berikan ruang untuk mereka dekat dengan cucunya, itu akan membuatnya merasa tetap dihargai," pungkas Eka.
0 comments:
Post a Comment