Mengapa Rabu?
Masa
Prapaskah adalah hari-hari khusus keagamaan menuju Hari Raya Paskah. Umat
Katolik melakukan persiapan perayaan Paskah selama 40 hari. Yang menjadi soal
adalah kalau orang menghitung dengan teliti hari-hari di Masa Prapaskah dari
Rabu Abu hingga Sabtu Suci:
Minggu
|
Prapaskah 1
|
Prapaskah 2
|
Prapaskah 3
|
Prapaskah 4
|
Prapaskah 5
|
Ming. Palma
|
Senin
|
Senin
|
Senin
|
Senin
|
Senin
|
Senin
|
Senin
|
Selasa
|
Selasa
|
Selasa
|
Selasa
|
Selasa
|
Selasa
|
Selasa
|
RABU ABU
|
Rabu
|
Rabu
|
Rabu
|
Rabu
|
Rabu
|
Rabu
|
Kamis
|
Kamis
|
Kamis
|
Kamis
|
Kamis
|
Kamis
|
KAMIS PUTIH
|
Jumat
|
Jumat
|
Jumat
|
Jumat
|
Jumat
|
Jumat
|
JUMAT AGUNG
|
Sabtu
|
Sabtu
|
Sabtu
|
Sabtu
|
Sabtu
|
Sabtu
|
SABTU SUCI
|
Kalau
mingguan Masa Prapaskah ada enam (Prapaskah 1-5 ditambah Pekan Suci dari Minggu
Palma hingga Sabtu Suci), ada jumlah hari sebanyak 42. Ditambah 4 hari dari
Rabu Abu sampai dengan Sabtu sesudah Rabu Abu, kesemuanya ada 46 hari. Yang
harus diketahui adalah bahwa Masa Prapaskah menjadi masa “Retret Agung”.
Padahal di dalam Retret Agung pelaku retret akan libur pada hari Minggu.
Sebenarnya persiapan menuju perayaan Paskah terjadi selama 6 minggu (5 kali
Minggu Prapaskah ditambah seminggu Pekan Suci). Kalau dikurangi libur 6 kali,
42 hari dari 6 minggu akan berjumlah 36 hari. Maka butuh tambahan 4 hari dari
hari Rabu hingga Sabtu. Itulah latarbelakang mengapa Masa Prapaskah selalu
mulai dengan hari Rabu.
1.
Pengembangan
Pribadi
“Ingatlah,
jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka,
karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.” (Mat 6:1)
Secara
umum di Indonesia orang sudah masuk golongan lanjut usia atau lansia kalau
sudah menginjak umur kepala 6. Orang berusia 60 tahun ke atas sudah mendapatkan
keistimewaan ketika akan naik kereta api atau kapal terbang. Dia tidak harus
membayar penuh harga tiket karena ada potongan khusus. Di dalam Masa Prapaskah
agama Katolik, yang dulu biasa disebut Masa Puasa, kaum lanjut usia juga sudah
dibebaskan dari wajib berpuasa. Hal ini biasanya dinyatakan dalam surat gembala
yang disampaikan oleh uskup sebelum masuk Masa Prapaskah.
Tindakan personal
Orang-orang
Katolik yang sudah masuk golongan lanjut usia memang bebas dari kewajiban
berpuasa sebagaimana diatur oleh keuskupan. Tetapi sabda Tuhan Yesus Kristus
yang dibacakan dalam pembukaan Masa Prapaskah, yaitu dalam liturgi Rabu Abu,
tidak berbicara tentang kewajiban berpuasa. Yesus berbicara tentang kewajiban
beragama. Dan kewajiban ini adalah kegiatan pribadi perseorangan yang menjadi
tindakan personal. Ini adalah tindakan yang harus sungguh diusahakan sebagai
hal pribadi sehingga tak terlihat oleh orang lain.
Penanggalan Liturgi 2019
memberikan catatan untuk Masa Prapaskah: Pada Masa Prapaskah Gereja
mempersiapkan pembaptisan dan membina tobat. (KL 109) Masa Prapaskah menjadi
masa “Retret Agung”. Bagi kaum lanjut usia barangkali tujuan utama dalam
menjalani Masa Prapaskah adalah untuk membina tobat. Hal ini tentu untuk
menanggapi warta pertama dan utama Tuhan Yesus Kristus “Bertobatlah, sebab
Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat 4:17) Dengan bertobat umat membuka diri dan
berkiblat pada kuasa dan kehadiran serta penyertaan Allah. Tuhan Yesus yang
menjadi kenyataan hadir-Nya Kerajaan Sorga, yaitu kuasa dan penyertaan ilahi,
memberikan teladan dengan “berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam”
(Mat 4: 2). Hitungan 40 berkaitan dengan angka kudus. Pertobatan secara praktis
adalah olah hati untuk terbuka pada bimbingan Roh Kudus. Dengan bimbingan Roh
Kudus kita akan sungguh beriman, yaitu semakin mengikuti Tuhan Yesus Kristus
sesuai dengan perkembangan situasi hidup dan budaya setempat. Dengan menjalani Masa Prapaskah kita
menyiapkan diri untuk merayakan Paskah yang menjadi landasan dasar hidup
beriman. Dengan Paskah dinyatakanlah karya penyelamatan Allah lewat peristiwa
sengsara, wafat, dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus.
Penghalang Utama
Budaya senioritas
Dari
pengalaman, tampaknya ada budaya yang menempatkan kaum tua dan lanjut usia
dalam jajaran sosial yang harus mendapatkan penghormatan dari generasi yang
lebih muda apalagi kanak-kanak. Ada pula gambaran yang menempatkan golongan lanjut
usia sebagai sosok-sosok yang “sudah banyak makan asam dan garam” atau “sudah
mengenyam pahit dan manisnya kehidupan”. Lanjut usia adalah golongan
orang-orang yang merasa penuh dengan aneka pengalaman. Karena pengalaman
dipandang sebagai guru yang jauh lebih canggih daripada hasil studi akademis
strata apapun, kaum lanjut usia juga dipandang sebagai tempat berguru
kehidupan. Apalagi di tengah masyarakat yang amat mengagungkan ikatan darah
entah dengan istilah trah atau marga atau she atau apapun yang lain, kaum lanjut usia masuk dalam jajaran
yang harus amat diluhurkan. Semua itu adalah realitas kultural yang tidak dapat
dihapus begitu saja dalam perkembangan masyarakat. Yang perlu dicatat adalah bahwa
gambaran senioritas tidak hanya dikaitkan dengan umur. Kedudukan tinggi dalam
masyarakat juga mendapatkan penghormatan kesenioran sehingga ada istilah “yang
dituakan”.
Dalam
hal ini gambaran senioritas kalau
tidak diwaspadai dapat menghalangi kaum lanjut usia menjalani wajib agama
sebagai tindakan personal yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus Kristus. Orang lanjut
usia dapat merasa tersinggung dan bahkan sakit hati apabila yang dilakukan
tidak diperhatikan atau dihargai oleh orang-orang lain terutama oleh generasi
yang lebih muda. Apalagi kalau yang sudah lanjut usia didorong oleh “nafsu jadi
teladan” sehingga perbuatan baiknya menjadi bahan sharing yang tidak pada
tempatnya. Dia dalam berceritera pengalaman dengan membanding-bandingkan yang
terjadi pada orang lain dan bisa menempatkan dirinya memiliki kelebihan di
antara orang-orang lain.
Post power syndrome
Ini
terutama terkait dengan kaum lanjut usia yang di masa aktif produktif menikmati
kedudukan sosial sebagai pemimpin atau jajaran kepengurusan institusi atau
tokoh. Dia dulu menjadi sosok terhormat dan banyak orang menyambutnya dengan
privilese tertentu. Barangkali dia juga kerap didatangi orang untuk tampil
dengan segala kewibawaan yang hadir karena status jabatan atau status kecendekiawanan.
Yang menjadi soal adalah kalau dia kini sudah pensiun atau berhenti tanpa
status sosial. Bagi yang pernah mengagumkan karena ilmunya, setelah masuk
golongan lanjut usia apa yang diketahui sudah berkategori out of date.
Di
era dimana orang dituntut untuk mandiri dalam mencukupi kebutuhan, orang akan
sibuk dengan urusan masing-masing. Di era global dimana orang akan tekait
dengan jaringan-jaringan kerja dan kegiatan, orang akan amat terjerat dengan
kelompok-kelompoknya. Di era kepesatan kemajuan tekhnologi komunikasi, orang
akan lebih banyak menjadi anggota netizen
sehingga lebih mesra dengan internet atau dunia maya. Dari satu sisi semua ini
membuahkan hubungan kesemartabatan. Struktur institusi tidak bercorak vertikal
tetapi horisontal. Di zaman seperti ini ilmu pengetahuan dan tekhologi juga
mengalami pesatnya kemajuan. Dalam keseharian segalanya cepat basi dan yang
baru bermunculan. Bagi kaum lanjut usia semua ini mudah membuatnya terpojok
sebagai yang tertinggal dan mudah tidak menjadi fokus perhatian. Orang yang sudah
lanjut usia, sekalipun hidup serumah dengan anak cucu, dapat lebih berada dalam
kesendirian. Yang menjadi soal adalah kalau jiwanya dipenuhi oleh pemikiran
irasional. Dia yang sudah out of date
tanpa status sosial masih dipenuhi perasaan berwibawa karena pernah terhormat
sebagai sosok berstatus dan atau sosok intelektual. Orang seperti ini akan
mengidap penyakit jiwa post power syndrome
yang “merupakan sebuah
kondisi yang menggambarkan ketidakmampuan individu melepaskan apa yang pernah
dia dapatkan dari kekuasaannya terdahulu.” (https://www.liputan6.com)
(ada lanjutan)
0 comments:
Post a Comment