Pembicaraan bagaimana orang tetap
bermakna sekalipun sudah termasuk golongan lansia terjadi dalam tema WONG TUWA MIGUNANI (Tua Bermakna). Hal
ini dilatarbelakangi oleh adanya salah satu masalah yang sering muncul di kalangan
lansia yang kalau dirumuskan berkisar pada kata-kata “Karena sudah berhenti dari berbagai aktivitas
masa lalu, seperti karena pensiun atau karena sakit, orang dapat merasa sudah
tak terpakai. Bahkan muncul perasaan ‘habis
manis sepah dibuang’”. Tema ini
dibicarakan dalam Novena Seminar Ekaristi pada hari Minggu tanggal 7 Juni 2015
di Domus Pacis. Pada kesempatan ini Rama Rosarius Sato Nugroho hadir
menyampaikan wawasannya.
Beberapa
Pengalaman
Sebagai pembicara Rama Sapto
menyampaikan pengalaman yang beliau ketemukan dalam diri bapak dan ibunya. Si
bapak ketika masa persiapan pensiun sudah bebas tidak melakukan pekerjaan
sebagai guru. Tetapi yang terjadi beliau pada sore hari selalu menghadirkan
para murid untuk memberikan pelajaran tambahan. Rama Sapto menilai sang bapat
tidak ingin kehilangan ritme hidup sebagai guru. Selain itu sebenarnya sang
bapak ingin memelihara sapi. Namun anak-anaknya tidak menyetujui karena
dipandang terlalu berat untuk kondisi fisiknya. Ketika menyatakan ganti keinginan
yaitu memelihara kambing, inipun ditolak oleh para anak. Akhirnya anak-anak
menyetujui ketika yang diminta adalah memelihara kelinci. Hal ini dilakukan
hingga masuk dalam kondisi sakit. Rama Sapto juga menceriterakan pengalamannya
dengan sang ibu. Ibu beliau adalah seorang ibu rumah tangga yang menderita
stroke ketika sudah hidup menjanda. Sang ibu kerap rèwèl (berulah) minta apa-apa dilayani dan diutamakan. Tampaknya
sang ibu mudah cemburu pada cucu-cucu dalam hal mendapatkan perhatian. Apabila
ditemani, sang ibu berceritera macam-macam tak ada selesainya.
Sharing pengalaman pun juga datang dari
peserta. Pak Jono menyampaikan pengalamannya dalam berprinsip ora arep njaluk utawa ngrepotké anak
(tidak akan minta dari anak dan membuat repotnya). Pak Jono juga suka
memperhatikan ibu-ibu yang suka masak dengan membantu memperbaiki alat-alat
masak. Hal ini dilakukan secara gratis dan tak mau dibayar karena beliau sudah
punya uang pensiun. Di sini muncul prinsip pengin
tetulung, ora arep njaluk tulung
(ingin menolong dan tak mau ditolong). Sementara itu Pak Andreas selalu
berusaha untuk berguna bagi anak dan tetangga. Meskipun demikian ada yang
membawa hasil dan ada yang tidak.
Kebutuhan
Dihargai Keberadaannya
Apa yang dilakukan oleh kaum lansia,
sebagaimana dicontohkan dalam pengalaman di atas, tak lain dan tak bukan adalah
ungkapan kebutuhan diri untuk diakui eksistensi atau keberadaannya. Kaum lansia
dapat merasa disisihkan atau tidak mendapatkan tempat bahkan merasa “habis
manis sepah dibuang” karena kondisi fisik, intelektual, dan jiwaninya. Dengan
demikian apapun yang dilakukan, baik yang membuat orang lain kagum ataupun
membuat orang lain jengkel, kesemuanya adalah untuk menunjukkan dorongan hati
menuntut dihargai keberadaannya.
Keberadaan
Yang Bermakna
Terhadap apapun yang dilakukan oleh kaum
lansia untuk menunjukkan keberadaannya, bagi orang lain hal itu akan diterima
apabila ungkapan dan wujudnya migunani
(berharga dan bermakna). Ungkapan dan wujud ini memiliki makna apabila
menghadirkan wawasan inspiratif dalam kebersamaan.
a. Belajar dari
Kitab Suci
Bagi pengikut Kristus makna hidup harus
mendapatkan landasan rohani dari Kitab Suci. Untuk menemukan makna hidup kaum
lansia dapat belajar dari tokoh-tokoh iman yang dikisahkan dalam Kitab Suci. Di
sini beberapa tokoh dapat jadi teladan pokok makna iman yang dihayati: 1)
Abraham: sekalipun sudah usia 75 tahun taat mengikuti panggilan untuk menjalani
hidup baru meninggalkan tanah
kelahirannya, dan sekalipun sudah seperti mustahil tetap percaya bahwa akan terlaksana
janji anak di masa tuanya; 2) Elisabet: juga mengandung di masa tuanya, tetapi
bersedia menerima perbedaan dengan
memberi nama anak Yohanes yang tidak masuk dalam khasanah nama keluarganya; 3)
Simeon dan Hana: menjadi saksi kanak-kanak Yesus dengan menghormat dan siap mengundurkan diri demi kaum yang
muda.
b. Jadi Saksi
Iman
Dengan belajar dari Kitab Suci kaum
lansia juga terpanggil untuk menjadi saksi iman. Tugas mewartakan Injil sebagai
kabar sukacita juga berlaku untuk kaum lansia. Dengan demikian migunani atau berguna harus diletakkan
dalam kerangka kesaksian iman. Inilah yang menjamin keberadaan kaum lansia.
Kehadiran lansia yang diwarnai relung hati ceria akan menjadi ceritera sukacita
bagi banyak orang dan yang berceritera pun berkisah dengan sukacita.
c. Caranya
Ketika berbicara tentang hal praktis
Rama Sapto menyampaikan cara lansia untuk hadir sebagai saksi iman: 1) Dari
dirinya dapat menghadirkan kata-kata bijak yang muncul dari kematangan hidup
rohani; 2) Menghadirkan sikap iman yang tegas dan benar; 3) Bersikap ekaristis
karena ketekunannya menghayati kehidupan batin yang diwarnai kebiasaan sambung
hati dengan Tuhan.
0 comments:
Post a Comment