HANYA Injil
Yohanes sajalah yang menyampaikan kisah pembasuhan kaki para murid (Yoh
13:1-15) Petikan ini dibacakan pada Pesta Perjamuan Tuhan pada hari
Kamis dalam Pekan Suci. Memang dahulu lazim orang membasuh kaki sendiri
sebelum masuk ke ruang perjamuan agar masuk dengan kaki bersih. Hanya
tamu yang amat dihormati sajalah, misalnya seorang guru atau orang yang
dituakan, akan dibasuh kakinya. Tapi ini dilakukan sebelum perjamuan
mulai.
Dalam Injil Yohanes peran-peran tadi
dibalik. Yesus sang guru kini membasuh kaki para muridnya. Lagi pula
pembasuhan ini terjadi selama perjamuan sendiri, bukan sebelumnya
seperti biasa dilakukan orang waktu itu. Kiranya hendak disampaikan hal
yang tidak biasa. Pembasuhan kaki di sini tidak ditampilkan semata-mata
sebagai tanda memasuki perjamuan dengan bersih, tetapi untuk menandai
hal lain. Apa itu? Baiklah didekati kekhususan Yohanes dalam
menyampaikan kejadian-kejadian terakhir dalam hidup Yesus.
Kaitan dengan Bacaan Pertama Kel 12:1-8; 11-14
Yohanes menyampaikan kejadian pada
hari-hari terakhir Yesus dengan cara yang agak berbeda dengan ketiga
Injil lainnya. Dalam Injil Markus, Matius dan Lukas, kedatangan Yesus ke
Yerusalem mengawali peristiwa-peristiwa yang mengantar masuk ke dalam
penderitaan, kematian serta kebangkitannya nanti, termasuk juga
perjamuan Paskah. Yohanes lain.
Dalam Injil Yohanes kedatangan Yesus ke
Yerusalem dan pembersihan Bait Allah dipisahkan dari peristiwa salib dan
kebangkitan. Bagi Yohanes, serangkaian kejadian yang berakhir dengan
kebangkitan itu justru berawal pada perjamuan malam terakhir. Berbeda
juga dengan ketiga Injil lainnya, perjamuan ini bukan perjamuan Paskah,
melainkan perjamuan malam yang diadakannya sebelum Paskah. Bagi Yohanes,
Paskah yang sejati terjadi dalam pengorbanan Yesus di salib.
Dengan demikian Injil Yohanes membaca
kembali pengorbanan Yesus di salib sebagai perayaan Paskah yang dahulu
mulai sebagai ingatan akan saat Tuhan memimpin umatNya keluar dari tanah
Mesir dengan kuasa besar sebagaimana dibacakan dari Kel 12:1-8; 11-14.
Darah domba kurban Paskah yang dahulu dioleskan pada bingkai pintu
rumah (Kel 12:8) menandai darah yang terpoles pada kayu salib. Salib
menjadi ambang memasuki hidup baru bersama Yang Ilahi. Bingkai pintu
yang terpoles darah domba itu juga menjadi tanda bahwa di rumah itu
tinggal umat yang akan dipimpin keluar dari tanah Mesir dan penghuninya
tidak kena bencana dan hukuman (Kel 12:12-13). Salib yang menandai darah
pengorbanan Yesus menjadi tanda bahwa yang berada di balik salib itu
ialah orang-orang yang diselamatkan. Namun dalam peristiwa perjamuan
yang dikisahkan Yohanes, semua ini baru terjadi nanti pada saat Yesus
disalibkan, wafat, dan kurbannya menjadi tanda keselamatan siapa saja
yang ada bersamanya.
Sekarang, dalam perayaan perjamuan malam
sebelum Paskah hendak disampaikan bagaimana semua ini bisa terjadi,
bagaimana pengorbanan ini memang menurut kemauan Yang Maha Kuasa dan
utusannya, yakni Yesus, kini siap menjalankannya. Pengorbanan ini
dijalaninya karena mengasihi “sampai pada kesudahannya” yang diungkapkan
Yohanes pada awal perjamuan ini (Yoh 13:1). Marilah kita simak dari
dekat peristiwa perjamuan ini
Membasuh Kaki Para Murid
Yohanes juga menekankan, Yesus sadar
bahwa dirinya “datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah” (ay. 3).
Karena itu mereka yang mengenalnya akan mengenali Yang Ilahi dari
dekat. Ini semua diajarkan Yesus kepada para murid terdekat pada
perjamuan malam terakhir itu dengan membasuh kaki mereka. Dia yang sadar
berasal dari Allah dan sedang kembali menuju kepadaNya ingin
menunjukkan bahwa orang-orang terdekat itu sedemikian berharga,
sedemikian terhormat.
Lebih dari itu, ia ingin berbagi
“sangkan paran” – dari siapa dan menuju ke siapa – dengan mereka.
Inilah yang dimaksud dengan mengasihi sepenuhnya (ay. 1, Yunaninya “eis
telos”). Tidak setengah-setengah melainkan hingga tujuan kedatangannya
terlaksana, yakni membawa manusia ke dekat Allah, asal terang dan
kehidupan.
Petrus terheran-heran dan tak bisa
menerima gurunya membasuh kakinya. Yesus mengatakan bahwa kelak ia akan
mengerti walaupun kini belum menangkapnya (ay. 6-7). Tetapi Petrus belum
puas dan bersikeras menolak dibasuh kakinya oleh gurunya itu. Pada saat
inilah Yesus menjelaskan, ” Jikalau aku tidak membasuh engkau, engkau
tidak mendapat bagian dalam aku.” (ay. 8). Dia yang “sangkan paran”-nya
ialah Allah sendiri mau berbagi kehidupan dengan para murid. Dan berbagi
asal dan tujuan kehidupan inilah jalan keselamatan bagi manusia.
Bila asal dan akhir itu Allah sendiri,
tentunya yang di maksud ialah Allah sumber terang, sumber kehidupan.
Utusannya itu datang ke dunia yang masih berada dalam ancaman kuasa
gelap untuk membawa kembali orang-orang yang dekat padanya kembali ke
sumber terang, kepada Allah, ke sumber kehidupan sendiri. Itulah
“sangkan paran” yang diungkapkan di dalam perjamuan ini.
Berbekal teladan
Pada kesempatan itu Yesus juga
mengatakan bahwa pembasuhan kaki itu disampaikan sebagai teladan bagi
para murid, agar mereka berbuat seperti itu satu sama lain (ay. 15).
Teladan ini kemudian menjadi bekal kehidupan orang-orang yang percaya
bahwa Yesus itu datang dari Allah dan pulang kepadaNya setelah berhasil
memperkenalkan siapa Allah itu sesungguhnya.
Boleh dikatakan saat itulah lahir
kumpulan orang yang hidup berbekal sikap Yesus yang menganggap sesama
sedemikian berharga sehingga pantas dilayani dan dihormati. Inilah
Gereja dalam ujudnya yang paling rohani, paling spiritual. Dalam arti
inilah Gereja berbagi “sangkan paran” dengan Yesus sendiri. Hidup
meng-Gereja yang berpusat pada ekaristi baru bisa utuh bila dijalani
dengan bekal yang diberikan Yesus tadi. Hanya dengan cara itu Gereja
akan tetap memiliki integritas. Memang masih berada di dunia, masih
berada dalam kancah pergulatan dengan kekuatan-kekuatan gelap, tetapi
arahnya jelas, ke asal dan tujuan tadi: ke Sumber Terang sendiri bersama
dengan dia yang diutus olehNya.
Karena itu tak perlu heran bila para
murid – dan Gereja – tidak semuanya bersih. Yesus berkata dalam ay. 11
“Tidak semua kamu bersih.” Kata-kata itu bukan mencela melainkan
mengakui kenyataan bahwa ada kekuatan-kekuatan gelap. Nanti pada saat ia
kembali kepada Allah, kekuatan ilahi akan tampil dengan kebesarannya
dan saat itu jelas kekuatan-kekuatan gelap tidak lagi menguasai meskipun
tetap dapat menyakitkan. Penderitaan ini tidak akan memporakperandakan
kumpulan orang-orang yang percaya kepadanya. Malah menguatkan harapan.
A. Gianto
0 comments:
Post a Comment