Lukman Nur Hakim
dari bu-luk.blogspot.com Kamis 24 Maret 2011
ilustrasi dari koleksi Blog Domus
Bekerja
adalah suatu keharusan untuk memenuhi kebutuhan dan kesenangan hidup.
Bekerja juga merupakan rangkaian ibadah untuk mengabdi kepada Tuhan.
Bekerja dengan dilandasi skill maka akan menemukan banyak kemudahan.
Bekerja dengan rasa
kecintaan pada bidang yang digelutinya akan mendatangkan kesuksesan dan
kenyamanan sehingga orang dengan mudah dipromosikan, memiliki komunikasi
sosial yang terbuka, dan mendapatkan kedudukan di tengah masyarakat.
Tetapi dengan bekerja dapat pula membawa pada masalah besar ketika
terjadi pemberhentian di tengah-tengah kenikmatan bekerja. Sedangkan tidak bekerja karena pensiun, tidak menjabat lagi pada umumnya ditanggapi oleh banyak orang dengan perasaan negatif dan cenderung secara mental belum siap menerima perubahan itu. Mereka benar-benar mengalami shock (kejutan mental hebat) karena dianggap sebagai kejadian yang
merugikan, menimbulkan aib/kenistaan, dan dianggap sebagai hal yang
memalukan yang dapat mengakibatkan degradasi sosial. Realita di lapangan
menunjukkan bahwa orang-orang yang dikenakan PHK ataupun para pensiunan
cenderung mengalami penyakit mental yang akhirnya berdampak pada psikis
mereka.
Di sisi lain, menganggur dapat menimbulkan perasaan-perasaan inferior (minder, rendah diri), rasa tidak
berguna, tidak dipakai lagi, dan tidak dibutuhkan; juga menimbulkan
banyak frustrasi. Bagi orang-orang yang sudah pensiun (mantan pegawai,
purnawirawan) yang sudah dirumahkan, segala fasilitas jabatan, kemudahan
birokrasi, pujian, serta kemewahan yang biasa diterima sewaktu masih menjabat dahulu semuanya sudah habis. Perasaan kehilangan semua fasilitas dan keenakan yang pernah didapatkan dirasakan sebagai beban mental yang
berat membebani psikis. Secara umum orang belum bisa menerima perubahan
dari yang dulu menjadi (pejabat yang disegani) dan sekarang tidak
menjadi (bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa).
Manusia yang bermental lemah dan belum siap secara psikis menghadapi masa pensiun akan mengalami pukulan
batin apalagi apabila terjadi pencopotan jabatan yang tidak terhormat
maka akan tercabik-cabiklah mentalnya di seluruh masa hidupnya. Pada
awalnya bermunculanlah gejala psikis seperti perasaan sedih,
takut, cemas. rasa inferior/rendah diri, tidak berguna, putus asa,
bingung, yang semuanya jelas mengganggu fungsi-fungsi kejiwaan dan
organiknya. Maka tidak lama kemudian semua simptom itu akan berkembang
menjadi satu kumpulan penyakit dan kerusakan-kerusakan fungsional. Orang tersebut akan mengalami sakit secara berkepanjangan dengan macam-macam komplikasi; yaitu menderita penyakit post-power syndrome (sindrom purna-kuasa atau sindrom pensiun).
Siapa pun harus mengenali penyakit mental ini agar kita bisa menghindarinya. Syndrome/sindrom adalah sekumpulan kompleks gejala penyakit (symptoms) yang saling berkaitan berupa reaksi somatis (tubuh) dalam bentuk tanda-tanda penyakit, luka-luka, atau kerusakan-kerusakan. Post-Power Syndrome
adalah reaksi somatisasi dalam bentuk sekumpulan simptom penyakit,
luka-luka, dan kerusakan-kerusakan fungsi-fungsi jasmani dan mental yang
progresif, karena orang yang bersangkutan sudah tidak bekerja pensiun.
tidak menjabat, atau tidak berkuasa lagi. Simptom-simptom penyakit ini pada intinya disebabkan oleh banyaknya stress (ketegangan,
tekanan batin), rasa kekecewaan, kecemasan dan ketakutan, yang
mengganggu fungsi-fungsi organik dan psikis, sehingga mengakibatkan
macam-macam penyakit, luka-luka dan kerusakan yang progresif (terus
berkembang/meluas). Sindrom purna kuasa tersebut banyak diidap oleh para
pensiunan, Kemudian mereka tidak mampu melakukan adaptasi yang sehat terhadap tuntutan kondisi hidup baru.
Gejala psikis dan fisik yang sering tampil antara lain ialah: layu, sayu, lemas, apatis, depresif, semuanya "serba-salah";
tidak pernah merasa puas, dan berputus asa. Atau tanda-tanda
sebaliknya, yaitu menjadi mudah ribut, tidak toleran, cepat tersinggung,
gelisah, agresif, dan suka menyerang baik dengan kata-kata atau
ucapan-ucapan maupun dengan benda-benda, dan lain-lain. Bahkan tidak
jarang menjadi beringas, setengah sadar. Kondisi psikis
sedemikian ini jika tidak bisa dikendalikan oleh si pelaku sendiri,
bahkan juga tidak bisa diperingan dengan bantuan medis dan psikiatris,
maka menjadi semakin gawat, dan pasti akan memperpendek umur
penderitanya.
Perasaan-perasaan negatif. terutama keengganan menerima situasi baru dengan kebesaran jiwa, pasti menimbul-kan banyak stress, keresahan batin, konflik-konflik
jiwani, ketakutan. kecemasan, rasa inferior, apatis, melankholis dan
depresi, serta macam-macam ketidakpuasan lainnya. Jika semua itu
berlangsung berlarut-larut, kronis berkepanjangan. maka jelas akan
menyebabkan proses dementia (kemunduran mental) yang pesat.
dengan menyandang kerusakan-kerusakan pada fungsi-fungsi organis (alat/
bagian tubuh) dan fungsi-fungsi kejiwaan yang saling berkaitan. dan kita
kenal sebagai gejala post-power syndrome.
Tentunya
bagi mental sakit ini telah ada solusinya. Namun terkadang manusia
tidak menyadarinya ketika dia masih asyik masyuk bekerja. Persiapan
mental untuk dapat menerima apapun yang akan terjadi merupakan cara
merawat mental agar tetap sehat. Islam telah mengajarkan
dan mengingatkan manusia tentang takdir ”Sesungguhnya kami menciptakan
segala sesuatu menurut ukuran” (QS. Qomar 49). Sayid Sabiq mengartikan
takdir adalah suatu peraturan yang telah dibuat oleh Allah SWT untuk segala yang ada di
alam semesta ini. Imam Nawami menambahkan takdir itu sendiri telah
ditulis sejak sebelum manusia dilahirkan. Allah mengetahui apa saja yang
akan terjadi sesuai dengan waktu yang telah ditetap atau
digariskan-Nya. Dalam falsafah Jawa ”nrima ing pandum” akan membuat manusia menjadi nyaman dan tidak mudah putus asa.
Mengatasi Post-Power Syndrome
Terapi
untuk meringankan gejala-gejala sindrom pensiun dan untuk memperoleh
kembali kesehatan jasmani serta kesejahteraan jiwa mengarah pada
integrasi struktur kepribadian, menurut Kartini Kartono (2000) dalam
bukunya Hygiene Mental disarankan melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
(1)
Mau menerima semua kondisi baru. yaitu masa pensiun/ purnakarya
tersebut dengan perasaan rela, ikhlas, lega, bahagia, karena semua
tugas-tugas pokok selaku manusia dan pejabat sudah selesai. Maka kini
tiba saatnya pribadi yang bersangkutan belajar menyesuaikan diri lebih
baik lagi terhadap tuntutan situasi-kondisi baru yang masih penuh
tantangan, yang harus dijawab dan dijalani.
(2)
Masa purnakarya ini diantisipasikan sebagai pengalaman baru, atau
sebagai satu periode hidup baru, yang mungkin masih akan memberikan
kesan-kesan indah dan menakjubkan di masa mendatang. Pribadi yang
bersangkutan harus bisa menerima, bahwa masa lampau memang sudah lewat,
dan harus dilupakan atau dilepaskan dengan perasaan tulus ikhlas. Dan
tidak mengharapkan pengulangan kembali pengalaman lama dengan rasa
kerinduan mitis (mitos) atau secara sentimentil.
(3)
Segala kebahagiaan, dan puncak kehidupan yang sudah digariskan oleh
Yang Maha Kuasa, juga semua ujian dan derita-nestapa sudah dilalui
dengan hati pasrah. Namun perjalanan hidup seterusnya masih harus
dilanjutkan dengan ketabahan dan rasa tawakal. Sebab pada masa usia tua
ini masih saja ada misi-misi hidup yang harus diselesaikan sampai
tuntas; di samping harus memberikan kebaikan dan kecintaan kepada
lingkungan sekitar.
(4)
Peristiwa kepurnakaryaan supaya diterima dengan kemantapan hati sebagai
anugerah Ilahi, dan sebagai kebahagiaan yang diberikan oleh lingkungan
masyarakat manusia sebagai edisi hidup baru yang harus diisi dengan
darmabakti dan kebaikan. Memang tidak banyak yang bisa dilakukan oleh
para mantan pada sisa hidupnya yang sudah "senja". Tetapi
setidak-tidaknya seperti keindahan panorama senja yang masih memberikan
kecemerlangan mistis yang gilang-gemilang, memberikan kebaikan kepada
anak-cucu, generasi penerus serta masyarakat pada umumnya.
(5) Sebaiknya tidak melakukan pembandingan dengan siapa atau apapun juga; sebab usaha sedemikian itu akan sia-sia, dan menjadikan hatinya "nelangsa",
serta meratap sedih, ngresula/kecewa. Ada kalanya bisa memacu diri-nya
untuk berbuat "ngaya" di luar batas kemampuan sendiri dan tidak wajar.
Setiap relasi sosial yang baru di masa sekarang, sudah tidak lagi
dibebani oleh ikatan dan kekecewaan macam apapun. Hidup ini dihadapi
dengan hati tulus, polos, sabar, narima, jernih.
(6)
Membebaskan diri dari nafsu-nafsu, ambisi-ambisi, keinginan berkuasaan
atau nafsu untuk memiliki. Apa yang didambakan dalam sisa hidup sekarang
ialah: tenang, damai dan sejuk di hati. Kalbunya sudah mantap, tidak
terbelah oleh macam-macam kontradiksi, ambisi, dan fikiran khayali.
Sebab sekarang sudah menjadi pribadi yang mampu menyambut akhir hayat
dengan senyum dan kemantapan.
Bagi
jiwa-jiwa yang menerima, maka segala apa pun yang kan terjadi di
depannya akan mampu dihadapi dengan besar hati. Karena dari setiap
kejadian pasti ada hikmah yang menyertainya. Setiap kita hendaknya sadar
bahwa dimensi kesehatan bukan hanya jasmaniah saja, tetapi rohani
(mentalitas) juga memegang peranan penting (important role) dalam menentukan kesehatan seseorang. Awali segala sesuatu dengan pikiran positif (positive thingking/huznudzon)
sehingga mental-mental positif dalam diri kita akan tumbuh dengan
subur. Mari kita wujudkan cita-cita Indonesia Sehat dimulai dari diri
kita masing-masing, keluarga dan lingkungan sekitar kita.
Staff Pengajar UPS
Ketua Lakpesdam NU Brebes
0 comments:
Post a Comment