dari https://imamaffandi.wordpress.com February 7, 2008 at 12:22 am Leave a comment
IA PASRAH TERHADAP PENYAKIT YANG DIDERITANYA…
Oleh :
Imam Affandi, S.Psi. MM
Semua
orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa
hidup manusia yang terakhir, dimana pada masa ini seseorang mengalami
kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit sehingga tidak
dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi. Menurut Kepala Kanwil
Departemen Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam ceramah
simposium geriatri, usia lanjut adalah orang-orang yang berusia diatas
56 tahun dan mengandung pengertian bahwa mereka dipandang sudah tidak
mampu lagi melaksanakan tugasnya.
Secara umum manusia ingin hidup panjang dengan berbagai upaya yang
dilakukan, proses hidup yang dialami manusia yang cukup panjang ini
telah menghasilkan kesadaran pada diri setiap manusia akan datangnya
kematian sebagai tahap terakhir kehidupannya di dunia ini. Namun
demikian, meski telah muncul kesadaran tentang kepastian datangnya
kematian ini, persepsi tentang kematian dapat berbeda pada setiap orang
atau kelompok orang. Bagi seseorang atau sekelompok orang, kematian
merupakan sesuatu yang sangat mengerikan atau menakutkan, walaupun dalam
kenyataannya dari beberapa kasus terjadi juga individu-individu yang
takut pada kehidupan (melakukan bunuh diri) yang dalam pandangan agama
maupun kemasyarakatan sangat dikutuk ataupun diharamkan (Lalenoh, 1993 :
1). Sebaliknya, bagi seseorang atau sekelompok orang, pertambahan usia
cenderung membawa serta makin besarnya kesadaran akan datangnya
kematian, dan kesadaran ini menyebabkan sebagian orang yang berusia tua
tidak merasa takut terhadap kematian. Kematian diterima sebagai seorang
sahabat (Tony 1991 : 15).
Dengan
demikian orang lanjut usia dalam meniti kehidupannya dapat
dikategorikan dalam dua macam sikap. Pertama, masa tua akan diterima
dengan wajar melalui kesadaran yang mendalam, sedangkan yang kedua,
manusia usia lanjut dalam menyikapi hidupnya cenderung menolak datangnya
masa tua, kelompok ini tidak mau menerima realitas yang ada (Hurlock,
1996 : 439).Seperti yang telah dikemukakan diatas, menjadi tua merupakan
proses yang wajar dan terjadi pada setiap orang. Permasalahannya adalah
bagaimana lansia tersebut bisa menyadari dan mempersiapkan diri untuk
menghadapi usia tua. Di sisi lain, ada sebuah anggapan atau pencitraan
yang negatif dan positif. Semakin bisa berfikir positif, orang akan semakin bisa menerima kenyataan namun “ menerima
” itu bukan berarti kita menerima apa adanya. Maksudnya adalah
bagaimana cara kita menyesuaikan diri dengan usia, melakukan aktivitas
secara wajar sesuai dengan kemampuan fisik dan psikis usia tua.
Proses menua (aging)
adalah proses alami yang dihadapi manusia. Dalam proses ini , tahap
yang paling krusial adalah tahap lansia (lanjut usia). Dalam tahap ini,
pada diri manusia secara alami terjadi penurunan atau perubahan
kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling
berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi
menimbulkan masalah kesehatan secara umum ( fisik) maupun kesehatan jiwa
secara khusus pada individu lanjut usia. Usia lanjut ditandai dengan
perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan
lansia dalam melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk, akan
tetapi ciri-ciri usia lanjut cenderung menuju dan membawa penyesuaian
diri yang buruk dari pada yang baik dan kepada kesengsaraan dari pada
kebahagiaan, itulah sebabnya mengapa usia lanjut lebih rentan dari pada
usia madya (Hurlock, 1999 : 380)
Masalah-masalah
kesehatan atau penyakit fisik dan atau kesehatan jiwa yang sering
timbul pada proses menua (lansia), menurut Stieglitz (dalam Nugroho;
1954) diantara; Gangguan sirkulasi darah, gangguan metabolisme hormonal,
gangguan pada persendian, dan berbagai macam neoplasma.
Masalah sosial yang dihadapi lanjut usia (lansia) adalah bahwa
keberadaan lansia sering dipersepsikan negatif oleh masyarakat luas. Kaum
lansia sering dianggap tidak berdaya, sakit-sakitan, tidak produktif
dan sebagainya. Tak jarang mereka diperlakukan sebagai beban keluarga,
masyarakat, hingga Negara. Mereka seringkali tidak disukai serta sering
dikucilkan di panti-panti jompo. Perubahan perilaku ke arah negatif ini
justru akan mengancam keharmonisan dalam kehidupan lansia atau bahkan
sering menimbulkan masalah yang serius dalam kehidupannya.
Orang
yang sudah lanjut usia seringkali mendapat perlakuan yang sebenarnya
tidak mereka inginkan, misalnya selalu disuruh duduk saja. Mungkin para
lansia itu akan berfikir, “ Mentang-mentang sudah tua, disuruh diam
saja. Padahal kan aku ingin membantu juga”. Begitulah yang biasanya
terjadi, yang muda merasa kasihan, sementara yang tua merasa kalau
mereka masih sanggup melakukan sesuatu. Apa yang orang muda lakukan pada
mereka yang sudah lansia seperti yang dikemukakan tersebut, sebenarnya
suatu kesalahan (Bali Post, 2 Juni 2002). Sementara sumber data dari
World Bank tahun 1994 (Kompas, 30 Mei 1996) membeberkan usia harapan
hidup rata-rata penduduk Indonesia ditahun 1960 hanyalah 46 tahun,
tetapi ditahun 1990 usia harapan hidup melonjak menjadi 59 tahun,
sedangkan ditahun 1994 adalah 62 tahun. Lantas ditahun 2000 meningkat
lagi menjadi minimal 70 tahun.
Perkiraan
pada tahun 2005 nanti akan terjadi ledakan lansia di Indonesia, jumlah
lansia akan mencapai 16,2 juta jiwa atau 7,4 % dari total penduduk yang
berjumlah sekitar 216,6 juta jiwa.Memang datangnya masa tua tidak dapat
ditentukan dengan pasti sesuai dengan kedudukannya sebagai suatu bagian
yang tidak terpisah dari proses hidup seluruhnya sesuai pula dengan
kenyataan bahwa semua berlaku menurut hukum alam yang berlaku. Hal ini
dikuatkan dari hasil studi kasus yang telah dilakukan oleh peneliti
bahwa lansia merasa tidak nyaman saat kondisinya sedang drop (kesehatan menurun), lansia
sering mengeluh tidak diperhatikan serta cenderung memperhatikan
perilakunya seperti pola makan yang sangat diatur. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Santoso (2000:56) bahwa dalam kehidupan lansia
ternyata sebagian besar orang usia lanjut masih mampu mengisi hari-hari
tuanya dengan berbagai kegiatan seperti kegiatan keagamaan, mengasuh
cucu, memantau pekerjaan sehari-hari, membuat kerajinan seperti menyulam
dan lain-lain. (Bali pots,2002)
Usia lanjut dipandang sebagai masa degenerasi biologis yang disertai
oleh penderitaan berbagai dengan masa penyakit dan keudzuran serta
kesadaran bahwa setiap orang akan mati, maka kecemasan akan kematian
menjadi masalah psikologis yang penting pada lansia, khususnya lansia
yang mengalami penyakit kronis. Pada orang lanjut usia biasanya memiliki
kecenderungan penyakit kronis (menahun/berlangsung beberapa tahun) dan progresif
(makin berat) sampai penderitanya mengalami kematian. Kenyataannya,
proses penuaan dibarengi bersamaan dengan menurunnya daya tahan tubuh
serta metabolisme sehingga menjadi rawan terhadap penyakit, tetapi
banyak penyakit yang menyertai proses ketuaan dewasa ini dapat dikontrol
dan diobati. Masalah fisik dan psikologis sering ditemukan pada lanjut
usia. Faktor psikologis diantaranya perasaan bosan, keletihan atau
perasaan depresi (Nugroho, 1992 : 32).
Kecemasan akan kematian dapat berkaitan dengan datangnya kematian itu
sendiri, dan dapat pula berkaitan dengan caranya kematian serta rasa
sakit atau siksaan yang mungkin menyertai datangnya kematian, karena
itu pemahaman dan pembahasan yang mendalam tentang kecemasan lansia
penting untuk, khususnya lansia yang mengalami penyakit kronis, dalam
menghadapi kematian menjadi penting untuk diteliti. Sebab kecemasan bisa
menyerang siapa saja. Namun, ada spesifikasi bentuk kecemasan yang
didasarkan pada usia individu. Umumnya, kecemasan ini merupakan suatu
pikiran yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan kekhawatiran, rasa
tidak tenang, dan perasaan yang tidak baik atau tidak enak yang tidak
dapat dihindari oleh seseorang (Hurlock, 1990:91).
Disamping itu juga, ada beberapa faktor lain yang dapat menimbulkan
kecemasan ini, salah satunya adalah situasi. Menuruk Hurlock (1990:93)
bahwa jika setiap situasi yang mengancam keberadaan organisme dapat
menimbulkan kecemasan. Kecemasan dalam kadar terberat dirasakan sebagai
akibat dari perubahan sosial yang sangat cepat. Hal ini sesuai dengan
hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti dengan salah
seorang lansia yang sedang mengalami pengobatan rawat jalan karena
terkena penyakit kronis di tempat kediamannya, seperti dituturkan oleh
Azis salah seorang anak yang orang tuanya sedang menjalani terapi pasca
pengobatan penyakit stroke di RSU Saiful Anwar Malang, bahwa
“ia
pasrah terhadap penyakit yang diderita oleh ibunya, berbagai usaha
sudah kami lakukan sebagai anak agar ibu cepat sembuh walaupun tidak 75%
sembuhnya. Tapi ibu juga agak rewel susah diatur dan kadang mintanya
macem-macem, disuruh diam duduk disitu, ia malah kepengen jalan katanya
gak betah tiduran aja”.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh
(Casanah,2000:27) mengemukakan bahwa mungkin saja orang yang sudah
lanjut usia seringkali mendapat perlakuan yang sebenarnya tidak mereka
inginkan, misalnya selalu disuruh duduk saja. Mungkin para lansia itu
akan berfikir, “ Mentang-mentang sudah tua, disuruh diam saja. Padahal
kan aku ingin membantu juga .” Begitulah yang biasanya terjadi, yang
muda merasa kasihan, sementara yang tua merasa kalau mereka masih
sanggup melakukan sesuatu. Apa yang orang muda lakukan pada mereka yang
sudah lansia seperti yang dikemukaan tersebut, sebenarnya suatu
kesalahan. Keluhan-keluhan tersebut merupkan suatu cara yang memang
seringkali dilakukan dan terjadi dikalangan lansia yang tujuannya adalah
untuk mendapatkan perhatian lebih dari orang-orang terdekatnya yang
mungkin hal tersebut bagi si orang tua (lansia) terasa sangat jauh dari
dirinya apalagi dalam bentuk perhatian terhadap kesehatan dirinya,
seperti pola makan yang sangat diatur, dan lain sebagainya adalah
merupakan hasil dari adanya kecemasan akan kondisi kesehatan fisiknya
(lansia).
Terdapatnya
beberapa penyakit sekaligus pada waktu yang sama, juga sering terjadi
pada lansia dan inilah yang sering menimbulkan masalah dalam diagnostik
sekaligus menimbukan kecemasan bagi si lansia itu sendiri. Bahkan
adakalanya bahwa penyakit yang gawat, kurang diperhatikan karena
gejala-gejalanya terselubung oleh keluhan-keluhan umum yang dikemukakan
atau oleh karena gejala-gejala proses menjadi tua. Adakalanya mereka
melebih-lebihkan keluhan mereka, sebaliknya sering mereka tidak
mengemukakan apa yang dirasakan sesungguhnya.
Selain kesehatan fisik yang perlu dipahami, juga ada kesehatan mental,
misalnya depresi. Depresi pada lansia memiliki latar belakang yang agak
berbeda dengan orang dewasa lainnya, karena depresi pada lansia lebih
sering timbul akibat berbagai penyakit fisik yang dideritanya. Suatu
ketergantungan hidup pada orang lain timbul pada sebagian lansia yang
kondisi fisiknya memang sudah tidak sempurna lagi, sehingga merupakan
fenomena kedua penyebab adanya depresi (Nugroho,1992:69). Kecemasan
lansia yang mengalami penyakit kronis dalam menghadapi kematian
diantaranya adalah terjadinya perubahan yang drastis dari kondisi
fisiknya yang menyebabkan timbulnya penyakit tertentu dan menimbulkan
kecemasan seperti gangguan penceranaan, detak jantung
bertambah cepat berdebar-debar akibatdari penyakit yang dideritanya
kambuh, sering merasa pusing, tidur tidak nyenyak, nafsu makan hilang.
Kemudian secara psikologis kecemasan lansia yang mengalami penyakit
kronis dalam menghadapi kematian adalah seperti adanya perasaan
khawatir, cemas atau takut terhadap kematianitu sendiri, tidak berdaya,
lemas, tidak percaya diri, ingin bunuh diri, tidak tentram, dan gelisah.
Faktor-faktor
yang menyebabkan timbulnya kecemasan pada lansia yang mengalami
penyakit kronis dalam menghadapi kematian diantaranya adalah selalu
memikirkan penyakit yang dideritanya, kendala ekonomi, waktu berkumpul
dengan keluarga yang dimiliki sangat sedikit karena anak-anaknya tidak
berada satu rumah/berlainan kota dengan subyek, kepikiran anaknya yang
belum menikah, sering merasa kesepian, kadang sulit tidur dan kurangnya
nafsu makan karena selalu memikirkan penyakit yang dideritanya
Usaha-usaha
yang dapat dilakukan untuk mengatasi kecemasan pada lansia yang
mengalami penyakit kronis dalam menghadapi kematian meliputi menghibur
dan menenangkan diri dengan menyanyi, rajin beribadah, menyibukkan diri,
misalnya mencuci pakaian atau menyirami tanaman. rajin memeriksakan
kesehatannnya ke dokter atau puskesmasterdekat dan mengatur pola makan
teratur sebisa mungin, dan mengisi hari-harinya dengan cara menjenguk
anak dan cucunya atau pergi mengunjungi ke panti jompo.
Penulis adalah Psikolog/Konusltan Ahli Lembaga Research & Data Base Malang
********Daftar Pustaka
Andrew. 2005. Goliszek Go Second Manajemen Stress. PT. Bhuana Ilmu Populer
Bali Post, 2 juni 2002
Casanah, 2000. A Life Span Fiew Edisi II. PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta
Davidoff, L 1991. Psikologi Suatu Pengantar, Jakarta Erlangga
Hurlock, Elizabeth. 1990. Psikologi Perkembangan edisi kelima Erlangga Jakarta
Kompas, 30 Mei 1996
Maramis, W.F. 1980. Lektor Kepala Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press
Nugroho Wahyudi, 1992. Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Santrock, Jhon. W Life Span Development, Perkembangan Masa Hidup. Jilid II Erlangga
Rahayu, IT & Ardani, TA. 2004. Observasi dan wawancara. Malang Banyumedia Publishing
Raymont.2001 Hidup Sesudah Mati. PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta
Wiramiharja. 2004. Pengantar Psikologi Klinis. Bandung; PT. Refika Aditama
Yin, 1996. Studi Kasus; Desain dan Metode. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
0 comments:
Post a Comment