dari http://www.sesawi.net/2012/02/11
Diceritakan
dalam Mrk 1:40-45 (Injil Minggu Biasa VI tahun B) bagaimana seorang
penderita kusta memohon kepada Yesus dengan mengatakan bila Yesus
menghendaki, tentu ia dapat membersihkannya, maksudnya menyembuhkannya.
Yesus pun menyentuhnya dan mengatakan ia mau agar ia jadi bersih. Begitu
sembuh, orang itu diperingatkan agar tidak mengatakan apa-apa kepada
siapa pun. Kemudian disuruhnya pergi menghadap imam, karena menurut
perintah Musa (Im 14:2-32), imamlah yang berwenang secara resmi
menyatakan orang sudah bersih dari kusta. Apa sebetulnya pokok
persoalannya? Penyembuhan atau pernyataan bahwa sudah bersih dari kusta?
Kita boleh bertanya-tanya, bagaimana perasaan Yesus ketika melihat
orang tadi? Apa pula relevansi kisah ini bagi kita?
Dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru, “kusta” sebenarnya bukan penyakit kusta yang dikenal
ilmu kedokteran sekarang, yaitu yang disebabkan oleh bakteri
mycobacterium leprae, melainkan semacam penyakit kulit akibat jamur
yang membuat kulit melepuh merah. Penyakit kulit ini menyeramkan dan
membuat penderita dijauhi orang. Mereka juga tak diizinkan mengikuti
ibadat karena dalam keadaan itu mereka dianggap tidak cukup bersih untuk
masuk ke tempat suci.
Menurut hukum adat dan agama Yahudi
dulu, meski sudah sembuh, orang kusta baru akan diterima kembali ke
dalam masyarakat dan boleh ikut perayaan suci setelah dinyatakan sembuh
dalam upacara yang hanya dapat dilakukan para imam. Hanya imamlah yang
berhak menyatakan “najis” (kotor karena kusta) atau “tahir” (bersih,
sembuh dari kusta). Peraturan ini termaktub dalam bagian Taurat, yakni
Im 14:2-32. Tujuannya tentunya menjaga kebersihan kurban. Tetapi
pelaksanaan hukum itu kemudian menjadi soal. Menjelang zaman Perjanjian
Baru, semua upacara keagamaan yang penting semakin dipusatkan di Bait
Allah di Yerusalem. Penegasan sudah tahir atau masih kotor praktis
kemudian hanya dilakukan di Bait Allah pada kesempatan terbatas walaupun
tidak ada larangan melakukannya di tempat lain. Alhasil orang kusta
yang sudah sembuh sekalipun sulit sekali mendapat pernyataan sudah
bersih kembali. Orang itu akan benar-benar terkucil dan tidak memiliki
tempat mengadu lagi. Dengan latar belakang seperti ini Yesus itu memang
menjadi harapan satu-satunya. Tak heran orang tadi datang kepadanya,
berlutut, lalu mengatakan kalau engkau mau, engkau dapat mentahirkan
diriku.
Orang itu memohon dua hal. Pertama,
kesembuhan dari kusta, dan kedua, tidak kalah pentingnya, ia mohon agar
Yesus mau menyatakan ia sudah tahir kembali. Baginya, Yesus inilah yang
dapat memenuhi peraturan dalam Taurat karena kelembagaan yang didukung
imam-imam tidak lagi mendukung. Inilah sudut pandang orang kusta tadi.
Bagaimana dengan Yesus?
Dikatakan
Yesus “tergerak hatinya” (Mrk 1:41). Kerap disebut Yesus iba hati bila
melihat penderitaan atau kebutuhan orang yang tak terpenuhi. Ikut
merasakan, itulah yang dimaksudkan Injil, dalam bahasa Yunani,
“splagkhnistheis”, kata yang dijumpai dalam ay. 41 ini. Tetapi pada ayat
itu beberapa naskah tua memakai kata lain, yakni “orgistheis”, yang
artinya marah, kesal, berang. Mana yang benar? Bukankah iba hati lebih
cocok dan lebih biasa? Pemikiran seperti inilah yang mengakibatkan
penggantian teks asli “marah” menjadi “iba hati” pada ay. 41 itu. Tidak
di setiap tempat ia disebut iba hati sebetulnya ia marah.
Waktu itu di seluruh Galilea ia
memberitakan Injil dan mengusir setan (1:39). Tentunya ia berharap
kekuasaan setan dan penyakit akan surut. Tapi masih ada saja! Malah
sekarang datang orang kusta yang sembari berlutut minta disembuhkan. Apa
lagi yang belum kulakukan, kata Yesus dalam hati! Kesal, berang, marah,
begitulah perasaan Yesus waktu itu. Dan dengan perasaan inilah ia
mengatakan, tentu saja aku mau. Hai, kau, jadilah bersih! Dan seketika
itu juga penyakit kusta itu pergi meninggalkan orang tadi, sama seperti
demam yang lenyap dari badan ibu mertua Simon. Kekuatan kusta itu jeri
padanya, begitu gagasan Markus.
Selanjutnya dalam ay. 43 disebutkan
Yesus “menyuruh pergi orang tadi dengan peringatan keras”. Dan dalam
ayat selanjutnya dikutip kata-kata yang melarang orang itu menceritakan
apapun kepada siapa saja dilanjutkan perintah agar menghadap imam agar
dinyatakan bersih menurut hukum Musa. Sebenarnya teks aslinya lebih
keras, harfiahnya, “Dengan geram Yesus menyuruh orang itu pergi.
Katanya, ‘Ingat, jangan katakan apapun kepada siapa saja!'” Orang itu
disuruhnya menghadap imam supaya dinyatakan bersih menurut aturan Musa.
Apa yang membuat Yesus geram?
Sering para imam, yang berwenang
menyatakan orang kusta sudah sembuh serta bisa diterima kembali dalam
masyarakat, kurang bersedia melakukannya. Jadi sekalipun sudah sembuh,
orang yang bersangkutan tetap tersisih. Yesus menyuruh orang itu membawa
persembahan yang diwajibkan hukum untuk keperluan seperti itu justru
untuk menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan siap dinyatakan bersih.
Inilah yang dimaksud dengan “sebagai bukti” dalam ay. 44. Tapi Yesus
sendiri tentu juga tahu bahwa tak mudah orang itu menemui imam yang
bersedia menolong orang itu. Karena itu ia geram. Lebih parah lagi, yang
menghalangi bukan kekuatan jahat yang menyebabkan penyakit – yang sudah
tersingkir – melainkan orang-orang yang memiliki wewenang menjalankan
hukum Musa, yakni para imam! Ini membuatnya geram dan merasa tak
berdaya.
Bila dibaca sekilas, bagian pertama ay.
45 memberi kesan bahwa yang pergi memberitakan dan mengabarkan ke
mana-mana ialah orang yang baru saja dilarang mengatakan tentang hal
itu. Beberapa kali memang Yesus ingin agar kejadian luar biasa yang
dilakukannya tidak disiarkan. Tetapi “ia” dalam ay. 45 itu dapat
menunjuk pada orang kusta, tapi bisa juga pada Yesus sendiri. Secara
harfiah bunyinya begini: “Sambil berjalan pergi ia (=si kusta, tapi bisa
juga Yesus) mulai mengabarkan dan menyebarluaskan…” Lebih lanjut, yang
disebarluaskan, ialah “ton logon”, dari kata “logos”, yang bisa berarti
“hal itu”, maksudnya penyembuhan, bila “ia” dimengerti sebagai orang
kusta; tetapi “logos” bisa pula berarti “kata”, dan dalam konteks ini
khususnya, “Injil”. Ini cocok bila yang dimaksud dengan “ia” ialah Yesus
sendiri.
Memang akhirnya orang yang barusan
disembuhkan itu menyebarluaskan berita tentang hal itu. Ia tidak diam
seperti yang diinginkan Yesus. Tetapi juga benar bahwa Yesus mengabarkan
dan menyebarluaskan Injil. Dalam kedua makna ini, kejadiannya sama:
baik warta Injil maupun berita tentang kesembuhan si kusta itu tersebar
luas. Akibatnya juga sama, seperti disebutkan dalam bagian kedua ay. 45,
“…ia (=Yesus) tidak dapat memasuki kota dengan terang-terangan. Ia
tinggal di luar di tempat-tempat terpencil, namun orang terus juga
datang kepadanya dari segala penjuru.” Boleh dicatat, dalam teks asli
tidak dipakai kata “Yesus” yang ditambahkan dalam terjemahan Indonesia
demi kejelasan. Kiranya Markus bermaksud memunculkan dua gambaran
tumpang tindih bagi kejadian yang sama. Pembaca diajak melihat kejadian
itu baik dari sisi orang kusta maupun dari sisi Yesus. Kisah ini bukan
hanya kisah kesembuhan, melainkan juga kisah pewartaan Injil.
Kedua-duanya perlu ditampilkan dalam pembicaraan mengenai petikan ini.
Dikatakan, Yesus tinggal di
“tempat-tempat terpencil”, dari kata Yunani “eremos” yang juga sering
dialihbahasakan sebagai padang gurun yang memang terpencil. Kita boleh
ingat akan peristiwa Yesus menghadapi kekuatan iblis yang menggodainya
di padang gurun, di tempat terpencil (Mrk 1:12). Tapi kekuatan ilahi
tetap menyertainya. Pada lain kesempatan, dikatakan pagi-pagi benar ia
pergi berdoa di tempat terpencil (Mrk 1:35). Dan orang-orang mencari dan
mendatanginya, seperti disebutkan dalam petikan kali ini juga. Kisah
ringkas ini menjadi ajakan untuk menemukan dia yang mengusahakan diri
agar bersama dengan Yang Maha Kuasa. Di situ kekuatannya, di situ
terjadi kesembuhan yang utuh.
Markus menggambarkan perasasan Yesus
yang kesal, mengalami frustrasi melihat adanya halangan-halangan yang
memisahkan manusia dari sumber hidupnya sendiri. Kita diajak penginjil
untuk mulai bersimpati pada Yesus, menyelami perasaannya agar makin
memahami kesungguhannya. Bukan supaya kita menirunya atau membenarkan
diri kita bila kesal dan kecewa, melainkan untuk membantu agar kita
dapat mengenal siapa dia itu. Bukan pula untuk mengutuk kaum imam yang
kurang bersedia menjalankan yang digariskan hukum Musa. Kita diajak
menyadari akan adanya halangan-halangan yang membuat kebaikan
terbelenggu. Akan makin besar pula kebutuhan mendengarkan warta yang
melegakan.
Tadi disebutkan bahwa sukar bagi orang
kusta yang sembuh untuk menghadap imam di Bait Allah agar resmi
dinyatakan sembuh dan dapat kembali ke dalam masyarakat. Tempat Yang
Ilahi hadir secara nyata sekarang tidak lagi di Bait Allah, tapi di
tempat Yesus berada. Dialah Bait yang baru. Dia juga yang menyatakan
orang jadi bersih kembali. Ia sendiri jugalah yang menjadi kurban bagi
pulihnya orang kusta serta kaum terpinggir lainnya. Ini warta yang
melegakan yang disampaikan Injil!
A. Gianto
0 comments:
Post a Comment