Oleh A Gianto dari http://www.mirifica.net/2014/11/11
Rekan-rekan yang budiman!
Perumpamaan mengenai talenta dalam Mat
25:14-30 berawal dengan kisah tentang orang yang mempercayakan hartanya
kepada para hambanya karena ia akan lama bepergian ke luar negeri. Dan
jumlah uang yang ditinggalkannya itu amat besar. Satu talenta nilainya
10.000 dinar dan satu dinar itu waktu itu upah sehari pekerja harian.
Pendengar waktu itu langsung menangkap arah perumpamaan ini, yakni
kepercayaan yang luar biasa besarnya dari pihak pemilik kepada para
hambanya. Dan memang perumpamaan ini lebih bercerita mengenai sang
pemberi daripada mengenai mereka yang menerima. Dari 16 ayat dalam
petikan ini, 10 ayat dipakai untuk menggambarkan tindakan serta
kata-kata sang tuan dan hanya 6 ayat dikhususkan bagi hamba-hambanya.
Menurut Kesanggupan Masing-masing
Orang itu mempercayakan miliknya kepada
tiga orang hambanya. Ia mengenal kemampuan mereka satu persatu dengan
baik. Injil mengutarakannya dengan ungkapan “…masing-masing menurut
kesanggupannya.” Begitulah pemilik tadi merasa aman dapat menitipkan
hartanya kepada orang-orang yang dekat yang sungguh dikenalnya. Ia
percaya mereka akan menjaganya dengan sebaik-baiknya dan mau menjalankan
uangnya. Ia berharap akan tetap beruntung, di luar negeri dan di tanah
sendiri. Perusahaannya akan tetap berjalan.
Selama sang tuan berada di negeri lain,
kedua hamba yang pertama memang menjalankan uang majikannya. Usaha
mereka mendatangkan hasil yang sepadan dengan modal yang dipercayakan
kepada mereka. Baik yang mendapat lima talenta maupun yang mendapat dua
sama-sama mengatakan kepada tuan mereka “Tuan, sekian talenta tuan
percayakan kepadaku….” Jelas dari situ bahwa sejak permulaan mereka tahu
bahwa mereka dipercaya tuan mereka. Kiranya kesadaran inilah yang
membuat mereka berani berusaha agar harta yang dipercayakan itu menjadi
harta yang hidup. Mereka dapat berkata telah mendapat laba sebanyak
talenta yang dipercayakan. Dan ternyata yang mereka kerjakan mendapat
perkenan. Sang pemilik berkata bahwa mereka akan mendapat tanggung jawab
dalam perkara yang lebih besar karena telah menunjukkan kesetiaan dalam
hal kecil. Mereka juga akan semakin berbagi kekayaan dengan pemilik
tadi. Mereka diajak masuk ke dalam kebahagiaan tuan mereka. Maksudnya,
tuan tadi akan membuat mereka menjadi anggota rumah yang merdeka, dan
bukan lagi hamba. Pembaca zaman itu dapat segera menyimpulkannya bahwa
itulah maksud kata-kata pemilik yang kembali tadi. Usaha mereka telah
membuat mereka menjadi orang merdeka yang tetap boleh berdiam di rumah
tuan mereka. Inilah pahala terbesar yang dapat diharapkan.
Talenta yang Tak Dikembangkan
Bagaimana dengan hamba yang mendapat
satu talenta dan kemudian hanya mampu mengembalikan satu talenta saja?
Kita tahu apa yang terjadi dengan dia pada akhir perumpamaan. Ia tidak
lagi mendapat kepercayaan dan tidak menerima apa-apa. Bahkan ia tidak
lagi diakui sebagai hamba oleh tuannya dan dikeluarkan dari rumah
tangganya. Ia kini menjadi mangsa kegelapan dan apa saja yang
menakutkan. Hamba ini menjadi gambaran kebalikan dari kedua hamba yang
lain. Selama tuannya pergi ia tidak pernah belajar mengurus dan
menjalankan harta yang dipercayakan kepadanya. Kenapa? Bukan karena ia
tidak berinisiatif. Dalam ay. 25 ia berkata bahwa ia tahu tuannya itu
kejam, menuai di tempat ia tidak menabur, dan memungut di tempat ia
tidak menanam sendiri. Ia takut. Ketakutan ini membuat ia tidak bisa
menerima bahwa tuannya mau mempercayainya. Karena itu ia menyembunyikan
talenta yang diserahkan kepadanya. Ada ironi yang tajam. Tuan itu
mengenal baik hamba-hambanya. Ia mau mempercayakan miliknya kepada
mereka sesuai kemampuan masing-masing. Tetapi tidak semua hamba itu
mengenal sang majikan sebaik ia mengenal mereka.
Mengapa hamba itu malah kena marah dan
disebut hamba yang “jahat dan malas”? Mengapa dikatakan, seharusnya
hamba itu mempercayakan talenta tadi kepada orang yang bisa menjalankan
sehingga nanti ada bunganya? Sebetulnya semua yang dibayangkan hamba
yang mendapat satu talenta itu benar. Apa persoalannya?
Memang ada kebiasaan menyembunyikan
harta dengan memendamnya. Keuntungannya memang harta itu tidak akan
gampang diincar orang karena tidak diketahui. Dan sulit ditemukan orang
lain. Aman. Tetapi juga tidak mendatangkan laba. Jadi modal mati. Hamba
tadi kurang punya inisiatif, ia malas. Ia ragu-ragu, jangan-jangan nanti
begini, jangan-jangan nanti begitu. Akhirnya ia malah tak menghasilkan
apa-apa.
Kenapa ia disebut tuannya sebagai
“jahat” juga? Pembaca boleh memikirkan, hamba yang ini sebetulnya tidak
memberi kemungkinan kepada tuannya untuk berubah. Majikannya itu memang
dikenal sebagai orang yang tinggi tuntutannya, dst. Dan kiranya memang
begitu (ay. 26). Tetapi berkat keberanian kedua hamba yang lain, atau
lebih baik dikatakan kesetiaan mereka menjaga serta menjalankan milik
tuannya, maka ia bisa berubah menjadi murah hati dan suka mengajak
bawahannya ikut menikmati kekayaannya yang berlimpah. Tetapi ada yang
tidak mau menerima bahwa ia bisa berubah menjadi murah hati. Ada yang
menutup pintu bagi tuan tadi agar bisa menjadi orang yang lain daripada
yang dahulu-dahulu. Inilah yang mendatangkan kemalangan bagi hamba tadi.
Ia tidak mampu menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan
tuannya. Hamba itu terhukum oleh pandangannya sendiri yang kaku mengenai
tuannya.
Tentang Tuhan
Perumpamaan ini memuat ajakan agar orang
berani memikirkan kembali anggapan mengenai siapa itu Tuhan dan
bagaimana mendapat perkenannya. Dan kiranya memang itulah maksud Yesus
dengan perumpamaan ini. Maklum bagi pendengarnya pada waktu itu Tuhan
Allah dialami sebagai yang menuntut dan akan murka dan menghukum bila
umatnya tidak menuruti hukum-hukumNya. Itulah teologi yang dulu dirasa
jitu di kalangan para pemimpin (ahli Taurat, para imam) dan orang-orang
yang dianggap benar dan menganggap diri benar (kaum Farisi). Tuhan tidak
mendapat ruang untuk tampil dengan wajah kebapaan. Dia dikurung dalam
teologi picik hamba yang mendapat satu talenta itu.
Tahukah orang yang akan bepergian ke
luar negeri tadi bahwa di antara hambanya yang dipercayainya itu ada
yang tidak bakal banyak berbuat? Tentunya ya. Walaupun demikian, ia
tetap berharap hambanya itu bisa berkembang. Dan tuan tadi – kini bisa
kita pakai untuk mengerti siapa Tuhan sebenarnya – berani mengambil
risiko. Siapa tahu hamba yang begitu itu nanti berubah. Tuhan berani
memberi kesempatan kepada orang yang sebenarnya dikenal tidak akan
berbuat banyak.
Injil dan Kehidupan
Mari kita bayangkan jalan cerita yang
berbeda. Katakan saja hamba yang malas dan penakut yang mendapat satu
talenta itu bisa berubah. Katakan saja, ada rekan yang menolong dan
memberanikannya agar lebih percaya diri. Alur kisahnya akan berbeda.
Pendengar yang berani berinteraksi dengan perumpamaan dengan cara ini
akan juga merasa terdorong membantu rekan yang dalam kehidupan nyata
dikenal sebagai orang yang kurang berani berinisiatif, takut melulu,
takut gagal, takut menyalahi gagasan sendiri. Dan kiranya itulah sikap
pastoral yang diharapkan ada bila kita menjumpai orang yang butuh
dibesarkan hatinya, dibimbing, diberanikan. Itu juga yang bisa
diharapkan dari kita-kita yang merasa beruntung seperti kedua hamba yang
dipuji dan diajak berbagi kebahagiaan oleh tuannya tadi. Kita yang
merasa seperti mereka akan tertantang apa juga berani ambil risiko
seperti tuan hamba-hamba tadi. Nurani kita akan terketuk untuk berupaya
menolong orang yang sebenarnya sudah mengurung diri dalam pagar
keputusasaan. Boleh kita bertanya dalam hati, beranikah kita mencoba
membebaskan orang yang memenjarakan diri dengan teologi yang mematikan,
dengan gambaran mengenai Yang Ilahi yang serba kaku. Beranikah kita
berusaha menghidupkan imannya. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu
termasuk pesan yang tersirat dalam perumpamaan ini.
Saya tanya Matt apa setuju dengan cara
membaca di atas. Katanya, “Apa belum tahu bahwa perumpamaan itu
sebenarnya baru separuh jalan? Baru ada dalam Injil dan belum selesai
ditulis dalam kehidupan. Kalianlah yang mesti melanjutkannya sampai Anak
Manusia datang kembali nanti di akhir zaman. Dia ingin mendengarkan
kelanjutan cerita yang disampaikan dalam perumpamaan itu. Mudah-mudahan
saat itu tak ada yang hanya akan mengutarakan kembali yang ada di Injil
tanpa menambah kelanjutannya dalam hidup masing-masing. Dia ini akan
seperti orang yang mendapat satu talenta.”
Keterangan foto: What’s your talent, ilustrasi dari www.jardinierdedieu.com
0 comments:
Post a Comment