diambil dari http://budhidharma.kemsos.go.id dipublikasi pada Kamis, 14 Pebruari 2013 oleh mugie
Menjadi
tua merupakan suatu fase kehidupan yang dialami oleh manusia. Makin
panjang usia seseorang, sejalan dengan pertambahan usia tubuh akan
mengalami kemunduran secara fisik maupun psikologis. Secara fisik orang
lanjut usia yang selanjutnya disebut lansia, mengalami kemunduran fungsi
alat tubuh, atau disebut juga dengan proses degeneratif.
Orang lansia akan terlihat dari kulit yang mulai keriput, berkurangnya fungsi telinga dan mata, tidak dapat bergerak cepat lagi, cepat merasa lelah, rambut menipis dan memutih, mudah terserang penyakit karena daya tahan tubuh berkurang. Secara psikologis orang lansia menjadi mudah lupa, serta berkurangnya kegiatan dan interaksi (baik dengan anak-anak, saudara atau teman), mengalami rasa kesepian, kebosanan dan sebagainya. Apalagi jika ia kehilangan pekerjaan, menderita post power syndrome, berkurangnya peranan dalam keluarga atau masyarakat, atau kondisi ekonominya buruk.
Orang lansia akan terlihat dari kulit yang mulai keriput, berkurangnya fungsi telinga dan mata, tidak dapat bergerak cepat lagi, cepat merasa lelah, rambut menipis dan memutih, mudah terserang penyakit karena daya tahan tubuh berkurang. Secara psikologis orang lansia menjadi mudah lupa, serta berkurangnya kegiatan dan interaksi (baik dengan anak-anak, saudara atau teman), mengalami rasa kesepian, kebosanan dan sebagainya. Apalagi jika ia kehilangan pekerjaan, menderita post power syndrome, berkurangnya peranan dalam keluarga atau masyarakat, atau kondisi ekonominya buruk.
Sekarang ini jumlah orang lansia di
Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data kependudukan, jumlah
penduduk lansia pada tahun 1971 berjumlah 5,31 juta orang, pada tahun
1996 meningkat menjadi 13,30 juta orang, dan pada tahun 2020
diperkirakan jumlah penduduk lansia sebanyak 28,82 juta orang (BPS
1997). Meningkatnya jumlah usia lanjut tidak terlepas dari faktor
keberhasilan dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
ditandai dengan meningkatnya usia harapan hidup. Pada tahun 1968 usia
harapan hidup rata-rata penduduk Indonesia adalah 45,7 tahun dan pada
tahun 1997 mengalami peningkatan menjadi 67,12 tahun (BPS 1997).
Adanya peningkatan jumlah orang lansia, menyebabkan perlunya perhatian pada orang lansia tersebut, agar orang lansia tidak hanya berumur panjang, tetapi dapat menikmati masa tuanya dengan bahagia, serta meningkatkan kualitas hidup diri mereka. Meskipun banyak orang lansia dalam kesehatan yang baik. Namun golongan ini tetap merupakan kelompok yang rentan terhadap penyakit karena terjadinya perubahan struktur dan fungsi tubuh akibat proses degeneratif.
Perubahan sosial di masyarakat misalnya adanya kecenderungan perubahan struktur keluarga dari keluarga luas (extended family) ke keluarga inti (nuclear family) ikut membawa perubahan terhadap orang lansia dimana sebelumnya orang lansia tinggal bersama dalam satu rumah dengan anggota keluarga lainnya, namun perubahan itu menyebabkan orang lansia tinggal terpisah dengan anak-anak mereka. Kondisi ekonomi orang lansia juga mengalami perubahan apabila dibandingkan ketika masih muda. Maka orang lansia hendaknya mampu beradaptasi dengan keadaan yang baru ini. Penduduk lansia secara individual merupakan penduduk yang potensial menjadi "bebanï" keluarga dan masyarakat terutama bagi mereka yang memasuki usia tuanya tidak dipersiapkan sejak dini.
Studi-studi yang memfokuskan kepada orang lansia (ageing)di Indonesia, telah mengungkapkan bahwa orang-orang lansia masih diberikan penghargaan yang layak, dianggap sebagai sumber kearifan, orang yang patut dihormati, tokoh yang merestui, melindungi dan menjadi panutan bagi keluarga yang lebih muda. orang lansia memiliki peranan dalam kehidupan sosialnya sebagaimana halnya sebagai salah satu anggota kerabat atau masyarakat secara lebih luas. Oleh karena itu, peranan mereka dalam masyarakat masih sangat diperhitungkan. Tulisan ini membahas tentang kedudukan dan peranan orang lansia dalam keluarga dan Masyarakat; aspek kesehatan orang lansia; dan pelayanan kesehatan orang lansia.
Pengertian: Orang Lansia
Adanya peningkatan jumlah orang lansia, menyebabkan perlunya perhatian pada orang lansia tersebut, agar orang lansia tidak hanya berumur panjang, tetapi dapat menikmati masa tuanya dengan bahagia, serta meningkatkan kualitas hidup diri mereka. Meskipun banyak orang lansia dalam kesehatan yang baik. Namun golongan ini tetap merupakan kelompok yang rentan terhadap penyakit karena terjadinya perubahan struktur dan fungsi tubuh akibat proses degeneratif.
Perubahan sosial di masyarakat misalnya adanya kecenderungan perubahan struktur keluarga dari keluarga luas (extended family) ke keluarga inti (nuclear family) ikut membawa perubahan terhadap orang lansia dimana sebelumnya orang lansia tinggal bersama dalam satu rumah dengan anggota keluarga lainnya, namun perubahan itu menyebabkan orang lansia tinggal terpisah dengan anak-anak mereka. Kondisi ekonomi orang lansia juga mengalami perubahan apabila dibandingkan ketika masih muda. Maka orang lansia hendaknya mampu beradaptasi dengan keadaan yang baru ini. Penduduk lansia secara individual merupakan penduduk yang potensial menjadi "bebanï" keluarga dan masyarakat terutama bagi mereka yang memasuki usia tuanya tidak dipersiapkan sejak dini.
Studi-studi yang memfokuskan kepada orang lansia (ageing)di Indonesia, telah mengungkapkan bahwa orang-orang lansia masih diberikan penghargaan yang layak, dianggap sebagai sumber kearifan, orang yang patut dihormati, tokoh yang merestui, melindungi dan menjadi panutan bagi keluarga yang lebih muda. orang lansia memiliki peranan dalam kehidupan sosialnya sebagaimana halnya sebagai salah satu anggota kerabat atau masyarakat secara lebih luas. Oleh karena itu, peranan mereka dalam masyarakat masih sangat diperhitungkan. Tulisan ini membahas tentang kedudukan dan peranan orang lansia dalam keluarga dan Masyarakat; aspek kesehatan orang lansia; dan pelayanan kesehatan orang lansia.
Pengertian: Orang Lansia
Orang yang berusia lanjut ada yang menyebut dengan istilah lansia
(lanjut usia, manula (manusia usia lanjut), dan usila (usia lanjut).
Tidak ada keseragaman dalam menetapkan standar usia lansia. Umumnya
seseorang dianggap memasuki kelompok lanjut usia di Indonesia terjadi
pada usia 55 tahun, saat seseorang memasuki masa pensiun. Sedangkan,
penduduk lansia dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 1998
tentang Kesejahteraan Lanjut Usia bahwa lanjut usia adalah laki-laki
atau perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih.
Lain halnya pada negara industri maju, seseorang dianggap memasuki usia tua pada 65 tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menilai usia 60 tahun adalah awal peralihan menuju ke arah segmen penduduk tua. Bahkan di Jepang para pekerja perempuan umumnya berusia di atas 60 tahun dan banyak orang Jepang yang memasuki kesuksesan pada usia 60 tahun. Itu sebabnya , tidaklah heran bila ada pameo di Jepang yang menyebutkan "life begin at 60" (Wirakusumah 2000:5)
Bernice Neugarden mengelompokkan orang lanjut usia berdasarkan perbedaan usia yaitu; (1) lanjut usia muda yaitu orang yang berumur antara 55-75 tahun; (2) lanjut usia tua yaitu orang yang berumur lebih dari 75 tahun. Levinson membagi lagi orang usia lanjut muda menjadi tiga kelompok yaitu; (1) orang lanjut usia peralihan awal (antara 50-55 tahun); (2) orang lanjut usia peralihan menengah (antara 55-60 tahun); dan (3) orang lanjut usia peralihan akhir (antara 60-65) (Oswari 1997;9).
Mengapa seseorang menjadi tua, sampai sekarang masih dipelajari oleh ahli medis. Ilmu yang mempelajari proses menua, permasalahan usia lanjut, dan upaya mengatasi usia lanjut yang ditinjau dari berbagai segi disebut gerontologi. Defenisi orang lansia tidak dapat dititik beratkan kepada umur seseorang saja. Namun diperhatikan pula faktor kesehatan, psikologis, dan sosial. Faktor kesehatan tubuh lansia, dapat tetap sehat dan bugar walaupun umurnya sudah 60 tahun. Begitu pula secara psikologis, kesehatan mental terjaga, tidak pikun pada usia tua dan tidak tergantung kepada orang lain terutama secara ekonomis. Beberapa diantaranya, dapat tetap berkreatifitas menciptakan sesuatu, seperti seniman Affandi yang masih mencipta pada usia 80 tahun.
Kedudukan dan Peranan Lansia dalam Keluarga dan Masyarakat
Kemunduran fisik yang menyebabkan orang menjadi tua, sesungguhnya merupakan suatu fenomena biologis, tetapi pengaturan tentang sistem, kedudukan (status), peranan dan fungsi sosial kelompok orang lansia dalam keluarga dan komunitas adalah konstruksi budaya. Seperti yang dikemukakan oleh P. Gulliver, pelembagaan umur membuat jelas bahwa faktor-faktor kebudayaanlah, dan bukan faktor-faktor biologis, yang terutama penting untuk menentukan status sosial (Haviland 1985 :131).
Kebudayaan dipahami sebagai sistem pengetahuan yang dimiliki masyarakat yang dijadikan sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Kebudayaan terdiri atas, sistem aturan-aturan, norma, nilai yang dimiliki oleh masyarakat. Semua masyarakat mengakui adanya sejumlah tingkatan hidup, dimana setiap manusia akan menjadi tua. Tetapi bagaimana pembatasannya akan berbeda-beda menurut kebudayaan. Masyarakat dan kebudayaannya akan menentukan pola kegiatan, sikap, larangan, dan kewajiban mereka. Kedudukan dan peranan orang lansia dalam keluarga dan masyarakat sangat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh keluarga dan masyarakat.
Keluarga sebagai pranata sosial terkecil dalam masyarakat terbentuk karena adanya perkawinan. Perkawinan sesungguhnya merupakan suatu transaksi dan kontrak yang sah dan resmi antara seorang perempuan dan laki-laki yang mengukuhkan hak mereka yang tetap untuk berhubungan seks satu sama lain, dan yang menegaskan bahwa si perempuan yang bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Haviland 1985: 77).
Kontrak yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan, menunjukkan bahwa ikatan tersebut disahkan menurut aturan adat, agama,dan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat. Apabila kedua pasangan tersebut tidak dapat lagi memenuhi hak dan kewajiban sesuai dengan aturan yang telah dimiliki (adat, agama dan aturan-aturan yang berlaku) maka berarti mereka telah melanggar kesepakatan atau kontrak yang telah disepakati, maka akan muncul perceraian.
Di dalam masyarakat telah memiliki aturan-aturan yang terkait tentang perkawinan dan perceraian. Perkawinan tidak hanya mengikat dua orang yang berlainan jenis, akan tetapi juga dua keluarga atau kerabat yang berbeda. Perkawinan yang terjadi dalam masyarakat tidak hanya monogami, namun dalam masyarakat dapat terjadi perkawinan poligami.
Perkawinan akan melegitimasi hubungan antara suami dan istri. Selanjutnya perkawinan akan mensahkan anak yang telah dilahirkan dan nantinya dapat diterima oleh masyarakat. Sehingga terbentuk keluarga, tidak hanya diharapkan berlangsung langgeng, tetapi juga diharapkan dapat berkembang sehingga memungkinkan terjadinya kesinambungan antar generasi.
Keluarga sebagai suatu kelompok yang terdiri dari seorang perempuan, anak-anak yang masih tergantung kepadanya, dan setidak-tidaknya seorang laki-laki dewasa yang diikat oleh perkawinan atau hubungan darah (Haviland 1985: 74). Di dalam keluarga terdapat anggota-anggota keluarga seperti suami, istri dan anak-anak yang belum mandiri atau yang biasa disebut dengan keluarga inti (nuclear family) (Haviland 1985: 83).
Pada berbagai kebudayaan keluarga bisa terdiri kumpulan beberapa keluarga inti, yang saling berhubungan karena sedarah, dan hidup bersama pada suatu rumah atau campound (Haviland 1985: 93). Misalnya keluarga luas patrilineal seperti sukubangsa Batak atau keluarga luas matrilineal seperti sukubangsa Minangkabau.
Masyarakat didefenisikan satu kesatuan hidup manusia yang saling berinteraksi, memiliki sistem aturan yang mengikat seluruh warga masyarakat dan adanya rasa identitas bersama. Anggota masyarakat suatu desa mungkin saja terdiri dari orang-orang yang sekerabat dan seketurunan , yang terikat dengan aturan-aturan sukubangsa dalam bentuk aturan adat-istiadat. Namun dalam masyarakat yang tumbuh semakin besar dan semakin kompleks, suatu masyarakat dapat terdiri dari lebih dari satu sukubangsa dan aturan yang mengatur warga masyarakat tidak lagi aturan sukubangsa akan tetapi aturan nasional.
Telah disebutkan di atas bahwa peran dan kedudukan lansia dalam keluarga dan masyarakat sangat dipengaruhi oleh pandangan kebudayaan mengenai orang lanjut usia. Perbedaan pandangan terhadap usia lanjut akan membuat sikap dan penghargaan terhadap orang lansia akan berbeda dalam keluarga dan masyarakat.
Menurut Swasono (1989) berbagai kehidupan kebudayaan menetapkan usia tua dan peranan serta fungsi sosialnya menuntut nilai-nilai, anggapan dan ukuran yang berbeda-beda, namun demikian secara universal terdapat pandangan bahwa seorang lansia dianggap sebagai sumber terkumpulnya kebijaksanaan dan kearifan. Dengan demikian penduduk lansia dianggap memiliki kelebihan, keahlian tertentu dan dengan pengalaman yang demikian luas sehingga mereka harus dihormati.
Pada masyarakat Mongolia menurut Onon "kehormatan dan kekayaan diberikan kepada orang-orang biasa, namun usia tua yang matang adalah anugerah sorga" (Foster & Anderson 1986). Berdasarkan hal ini, tidak ada seorangpun yang berusaha untuk menyembunyikan usianya yang tua. Semua orang dalam mengharapkan masa-masa dimana orang lansia menerima penghormatan dan penghargaan tersebut.
Studi Antropologis dalam banyak komunitas, seperti dalam masyarakat yang "tertutup" (closed corporate) seperti orang Indian, aktivitas-aktivitas ritual tahunan yang besar memberikan "tangga" atau jalan dimana laki-laki melalui pengabdian mereka yang terus-menerus kepada masyarakat, lambat-laun mencapai status "pimpinan" atau orang tua yang dihormati, seorang individu yang kaya akan jasa dan prestise ( Foster & Anderson 1986).
Deskripsi etnografi suku bangsa di Indonesia memberi gambaran tentang kedudukan orang tua dalam sistem kekerabatan dan masyarakatnya. Orang lansia merupakan kelompok sosial yang dihormati dan dihargai. Sikap dan perlakuan terhadap orang-orang tua dinyatakan secara simbolik dalam upacara perkawinan (Swasono, 1989).
Pada suku bangsa Nias, masa tua dalam keluarga dianggap saatnya menjadi penasehat, dihormati oleh segenap anggota keluarga dan komunitas dan menjadi seorang yang dalam legenda suku bangsa Nias disebut Todo Hia. Nasehatnya selalu dipatuhi karena dianggap sebagai orang yang patut dipercayai dan bijaksana. Seseorang yang telah berumur tua memiliki banyak pengalaman dan menjadi sumber cerita, legenda dan mitos (Laiya 1983:54).
Masa tua diistilahkan di Nias bawa lewato yang berarti pintu gerbang kuburan. Menurut mereka, kematian telah dekat bagi mereka. Karena itu anak-anak dan keturunannya selalu memelihara mereka dengan baik dan hati-hati. Anak-anak akan menyuguhkan makanan yang baik dan pakaian yang baik dan pantas dan mematuhi perintah mereka serta melayani mereka dengan hormat (Laiya 1983: 55).
Pada suku bangsa Jawa orang-orang tua dipandang berhak atas penghormatan yang tinggi dan banyak yang hidup menghabiskan umurnya semata-mata dengan menerima penghormatan, karena kelebihan pengetahuan mereka akan masalah kebatinan dan masalah praktis. Tetapi bagi mereka yang jompo dan pikun penghormatan bisa menjadi berkurang (Geertz 1985:149). Hubungan penghormatan dapat dilihat dalam penggunaan bahasa yang tinggi (krami) ketika berbicara kepada orang tua, dan dalam keluarga priyayi tradisional orang malahan menyembah dahulu sebelum berbicara(Koentjaraningrat 1994 :273). Kehidupan orang tua pada umumnya tenang. Mereka sangat berguna untuk mengasuh anak-anak di dalam keluarga, dan biasanya terdapat hubungan yang hangat dan tidak canggung antara mereka yang lebih tua dan yang lebih muda di rumah.
Pada suku bangsa Minangkabau, orang tua dalam keluarga luas matrilineal dipandang sebagai orang yang patut dihormati. Orang tua laki-laki memperoleh gelar kehormatan dan menjadi pemimpin bagi keluarga luasnya atau kampungnya. Laki-laki tua (mamak) memberikan nasehat untuk semua masalah terutama masalah adat (Navis 1984). Sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan kok pai tampek batanyo, kok pulang tampek babarito (jika pergi tempat bertanya, jika pulang tempat mengadu.
Kedudukan dan Peranan orang lansia dalam keluarga dan masyarakat dianggap sebagai orang yang harus dihormati dan dihargai apalagi dianggap memiliki prestise yang tinggi dalam masyarakat menjadikan lansia secara psikologis lebih sehat secara mental. Perasaan diterima oleh orang lain akan mempengaruhi tanggapan mereka dalam memasuki hari tua, dan berpengaruh pula kepada derajat kesehatan lansia. Berbeda halnya jika lansia dianggap peranan yang tidak diinginkan dalam masyarakat.
Di Korea misalnya, orang percaya bahwa manusia diberi Tuhan jangka hidup selama 60 tahun. Orang yang hidup lebih lama berarti mengambil umur orang lain. Di Amerika Serikat usia tua adalah peranan yang tidak banyak diinginkan, dan kemungkinan kehormatan dan penghargaan lebih sering diimbangi oleh kurangnya perhatian kepentingan dan perhatian dari keluarga dan masyarakat. Laki-laki dan perempuan tua seringkali hidup dan meninggal "dalam keputusasaan", merasa kekosongan semata-mata, mereka bukan apa-apa dan matipun bukan apa-apa (Foster & Anderson 1986).
Pada masyarakat tradisional yang umumnya terdiri dari keluarga luas, memasuki usia lanjut tidak perlu dirisaukan. Mereka memiliki jaminan sosial yang paling baik yaitu anak dan saudara-saudara lainnya. Anak masih merasa berkewajiban dan mempunyai loyalitas menyantuni orang tua mereka yang sudah tidak dapat megurus dirinya sendiri. Nilai yang masih berlaku dalam masyarakat bahwa anak wajib memberikan kasih sayang kepada orangtuanya sebagaimana pernah mereka dapatkan sewaktu mereka masih kecil.
Pada masyarakat modern, keberadaan orang tua dalam keluarga anak dapat menganggu kehidupan ekonomi keluarga anak, kasih sayang yang terbagi, dan mungkin masalah kepengurusan rumah tangga karena turut campurnya orang tua dalam urusan keluarga anak. Kecenderungan masyarakat modern saat ini membentuk keluarga inti membawa masalah terhadap jaminan ekonomi dan kesehatan lansia.
Penelitian Edi Indrizal (2005) mengenai orang lansia di Minangkabau, menunjukkan bahwa dalam tatanan ideal masyarakat matrilineal Minangkabau, hubungan struktur keluarga, ikatan solidaritas sosial, dan tradisi merantau kesemuanya fungsional sebagai jaminan sosial bagi orang lansia sehingga orang lansia tidak boleh hidup tersia-sia di hari tuanya, maka hal itu dapat menjadi aib malu anak-kemenakan, keluarga, kerabat atau bahkan orang sekampung. Namun dalam kondisi yang berubah dalam masyarakat Minangkabau kotemporer, diantaranya perubahan struktur keluarga luas ke keluarga inti, pola menetap neolokal, membawa konsekuensi perubahan fungsi struktur keluarga dan hubungan sosial dalam masyarakat Minangkabau.
Perubahan-perubahan fungsi struktur keluarga membawa implikasi terhadap kehidupan orang lansia. Orang lansia tanpa anak memperoleh masalah tersendiri di dalam masyarakat Minangkabau, tampaknya lebih dominan masalah sosial dibandingkan masalah menurunnya kondisi fisik akibat usia yang bertambah tua.
Kelompok usia lanjut dikelompokkan ke dalam sub kelompok usia lanjut yang dapat membiayai hidupnya sendiri dan sub kelompok usia lanjut yang tidak dapat membiayai hidupnya sendiri (Adi 1999:195). Kelompok usia lanjut yang dapat memenuhi kebutuhan sendiri secara ekonomis, sandang, pangan, tempat tinggal dan kesehatan, maka lansia ini tidak akan tergantung kepada orang lain, bahkan dapat membantu orang lain. Sedangkan sub kelompok usia lanjut yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Dalam keadaan ini orang lansia sangat tergantung kepada keluarga, kerabat, dan masyarakat.
Aspek Kesehatan orang Lansia
Lain halnya pada negara industri maju, seseorang dianggap memasuki usia tua pada 65 tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menilai usia 60 tahun adalah awal peralihan menuju ke arah segmen penduduk tua. Bahkan di Jepang para pekerja perempuan umumnya berusia di atas 60 tahun dan banyak orang Jepang yang memasuki kesuksesan pada usia 60 tahun. Itu sebabnya , tidaklah heran bila ada pameo di Jepang yang menyebutkan "life begin at 60" (Wirakusumah 2000:5)
Bernice Neugarden mengelompokkan orang lanjut usia berdasarkan perbedaan usia yaitu; (1) lanjut usia muda yaitu orang yang berumur antara 55-75 tahun; (2) lanjut usia tua yaitu orang yang berumur lebih dari 75 tahun. Levinson membagi lagi orang usia lanjut muda menjadi tiga kelompok yaitu; (1) orang lanjut usia peralihan awal (antara 50-55 tahun); (2) orang lanjut usia peralihan menengah (antara 55-60 tahun); dan (3) orang lanjut usia peralihan akhir (antara 60-65) (Oswari 1997;9).
Mengapa seseorang menjadi tua, sampai sekarang masih dipelajari oleh ahli medis. Ilmu yang mempelajari proses menua, permasalahan usia lanjut, dan upaya mengatasi usia lanjut yang ditinjau dari berbagai segi disebut gerontologi. Defenisi orang lansia tidak dapat dititik beratkan kepada umur seseorang saja. Namun diperhatikan pula faktor kesehatan, psikologis, dan sosial. Faktor kesehatan tubuh lansia, dapat tetap sehat dan bugar walaupun umurnya sudah 60 tahun. Begitu pula secara psikologis, kesehatan mental terjaga, tidak pikun pada usia tua dan tidak tergantung kepada orang lain terutama secara ekonomis. Beberapa diantaranya, dapat tetap berkreatifitas menciptakan sesuatu, seperti seniman Affandi yang masih mencipta pada usia 80 tahun.
Kedudukan dan Peranan Lansia dalam Keluarga dan Masyarakat
Kemunduran fisik yang menyebabkan orang menjadi tua, sesungguhnya merupakan suatu fenomena biologis, tetapi pengaturan tentang sistem, kedudukan (status), peranan dan fungsi sosial kelompok orang lansia dalam keluarga dan komunitas adalah konstruksi budaya. Seperti yang dikemukakan oleh P. Gulliver, pelembagaan umur membuat jelas bahwa faktor-faktor kebudayaanlah, dan bukan faktor-faktor biologis, yang terutama penting untuk menentukan status sosial (Haviland 1985 :131).
Kebudayaan dipahami sebagai sistem pengetahuan yang dimiliki masyarakat yang dijadikan sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Kebudayaan terdiri atas, sistem aturan-aturan, norma, nilai yang dimiliki oleh masyarakat. Semua masyarakat mengakui adanya sejumlah tingkatan hidup, dimana setiap manusia akan menjadi tua. Tetapi bagaimana pembatasannya akan berbeda-beda menurut kebudayaan. Masyarakat dan kebudayaannya akan menentukan pola kegiatan, sikap, larangan, dan kewajiban mereka. Kedudukan dan peranan orang lansia dalam keluarga dan masyarakat sangat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh keluarga dan masyarakat.
Keluarga sebagai pranata sosial terkecil dalam masyarakat terbentuk karena adanya perkawinan. Perkawinan sesungguhnya merupakan suatu transaksi dan kontrak yang sah dan resmi antara seorang perempuan dan laki-laki yang mengukuhkan hak mereka yang tetap untuk berhubungan seks satu sama lain, dan yang menegaskan bahwa si perempuan yang bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Haviland 1985: 77).
Kontrak yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan, menunjukkan bahwa ikatan tersebut disahkan menurut aturan adat, agama,dan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat. Apabila kedua pasangan tersebut tidak dapat lagi memenuhi hak dan kewajiban sesuai dengan aturan yang telah dimiliki (adat, agama dan aturan-aturan yang berlaku) maka berarti mereka telah melanggar kesepakatan atau kontrak yang telah disepakati, maka akan muncul perceraian.
Di dalam masyarakat telah memiliki aturan-aturan yang terkait tentang perkawinan dan perceraian. Perkawinan tidak hanya mengikat dua orang yang berlainan jenis, akan tetapi juga dua keluarga atau kerabat yang berbeda. Perkawinan yang terjadi dalam masyarakat tidak hanya monogami, namun dalam masyarakat dapat terjadi perkawinan poligami.
Perkawinan akan melegitimasi hubungan antara suami dan istri. Selanjutnya perkawinan akan mensahkan anak yang telah dilahirkan dan nantinya dapat diterima oleh masyarakat. Sehingga terbentuk keluarga, tidak hanya diharapkan berlangsung langgeng, tetapi juga diharapkan dapat berkembang sehingga memungkinkan terjadinya kesinambungan antar generasi.
Keluarga sebagai suatu kelompok yang terdiri dari seorang perempuan, anak-anak yang masih tergantung kepadanya, dan setidak-tidaknya seorang laki-laki dewasa yang diikat oleh perkawinan atau hubungan darah (Haviland 1985: 74). Di dalam keluarga terdapat anggota-anggota keluarga seperti suami, istri dan anak-anak yang belum mandiri atau yang biasa disebut dengan keluarga inti (nuclear family) (Haviland 1985: 83).
Pada berbagai kebudayaan keluarga bisa terdiri kumpulan beberapa keluarga inti, yang saling berhubungan karena sedarah, dan hidup bersama pada suatu rumah atau campound (Haviland 1985: 93). Misalnya keluarga luas patrilineal seperti sukubangsa Batak atau keluarga luas matrilineal seperti sukubangsa Minangkabau.
Masyarakat didefenisikan satu kesatuan hidup manusia yang saling berinteraksi, memiliki sistem aturan yang mengikat seluruh warga masyarakat dan adanya rasa identitas bersama. Anggota masyarakat suatu desa mungkin saja terdiri dari orang-orang yang sekerabat dan seketurunan , yang terikat dengan aturan-aturan sukubangsa dalam bentuk aturan adat-istiadat. Namun dalam masyarakat yang tumbuh semakin besar dan semakin kompleks, suatu masyarakat dapat terdiri dari lebih dari satu sukubangsa dan aturan yang mengatur warga masyarakat tidak lagi aturan sukubangsa akan tetapi aturan nasional.
Telah disebutkan di atas bahwa peran dan kedudukan lansia dalam keluarga dan masyarakat sangat dipengaruhi oleh pandangan kebudayaan mengenai orang lanjut usia. Perbedaan pandangan terhadap usia lanjut akan membuat sikap dan penghargaan terhadap orang lansia akan berbeda dalam keluarga dan masyarakat.
Menurut Swasono (1989) berbagai kehidupan kebudayaan menetapkan usia tua dan peranan serta fungsi sosialnya menuntut nilai-nilai, anggapan dan ukuran yang berbeda-beda, namun demikian secara universal terdapat pandangan bahwa seorang lansia dianggap sebagai sumber terkumpulnya kebijaksanaan dan kearifan. Dengan demikian penduduk lansia dianggap memiliki kelebihan, keahlian tertentu dan dengan pengalaman yang demikian luas sehingga mereka harus dihormati.
Pada masyarakat Mongolia menurut Onon "kehormatan dan kekayaan diberikan kepada orang-orang biasa, namun usia tua yang matang adalah anugerah sorga" (Foster & Anderson 1986). Berdasarkan hal ini, tidak ada seorangpun yang berusaha untuk menyembunyikan usianya yang tua. Semua orang dalam mengharapkan masa-masa dimana orang lansia menerima penghormatan dan penghargaan tersebut.
Studi Antropologis dalam banyak komunitas, seperti dalam masyarakat yang "tertutup" (closed corporate) seperti orang Indian, aktivitas-aktivitas ritual tahunan yang besar memberikan "tangga" atau jalan dimana laki-laki melalui pengabdian mereka yang terus-menerus kepada masyarakat, lambat-laun mencapai status "pimpinan" atau orang tua yang dihormati, seorang individu yang kaya akan jasa dan prestise ( Foster & Anderson 1986).
Deskripsi etnografi suku bangsa di Indonesia memberi gambaran tentang kedudukan orang tua dalam sistem kekerabatan dan masyarakatnya. Orang lansia merupakan kelompok sosial yang dihormati dan dihargai. Sikap dan perlakuan terhadap orang-orang tua dinyatakan secara simbolik dalam upacara perkawinan (Swasono, 1989).
Pada suku bangsa Nias, masa tua dalam keluarga dianggap saatnya menjadi penasehat, dihormati oleh segenap anggota keluarga dan komunitas dan menjadi seorang yang dalam legenda suku bangsa Nias disebut Todo Hia. Nasehatnya selalu dipatuhi karena dianggap sebagai orang yang patut dipercayai dan bijaksana. Seseorang yang telah berumur tua memiliki banyak pengalaman dan menjadi sumber cerita, legenda dan mitos (Laiya 1983:54).
Masa tua diistilahkan di Nias bawa lewato yang berarti pintu gerbang kuburan. Menurut mereka, kematian telah dekat bagi mereka. Karena itu anak-anak dan keturunannya selalu memelihara mereka dengan baik dan hati-hati. Anak-anak akan menyuguhkan makanan yang baik dan pakaian yang baik dan pantas dan mematuhi perintah mereka serta melayani mereka dengan hormat (Laiya 1983: 55).
Pada suku bangsa Jawa orang-orang tua dipandang berhak atas penghormatan yang tinggi dan banyak yang hidup menghabiskan umurnya semata-mata dengan menerima penghormatan, karena kelebihan pengetahuan mereka akan masalah kebatinan dan masalah praktis. Tetapi bagi mereka yang jompo dan pikun penghormatan bisa menjadi berkurang (Geertz 1985:149). Hubungan penghormatan dapat dilihat dalam penggunaan bahasa yang tinggi (krami) ketika berbicara kepada orang tua, dan dalam keluarga priyayi tradisional orang malahan menyembah dahulu sebelum berbicara(Koentjaraningrat 1994 :273). Kehidupan orang tua pada umumnya tenang. Mereka sangat berguna untuk mengasuh anak-anak di dalam keluarga, dan biasanya terdapat hubungan yang hangat dan tidak canggung antara mereka yang lebih tua dan yang lebih muda di rumah.
Pada suku bangsa Minangkabau, orang tua dalam keluarga luas matrilineal dipandang sebagai orang yang patut dihormati. Orang tua laki-laki memperoleh gelar kehormatan dan menjadi pemimpin bagi keluarga luasnya atau kampungnya. Laki-laki tua (mamak) memberikan nasehat untuk semua masalah terutama masalah adat (Navis 1984). Sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan kok pai tampek batanyo, kok pulang tampek babarito (jika pergi tempat bertanya, jika pulang tempat mengadu.
Kedudukan dan Peranan orang lansia dalam keluarga dan masyarakat dianggap sebagai orang yang harus dihormati dan dihargai apalagi dianggap memiliki prestise yang tinggi dalam masyarakat menjadikan lansia secara psikologis lebih sehat secara mental. Perasaan diterima oleh orang lain akan mempengaruhi tanggapan mereka dalam memasuki hari tua, dan berpengaruh pula kepada derajat kesehatan lansia. Berbeda halnya jika lansia dianggap peranan yang tidak diinginkan dalam masyarakat.
Di Korea misalnya, orang percaya bahwa manusia diberi Tuhan jangka hidup selama 60 tahun. Orang yang hidup lebih lama berarti mengambil umur orang lain. Di Amerika Serikat usia tua adalah peranan yang tidak banyak diinginkan, dan kemungkinan kehormatan dan penghargaan lebih sering diimbangi oleh kurangnya perhatian kepentingan dan perhatian dari keluarga dan masyarakat. Laki-laki dan perempuan tua seringkali hidup dan meninggal "dalam keputusasaan", merasa kekosongan semata-mata, mereka bukan apa-apa dan matipun bukan apa-apa (Foster & Anderson 1986).
Pada masyarakat tradisional yang umumnya terdiri dari keluarga luas, memasuki usia lanjut tidak perlu dirisaukan. Mereka memiliki jaminan sosial yang paling baik yaitu anak dan saudara-saudara lainnya. Anak masih merasa berkewajiban dan mempunyai loyalitas menyantuni orang tua mereka yang sudah tidak dapat megurus dirinya sendiri. Nilai yang masih berlaku dalam masyarakat bahwa anak wajib memberikan kasih sayang kepada orangtuanya sebagaimana pernah mereka dapatkan sewaktu mereka masih kecil.
Pada masyarakat modern, keberadaan orang tua dalam keluarga anak dapat menganggu kehidupan ekonomi keluarga anak, kasih sayang yang terbagi, dan mungkin masalah kepengurusan rumah tangga karena turut campurnya orang tua dalam urusan keluarga anak. Kecenderungan masyarakat modern saat ini membentuk keluarga inti membawa masalah terhadap jaminan ekonomi dan kesehatan lansia.
Penelitian Edi Indrizal (2005) mengenai orang lansia di Minangkabau, menunjukkan bahwa dalam tatanan ideal masyarakat matrilineal Minangkabau, hubungan struktur keluarga, ikatan solidaritas sosial, dan tradisi merantau kesemuanya fungsional sebagai jaminan sosial bagi orang lansia sehingga orang lansia tidak boleh hidup tersia-sia di hari tuanya, maka hal itu dapat menjadi aib malu anak-kemenakan, keluarga, kerabat atau bahkan orang sekampung. Namun dalam kondisi yang berubah dalam masyarakat Minangkabau kotemporer, diantaranya perubahan struktur keluarga luas ke keluarga inti, pola menetap neolokal, membawa konsekuensi perubahan fungsi struktur keluarga dan hubungan sosial dalam masyarakat Minangkabau.
Perubahan-perubahan fungsi struktur keluarga membawa implikasi terhadap kehidupan orang lansia. Orang lansia tanpa anak memperoleh masalah tersendiri di dalam masyarakat Minangkabau, tampaknya lebih dominan masalah sosial dibandingkan masalah menurunnya kondisi fisik akibat usia yang bertambah tua.
Kelompok usia lanjut dikelompokkan ke dalam sub kelompok usia lanjut yang dapat membiayai hidupnya sendiri dan sub kelompok usia lanjut yang tidak dapat membiayai hidupnya sendiri (Adi 1999:195). Kelompok usia lanjut yang dapat memenuhi kebutuhan sendiri secara ekonomis, sandang, pangan, tempat tinggal dan kesehatan, maka lansia ini tidak akan tergantung kepada orang lain, bahkan dapat membantu orang lain. Sedangkan sub kelompok usia lanjut yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Dalam keadaan ini orang lansia sangat tergantung kepada keluarga, kerabat, dan masyarakat.
Aspek Kesehatan orang Lansia
Proses menjadi tua merupakan suatu keadaan yang akan dilalui oleh seluruh manusia,yang berhubungan dengan berlalunya waktu dan akhirnya akan menuju kematian. Proses degeneratif atau kemunduran fungsi alat-alat tubuh terjadi tidak pada satu alat saja, tetapi terjadi pada seluruh tubuh. Daya tahan tubuh semakin berkurang sehingga pada lanjut usia lebih besar kemungkinan jatuh sakit. Pendengaran dan penglihatan semakin berkurang. Kekuatan otot dan tulang mengalami kemunduran, sehingga mudah lelah, dan tulang mudah patah karena mulai keropos dan lain sebagainya.
Penyakit degeneratif menjadi penyebab kematian yang utama pada masa mendatang. Penyakit-penyakit degeneratif seperti penyakit tekanan darah tinggi (hipertensi), stroke, kanker, dan penyakit jantung koroner. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986, penyakit jantung dan pembuluh darah sebagai sebab kematian, bergeser dari peringkat ke 3 pada SKRT 1980 menjadi peringkat ke-2 dan pada SKRT 1997 angka kematian tertinggi disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler (81 %).
Penyakit-penyakit degeneratif yang dihadapi oleh lansia, tidaklah semerta membuat lansia harus cemas dalam menghadapi hari tua. Para ahli gerontologi dan geriatri berpendapat bahwa faktor gizi mempunyai peranan penting antara 30-50% dalam mencapai dan mempertahankan keadaan kesehatan optimal bagi kelompok lansia. Diabetes Mellitus sangat umum dikalangan kelompok lansia. Penyakit ini antara lain sering terjadi karena kegagalan tubuh untuk mengendalikan jumlah gula dalam darah karena sekresi yang kurang cukup dari hormon insulin oleh pankreas.
Dalam kaitannya dengan makanan, penderita harus membatasi makanan yang mengandung gula, tepung-tepungan dan karbohidrat. Pemeriksaan berkala terhadap status gizi dan status kesehatan diperlukan bagi intervensi sedini mungkin. Di antara berbagai penyebab jantung koroner, yang berkaitan dengan faktor makanan adalah kelebihan konsumsi kolesterol, yang menyebabkan atherosklerosis. Resiko terhadapnya dapat dikurangi melalui perubahan pada kebiasaan makan (Rumawas 1993:30-31)
Mengobati penyakit memang sulit, namun yang lebih penting adalah mencegah daripada mengobati. Pada dasarnya penyakit yang menyertai usia (age associated diseases) pada orang usia lanjut dapat dihindari, dicegah atau disembuhkan, tergantung tingkat pengetahuan kita (Rumawas, 1993: 28). Makanan merupakan salah satu faktor penyebab penyakit hipertensi, stroke, jantung koroner dan penyakit ini dapat dicegah dengan menghindari makanan yang menjadi penyebab penyakit tersebut. Gaya hidup sehat hendaklah dikembangkan dalam masyarakat, seperti suka berolahraga, tidak merokok dan menghindari minuman beralkohol.
Pengetahuan masyarakat mengenai makanan yang baik untuk kondisi tubuh dan usia sangat diperlukan agar penduduk lansia yang akan bertambah pada masa akan datang dapat tetap hidup sehat dan berkualitas. Upaya-upaya dapat dilakukan melalui penyuluhan-penyuluhan yang diberikan oleh kaum profesional di bidang kesehatan masyarakat. Berdasarkan penelitian Sulistiawati 1990 dan Fitriani 2005 ditemukan bahwa masih sulit mengubah kebiasaan makan yang lama, sekalipun dikalangan penderita jantung koroner dan penderita hipertensi yang dalam proses rehabilitasi. Oleh karena itu diperlukan kerja keras dari semua pihak; masyarakat dan pemerintah khususnya Dinas Kesehatan dalam upaya perubahan pandangan, pengetahuan, budaya mengenai kesehatan lansia.
Pelayanan Kesehatan Lansia
Di Indonesia, dalam usaha mewujudkan kesejahteraan sosial bagi para
orang usia lanjut. Pemerintah menetapkan kebijakan untuk membantu dan
menyantuni para orang lansia baik dalam panti maupun di luar panti.
Pemberian bantuan dan penyantunan kepada orang lansia di dalam panti
ditujukan pada orang lansia yang kondisi fisik maupun ekonomi mereka
lemah. Program pemerintah, misalnya posyandu lansia yang memberikan
pelayanan kesehatan seperti pengecekan kesehatan, penyuluhan menu sehat,
olahraga lansia di dalam masyarakat sampai ke tingkat kelurahan,
menunjukkan perhatian pemerintah terhadap orang lansia. Namun belum
semua elemen masyarakat yang dapat dicapai program tersebut.
Rumah sakit diharapkan memiliki klinik yang khusus untuk lansia atau klinik geriatri, karena kondisi kesehatan lansia berbeda dibandingkan dengan orang dewasa. Dengan demikian, Orang lansia dapat memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan fisiknya.
Rumah sakit diharapkan memiliki klinik yang khusus untuk lansia atau klinik geriatri, karena kondisi kesehatan lansia berbeda dibandingkan dengan orang dewasa. Dengan demikian, Orang lansia dapat memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan fisiknya.
Masyarakat yang telah berubah membentuk keluarga sendiri, dengan intensitas kesibukan masing-masing, mengakibatkan orang lansia merasa asing di rumah, sehingga beberapa orang lansia merasa senang tinggal di panti jompo karena disana mereka mendapatkan teman. Berdasarkan penelitian Adi (1999)di panti werdha di Jakarta menunjukkan bahwa 90% orang lansia penghuni panti merasa bahagia tinggal di panti tersebut.
Dalam hal ini, pemberian pelayanan kesehatan orang lansia dapat dilaksanakan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Menurut Martin (Adi 1999:205) kebanyakan orang Asia maupun orang Barat lebih memilih untuk tidak menempatkan orang tuanya di panti. Pandangan budaya yang menghendaki orang tua adalah tanggung jawab anak, mendorong kembali kepada struktur keluarga luas, dalam konteks ini dapat disebut keluarga luas yang dipersempit, yang terdiri dari suami, istri, anak-anak yang belum mandiri dan orang tua.
Hasil studi Tachman (Adi 1999:205) terhadap perawatan orang lansia menunjukkan bahwa tempat yang baik bagi orang lansia adalah tempat tinggalnya sendiri dengan anggota keluarga lainnya. Perawatan yang dilakukan oleh anak sendiri di duga lebih memberikan rasa nyaman dan aman, karena mereka lebih toleran terhadapnya dibandingkan kerabat atau orang lain. Ini menunjukkan bahwa sistem nilai budaya yang menjunjung tinggi pengabdian terhadap orang tua, masih ada di masyarakat Indonesia.
Hasil studi Demartoto (2007) terhadap orang lansia di desa Kwangen, Jawa Tengah, pelayanan kesehatan lansia di keluarga dianggap sesuai bagi orang lansia khususnya di daerah pedesaan. Hal ini disebabkan karena: (1) sifat kekeluargaan dan gotong royong yang dimiliki masyarakat sekitar tempat tinggal orang lansia; (2) Nilai-nilai agama yang berkembang dalam masyarakat desa; (3) Bisa mengantisipasi keengganan orang tua dan anak untuk menyerahkan pelayanan pengganti dalam bantuk panti.
Penutup
Memasuki usia lanjut, orang akan mengalami kemunduran-kemunduran terutama secara fisik dan psikologis. Namun, tidak berarti perubahan kondisi fisik dan psikologis tersebut menjadikan lansia merasa dirinya tidak berguna, atau masyarakat yang beranggapan bahwa orang lansia tidak berguna. Pada banyak kebudayaan dan masyarakat orang lansia memiliki peran dan kedudukan sebagai orang yang dihormati, dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih sehingga menjadi tempat bertanya dan mendapatkan nasehat bagi golongan muda.
Perubahan sistem dan struktur dalam masyarakat, membawa implikasi terhadap peran dan kedudukan lansia dalam keluarga dan masyarakat. Misalnya perubahan dari bentuk keluarga luas pada masyarakat tradisional ke keluarga inti (nuclear family) berimplikasi bahwa orang lansia akan mengalami hidup sendiri. Kondisi hidup sendiri jauh dari perhatian keluarga akan membawa masalah terhadap orang lansia, terutama orang lansia yang tidak memiliki ekonomi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang lansia yang hidup miskin, akan menganggu kondisi kesehatannya yang telah mengalami kemunduran fisik, sehingga memunculkan berbagai penyakit.
Peningkatan jumlah orang lansia di Indonesia, diharapkan perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap orang lansia. Agar kualitas hidup orang lansia tetap meningkat, diperlukan usaha-usaha perbaikan dibidang; kesehatan, ekonomi dan sosial. Nilai budaya memelihara orang tua yang berusia lanjut sebagai suatu kewajiban bagi anak-anak, hendaklah sistem ini dipertahankan dan dikembangkan. Peningkatan derajat kesehatan lansia, perlu diperhatikan oleh individu sejak berusia muda, karena makanan, gaya hidup sewaktu muda akan mempengaruhi kesehatan ketika telah berusia lanjut.
Daftar Pustaka
Adi, Rianto.1999. Kelompok Usia Lanjut dalam T.O. Ihromi. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
BPS. 1997. Laporan Sosial Indonesia. Jakarta:BPS.
Demartoto, Argyo. 2007 Pelayanan Sosial Non Panti Bagi Lansia (Suatu Kajian Sosiologis. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press.
Fitriani, Erda. 2005. Pola Kebiasaan makan Penderita Hipertensi lanjut Usia pada Orang Minangkabau di Jakarta. Tesis tidak diterbitkan. Depok: Universitas Indonesia.
Foster, George M dan Barbara Gallatin Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan. Terjemahan, Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono. Jakarta. Universitas Indonesia Press.
Geertz, Hilded. 1985. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti pers.
Goode, William J. 2002. Sosiologi Keluarga. Terjemahan. Jakarta: Bumi Aksara.
Haviland, William.A. 1985. Antropologi Jilid 2. Terjemahan R.G. Soekadijo. Jakarta: Erlangga
Indrizal, Edi. 2005. Problema Orang Lansia Tanpa Anak di Dalam Masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat. Jurnal Antropologi Indfonesia. Vol. 29, No 1 Januari 2005. Hal 69-92.
Keesing, Roger.M. 1992. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Terjemahan Samuel Gunawan.Jakarta: Erlangga.
Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Laiya, Bambowo.1983. Solidaritas Kekeluargaan dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias-Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers.
Oswari, E. 1997. Menyongsong Usia Lanjut dengan Bugar dan Sehat. Jakarta: Sinar Harapan.
Rumawas, Johanna Savitri Paramita. 1993. Peranan Gizi pada Peningkatan Kualitas Hidup Warga Lanjut Usia di Indonesia. Buletin Gerontologi dan Geriatri No. 27-28/1993.
Sulistiawati, Dian. 1986. Pola Kebiasaan Makan Penderita Penyakit Jantung Koroner Pasien Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Skripsi tidak diterbitkan. Depok: Universitas Indonesia.
Swasono, Meutia Farida Hatta. 1989. Proses Menua di Barat dan Timur: Suatu Tinjauan Antropologis. Makalah diajukan pada Seminar Sehari Tentang Usia Lanjut oleh Pusat Pengembangan Psikiatri dan Kesehatan Jiwa. Jakarta 14 Januari 1989.
Sumber Artikel dari : http://bbppksjogja.kemsos.go.id
0 comments:
Post a Comment