dari grup email UNIO KAS 4 Mei 2017
Tolong baca dengan benar: open! (Huruf ‘e’ dibaca seperti ketika kita menyebut tempat: Kopeng).
Open bukan dalam arti: buka atau
terbuka (bahasa Inggris), melainkan bahasa Jawa: seneng ngopeni! Open adalah
sifat positif dari seseorang. Open berkaitan dengan keutamaan luhur tradisi
Jawa: gemi lan nastiti. Para orang tua bisanya mendidik
anak-anaknya untuk ‘gemi’. Di
antaranya dengan pembiasaan
‘nyelengi’,
menabung. Menabung bukanlah sekedar mengumpulkan uang untuk masa depan, tetapi
sebuah olah spiritual supaya terbentuk pribadi yang gemi. Maka, gemi berarti
pandai menyimpan sesuatu dengan menghindari penggunaan yang tidak perlu/
berlebihan, sehingga tetap tampil prasaja/
bersahaja.
Monsinyur Robertus adalah seorang yang open, suka ngopeni
barang yang memang dibutuhkan,
memeliharanya supaya tetap berfungsi optimal dan awet. Kami teman-teman
seangkatan di Seminari Mertoyudan dan di Seminari Tinggi Kentungan sangat ingat
bagaimana beliau berpakaian. Yang dipakai hanyalah baju yang itu-itu saja.
Warna sekitar broken white, atau abu-abu (‘ben yen reget ra katon/ biar kalau
kotor tak kentara). Motif pun hampir selalu lorek-lorek
(motif garis lembut). Kadang-kadang saja memakai batik pemberian. Saya
mengamatinya sampai hari-hari menjelang tahbisan uskup (hari-hari ini), baju
beliau pun masih tetap sama (warna dan motifnya) sejak puluhan (30 tahun) lalu.
So simple, begitu sederhana. Kalau
baju robek, atau lepas kancing, beliau sigap dengan benang dan jarum untuk ‘dondom’/ sulam kembali. Ini
mengingatkan saya pada Monsinyur Johanes Pudjasumarta waktu menjadi pamong di
Mertoyudan, dengan baju yang ‘keblendokan’(tercurah) mangsi/tinta
pen, namun tetap dipakainya terus menerus.
Ketika para frater yang lain telah mempunyai radio baru
(setelah Tahun Orientasi Pastoral) yang kinclong,
Frater Rubiyatmoko tetap ngopeni radio yang tak berbentuk samasekali. Sebab
radionya adalah rangkaian ‘handmade’
(circuit block) yang telanjang tanpa casing. Entah beliau peroleh dari bak sampah
di mana. Speakernya ditempatkan di kura-kura plastik, bekas mainan anak-anak.
Sehingga kami sering mengolok-olok: Radio Bulus. Frater Rubiyatmoko sungguh
open. Sepeda onthel inventaris,
selalu diisak-isik, dilap, supaya tetap bersih. Sepeda pinjaman tersebut selalu
‘diuthak-uthik’, disetel supaya tetap nyaman dikendarai ketika hampir setiap
hari harus ‘nglajo’ dari Kentungan ke IKIP Sanata Dharma Mrican.
Ngopeni sangat
erat dengan keutamaan lain yang menyertai: nastiti
dan ngati-ati. Nastiti berarti piawai
dan teliti dalam mengelola sesuatu. Biasanya berkaitan dengan uang dan anggaran.
Artinya cukup berhati-hati dalam memperhitungkan pemasukan dan pengeluaran
supaya berimbang (Ingat: gemi). Namun
sesungguhnya, ngopeni itu tidak hanya
sekedar bagaimana memperlakukan barang. Melainkan juga berkaitan dengan
penggembalaan.
Tepatlah motto: Quaerere
et salvum facere! Persis itulah yang disebut: open. Selalu mengarahkan diri
dalam aksi/tindakan dan passion untuk menemukan yang hilang, supaya mengalami keselamatan.
Membayangkan bahwa setiap imam dan umat menghidupi semangat Bapak Uskup, betapa
Gereja KAS akan semarak dan menjadi berkat. Gereja akan signifikan secara
internal, dan relevan di tengah masyarakat. (Agus S. Gunadi Pr)
__._,_.___
Posted by: Agus Suryana Gunadi <agus.suryana.gunadi@gmail.com>
0 comments:
Post a Comment