diambil dari http://www.sesawi.net By A Gianto -
PADA
hari Minggu Paskah VII tahun B dibacakan bagian doa Yesus pada
perjamuan terakhir bagi para muridnya (Yoh 17:11b-19). Yesus meminta
agar Bapa memelihara para murid dalam nama-Nya agar mereka menjadi satu
seperti dia satu dengan Bapa. Diungkapkannya pula bahwa para murid
diutus ke dunia, sebagaimana ia sendiri. Marilah kita dalami unsur-unsur
itu dan lacak ke mana arahnya bagi zaman kita sekarang.
Disampaikan permohonan agar Bapa
“memelihara” para murid. Ungkapan ini dipakai dalam arti yang lazim
dikenal, yakni mengurus, menjaga agar mereka terus hidup dan bertumbuh.
Sekaligus diminta agar mereka dijauhkan dari marabahaya. Dalam Injil
Yohanes memang ada gagasan bahwa kehidupan ini terancam oleh
kekuatan-kekuatan “dunia” yang berusaha menjauhkan orang dari sumber
kehidupan sendiri. Boleh dikata, dalam alam pikiran Injil ini, dunia
diperlihatkan sebagai tempat berkuasanya kekuatan jahat. Tetapi tidak
diajarkan untuk menyangkal dunia sebagai kenyataan seburuk apapun
kenyataan itu. Karya penebusan justru mendatangi dan menerangi tempat
gelap, yakni dunia, sehingga berangsur-angsur berubah menjadi tempat
terang sendiri. Tempat kegelapan tidak dipaparkan sebagai tempat
terhukum yang bakal dihancurkan kelak. Kekhususan pandangan Injil
Yohanes ialah tekad dan keberanian Yesus untuk memasuki tempat gelap dan
mengubahnya karena dirinya ialah terang itu sendiri. Gagasan ini muncul
berkali-kali sejak pembukaan Injil ini. Memang diisyaratkan ada semacam
“pergumulan” antara gelap dan terang, tapi ditegaskan bahwa terang
takkan dikuasai yang gelap.
Ungkapan “dalam nama (Bapa)” amat luas
cakupan maknanya. Semua tindakan Yesus seperti diungkapkan dalam Injil
terjadi untuk memperkenalkan siapa sesungguhnya Yang Maha Kuasa itu,
bagaimana Dia bisa dikenal, dan siapa nama-Nya: “Bapa” , Aramnya “Abba”.
Dia yang sedemikian luhur itu kini dikenal bukan lagi dengan nama yang
tak boleh diucapkan karena teramat keramat seperti dihayati dalam agama
Yahudi dulu. Kini Ia dapat diseru sebagai Abba, “Pak”. Tentu saja
terjemahan seperti ini hanya dapat mengalihbahasakan satu sisi arti
sebutan itu, yakni perasaan akrab. Panggilan Abba juga mengungkapkan
kepatuhan penuh dari yang mengucapkannya, dan bukan hanya itu saja,
seruan itu juga mengungkapkan bahwa Dia adalah tumpuan harapan yang
paling tepercaya. Bila semuanya tak ada lagi, seperti pada saat-saat
terakhir Yesus di salib, yang diserukannya, seperti dicatat Lukas, ialah
“ke dalam tanganMu, Abba – ya Bapa – kuserahkan nyawaku”. Atau seperti
dicatat Yohanes, terucap oleh Yesus, “Sudah terlaksana!” dan Yohanes
menjelaskan lebih lanjut “Ia menundukkan kepala dan menyerahkan
nyawanya”. Bahasa badaniah ini – menundukkan kepala – mengungkapkan
keikhlasan dalam penyerahan tadi.
Dalam Yoh 17:11 Yesus menyerahkan para
murid kepada Bapanya. Murid-murid itu karya terbesar Yesus karena dalam
diri merekalah nanti ia tetap bisa hadir bagi orang-orang yang
membutuhkannya. Juga oleh murid-murid itu nanti Allah yang dapat diseru
sebagai Bapa tadi akan diperkenalkan kepada banyak orang. Tetapi agar
semuanya ini tetap berlangsung butuh kekuatan dan perhatian dari atas
sana sendiri.
Injil Yohanes membongkar batas-batas
waktu dan tempat. Inilah salah satu dimensi khas Kabar Gembira yang
ditampilkannya. Yesus membongkar tembok Bait Allah dan membangunnya
kembali dalam tiga hari dalam ujud bait rohani, yakni dirinya yang hidup
di dalam batin pengikut-pengikutnya. Kawasan yang ditemboki tadi kini
menjadi ruang hidup yang tak mengenal batas. Kehidupannya dalam
kebangkitan tidak lagi ada selesainya. Inilah keleluasaan yang menjadi
warta khas Injil Yohanes bagi para pengikut Yesus, juga di masa kini.
Kita boleh merasa masih ikut didoakan Yesus sendiri seperti para
muridnya dulu sendiri. Menyadari hal ini dapat menumbuhkan rasa aman
tanpa menyangkal pelbagai kekurangan yang tampak dalam kehidupan
sehari-hari. Inilah iman yang hendak disampaikan oleh Injil Yohanes
khusus dalam petikan hari ini.
Yesus juga mendoakan agar para murid
bersatu. Bila dibaca dalam konteks zaman Yohanes sendiri, pokok ini amat
berarti. Dari dulu para murid tidak berasal dari kalangan yang seragam,
setingkat, atau seasal. Perbedaan satu sama lain cukup besar. Kisah para
rasul memperlihatkan segi itu juga. Tetapi justru keragaman itu
dipandang sebagai sumber kekuatan untuk bersatu. Ini paradoks kehidupan
komunitas. Justru karena dirasa ada perbedaan, semakin pula dirasa
kebutuhan bersatu. Tentu saja keberlainan belaka atau keseragaman belaka
juga tak ada artinya. Baru bila dipadukan muncullah kekuatannya.
Begitulah doa Yesus di sini memberi ruang agar tiap orang berkembang
seleluasa-leluasanya, tetapi juga agar menghasilkan yang baru.
Kesatuan yang didoakan Yesus tadi
didasarkan pada kesatuan antara dirinya dengan Bapanya. Cara bicara
seperti ini acap kali dianggap terlalu teologis, bahkan sarat muatan
mistiknya, dan sulit dimengerti. Tak ada yang lebih meleset dari
perkiraan itu. Yohanes mau memakai cara bicara yang biasa. Kesatuan
antara Yesus dan Bapanya itu jelas bukan kesatuan kesenyawaan, sehingga
yang satu jadi sama persis dan melebur dengan yang lain. Justru tidak
benar. Kesatuan yang ditonjolkan itu kesatuan yang timbul karena yang
satu patuh dan yang lain beperhatian. Jelas tidak sama, tetapi keduanya
membangun keselarasan. Kesatuan ini tumbuh karena ada saling tunjang
menunjang. Itulah kiranya yang dialami sebagai kekuatan di dalam
komunitas para pengikut Yesus yang pertama dan yang mereka ajarkan
kepada generasi selanjutnya.
Dalam ay. 12 Yesus mengutarakan bahwa ia
telah berusaha menjaga para murid agar mereka tidak “binasa”,
maksudnya kehilangan arah, tak tahu lagi ke mana harus berjalan dan
menjadi mangsa macam-macam kekuatan jahat. Pembaca akan teringat pada
ibarat gembala yang baik yang menyertai kawanannya juga dalam bahaya
manapun. Gagasan “binasa” didasarkan juga pada ibarat domba yang hilang
di jalanan. Di sini ada tambahan “kecuali yang ditentukan untuk binasa”.
Acuannya kiranya kepada tokoh seperti Yudas yang memang memisahkan diri
dari kawanan dan tidak dapat lagi hidup bersama dengan yang lain dan
dengan gembalanya sendiri. Sayang, terjemahan “ditentukan untuk binasa”
dalam versi LAI itu bunyinya agak keras dan dapat memberi kesan ada
suratan takdir ke sana. Bukan demikian maksudnya. Teks aslinya secara
harfiah mengatakan “kecuali anak kebinasaan”. Maksudnya, bukan dia yang
sudah digariskan untuk binasa nantinya, melainkan yang kini sudah
terlanjur ada dalam keadaan itu. Jadi yang dibicarakan bukan keadaan
yang akan datang melainkan orang yang sudah dalam keadaan tak tertolong
lagi. Sudah terlanjur ke sana, yang sudah memilih ke sana.
MENGENALINYA
Doa ini juga mengungkapkan keprihatinan
sang gembala karena ada yang terlanjur hilang dan binasa walaupun sudah
diusahakannya sebisa-bisanya agar tak seorang pun memasuki jalan
kebinasaan. Doa ini menjadi ungkapan pertanggungjawaban di hadapan
Bapanya. Juga tampil sebagai pengakuan bahwa ada yang tak berhasil
direnggutnya dari dunia gelap. Seolah-olah kini ia menyerahkan yang
gawat itu pada kerahiman Bapa sendiri. Bila dibaca dengan cara ini doa
itu dapat lebih memperkenalkan perasaan dan perhatian Yesus terhadap
mereka yang telah mau mengikutinya dan yang boleh jadi mengalami
kesulitan.
Murid-murid itu boleh merasa aman dalam
mengarungi kawasan yang penuh ancaman karena ada yang memintakan
perlindungan bagi mereka.. Mereka ini juga “dikuduskan”, artinya,
dipisahkan dari yang gelap secara sungguh-sungguh (“dalam kebenaran”).
Oleh karena itu, mereka akan juga dapat menjadi rujukan bagi orang lain.
Inilah yang diartikan dengan “aku mengutus mereka ke dunia”. Diminta
agar para murid tidak hanya berupaya menyelamatkan diri sendiri,
melainkan menyertakan juga orang-orang lain yang masih ada dalam kawasan
gelap dunia tadi.
Gagasan kosmik mengenai
kekuatan-kekuatan gelap dalam Injil Yohanes, yakni “dunia”, memiliki
kenyataan sosialnya juga. Dan Gereja sebagai komunitas pembaca Injil ini
juga diajak menjadi makin peka akan adanya kenyataan yang gelap dalam
kehidupan sehari-hari. Tapi bukan hanya itu. Kita juga diajak
menumbuhkan masyarakat yang makin memungkinkan orang menemukan kehidupan
yang layak, dan bukan “ditentukan binasa”. Apakah Gereja sebagai
kawanan orang percaya dapat mendalami doa Yesus ini untuk membaca
kehidupan? Kiranya begitu. Sebagai kumpulan komunitas para murid, Gereja
ada di dunia ini, hidup di tengah-tengah pelbagai tarikan kuasa gelap,
tetapi bukan dari dunia ini. Tidak menjadi bagian kekuatan-kekuatan itu.
Justru yang diharapkan ialah mengubah lingkungan seperti itu menjadi
wahana terang, tempat orang lain menemukan tempat bernaung.
Salam hangat,
A. Gianto
0 comments:
Post a Comment