dari https://othervisions.wordpress.com 13 Oktober 2012 oleh ary amhir
Orang
mungkin bermimpi menjadi kaya, hidup makmur, berwajah rupawan, sukses
dalam pekerjaan dan pergaulan. Tapi saya hanya punya satu impian. Ketika
menua, saya ingin menjalaninya dengan bahagia, lalu kalau bisa, mati
masuk surga. Mengapa?
Menjadi tua di jaman sekarang ternyata tidak mudah. Apalagi jika tak memiliki cukup tabungan atau keluarga yang peduli. Para lansia terpaksa menghabiskan hidupnya dengan menanggung kesepian di panti jompo, atau malah terlunta-lunta di penampungan para gelandangan. Ini yang tak saya inginkan. Andai euthanasia diperbolehkan di Indonesia, saya pilih euthanasia saja ketimbang menjadi uzur tapi menderita.
Saya teringat pengalaman saat melakukan perjalanan ke Siem Reap September awal. Di sebuah jembatan yang menghubungkan Central Market dengan Old Market,
duduk perempuan tua etnis China dengan setumpuk tas dan barang bawaan.
Dia duduk di sana sejak pagi hingga petang, sampai seorang petugas
keamanan datang dan membawanya ke sebuah hostel seharga 3 dolar semalam.
Perempuan itu, sebut saja Su Hing,
terpaksa hidup menggelandang ala turis di negara dunia ketiga mirip
Kamboja, Thailand, atau Laos, karena tak mampu hidup di negaranya,
Hongkong. Uang pensiunannya terlalu sedikit buat hidup di negara maju
dan mahal itu. Sementara anak-anaknya tak begitu peduli akan nasibnya.
Jadilah Su Hing turis yang gelandangan. Dia tidur beberapa hari di
Stasiun Hualamphong, Bangkok, lalu pindah ke kota lain dengan cara yang
sama.
Dalam perjalanan ke Chiang Mai, saya juga
berjumpa Piere, lelaki asal Prancis yang berumur 62 tahun. Piere
menghabiskan 7 tahun hidupnya di Thailand dengan membuka toko roti dan
keju. Katanya, “Di negaraku, orang seumuranku susah mendapat pekerjaan.
Jadi aku bertahan hidup di sini. Setidaknya, negeri ini memberi ruang
bagiku untuk mencari uang.”
Negara dunia ketiga seperti Kamboja,
Thailand, Laos dan lainnya rupanya menjadi pelarian bagi para lansia di
negara maju untuk bertahan hidup. Bagaimana dengan para manula di negara
berkembang?
Awal Oktober saya sempatkan berkunjung ke
sebuah panti wreda di Surabaya. Ada 18 perempuan usia lanjut dirawat di
sana. Sebagian besar memiliki keluarga, namun enggan direpotkan dengan
urusan merawat ibu, nenek, atau tante mereka. Lebih baik bagi mereka
membayar panti wreda itu beberatus ribu setiap bulan ketimbang mengurus
anggota keluarga yang menua. Budaya memelihara orangtua sudah mulai
memupus di kalangan keluarga menengah ke atas di perkotaan.
Ada seorang perempuan yang terus
menggenggam saputangan. Saputangan itu sudah kumal, namun dia menolak
jika ada petugas yang hendak mengambil dan mencucinya. “Ini saputangan
pemberian anakku,” begitu selalu alasannya, seolah dengan memegang
saputangan itu, cinta dan kerinduannya akan anaknya tersalurkan.
Jadi, sungguh tepat imbauan PBB seperti yang dimuat oleh VOA dalam postingan tanggal 1 Oktober 2012 yang bertajuk ‘PBB Desak Perlindungan Lebih Besar untuk Manula’.
Kalau direnungkan, perlakuan terhadap
manula atau lansia adalah bentuk diskriminasi paling dekat dalam
kehidupan kita sehari-hari. Lansia akan disingkirkan dalam lapangan
pekerjaan formal, karena dia dianggap tidak produktif (kecuali jika dia
si empunya perusahaan, tak ada yang berani memecatnya). Lansia juga
dianggap keluarganya menjadi beban karena tak memiliki penghasilan serta
lambat mengerjakan pekerjaan rumah harian (walau banyak manula yang
masih aktif). Apalagi jika mereka mulai pikun. Belum lagi anggapan bahwa
lansia identik dengan beragam penyakit, sejalan dengan menurunnya
kekuatan fisik mereka.
Menarik mengamati desakan PBB agar negara
di dunia lebih memberi perlindungan kepada lansianya. Kepedulian kita
kepada lansia memang mulai menurun. Di Indonesia misalnya, budaya
memelihara orangtua hingga akhir hayat di masa lalu, kini mulai pupus.
Kerap pula di antara kita memperlakukan orangtua yang jompo tidak
manusiawi, membentak-bentak, dengan alasan orangtua mulai pekak dan
pikun.
Dalam hal ini saya mesti belajar dari dua
negara tetangga, Malaysia dan Thailand. Di Penang, ada rumah sakit
gratis buat lansia dan orang miskin. Pendirinya, yayasan buddha
setempat. Di rumah sakit ini siapapun boleh datang dan akan mendapat
pengobatan ala China. Sementara di Thailand, hampir di setiap propinsi
ada ‘Senior Citizen Hospital’, yaitu rumah sakit khusus lansia.
Thailand juga memperlakukan para lansia
dengan baik, mulai di angkutan umum, tempat antrian, dan masih banyak
lagi. Penghormatan orang Thailand terhadap lansia sama dengan
penghormatan mereka terhadap pendeta buddha atau ‘monk’.
Ingat saya akan kata-kata teman saat di
Kamboja beberapa waktu lalu. “Jangan kaget jika melihat banyak pengemis
tua di Phnom Penh. Mereka mengemis karena tak menemukan pekerjaan lagi
paska pensiun. Uang pensiun terlalu sedikit untuk hidup.” Tak heran
jika banyak orang berlomba memberi uang pada para pengemis di terminal
bus Phnom Penh. Sebuah bentuk bantuan dan kepedulian?
Seperti dilansir dari berita VOA tadi, di
beberapa negara, dana pensiun lansia semakin berkurang. Sementara
perhatian negara terhadap manulanya pun kecil porsinya. Mengharapkan
bantuan pemerintah? Ah, rasanya nyaris utopia. Begitu banyak penduduk
yang diurusi pemerintah Indonesia yang korup ini.
Mau tak mau orang seperti saya harus
mempersiapkan diri sejak dini sebelum masuk usia senja, agar bisa hidup
cukup dan bahagia. Memiliki cukup tabungan hari tua, dan asuransi
kesehatan menjadi sebuah kewajiban. Begitu juga mempersiapkan karir
abadi seperti di bidang seni, penulisan, merawat kebun, dan lainnya.
Kalau tidak, sebaiknya melakukan euthanasia ketimbang mengemis dan
menjadi gelandangan. Saya tak mau selagi muda harus selalu kerja keras,
lalu menua masih sengsara. Alangkah menyedihkannya ditakdirkan menjadi
manusia kalau begitu.
0 comments:
Post a Comment