Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Friday, February 5, 2021

Santo Alfonsus Maria Fusco

diambil dari katakombe.org/para-kudus Diterbitkan: 17 Januari 2018 Diperbaharui: 11 Februari 2019 Hits: 2968

  • Perayaan
    06 Februari
  •  
  • Lahir
    23 Maret 1839
  •  
  • Kota asal
    Salerno, Campagnia, Italia Selatan
  •  
  • Wafat
  •  
  • 6 February 1910
    Sebab alamiah
  •  
  • Venerasi
    12 February 1976 oleh Paus Paulus VI (decree of heroic virtues)
  •  
  • Beatifikasi
    7 Oktober 2001 oleh Paus Yohanes Paulus II
  •  
  • Kanonisasi
  •  
  • 16 Oktober 2016 oleh Paus Fransiskus

Santo Alfonso Maria Fusco berasal dari kota kecil Angri, di Salerno, Campagnia, Italia Selatan. Kedua orang tuanya, Aniello Fusco dan Josephine Schiavone, adalah petani sederhana yang hidup dalam tradisi Katolik yang kuat.

Pasangan ini telah menikah selama tiga tahun namun belum juga memiliki keturunan. Karena itu pada tahun 1838 mereka memutuskan untuk berziarah ke Basilika Santo Alfonsus de Lugiori di kota Pagani, tempat relikwi Santo Alfonsus Maria de Lugiori disemayamkan. Setelah selesai berdoa dengan perantaraan Santo Alfonsus Liguori (saat itu masih bergelar Beato), seorang biarawan Redemptoris bernama Francesco Saverio Pecorelli,C.Ss.R mendekati pasangan peziarah ini dan berpesan: “Kalian akan memiliki seorang putra, kalian akan menamakannya Alfonsus. Ia akan menjadi seorang imam dan akan menjalani hidup seperti Beato Alfonsus”. Dan begitulah yang terjadi. Pada tanggal 23 Maret 1839 putra sulung mereka lahir dan dibabtis dengan nama Alfonsus Maria Fusco. Setelah itu pasangan petani saleh ini juga diberkati dengan kelahiran empat orang buah hati.

Alfonsus kecil dikenal sebagai pribadi yang lembut, menyenangkan, suka berdoa dan ringan tangan membantu orang-orang miskin. Di usia tujuh tahun ia mendapat dispensasi khusus untuk menerima Komuni pertama atas rekomendasi para katekis dan pastor paroki. Ketika berusia sebelas tahun ia mengungkapkan keinginannya untuk menjadi seorang imam. Pada tanggal 5 November 1850  Alfonsus masuk Seminari Nocera dei Pagani. Selama 13 tahun ia belajar dengan tekun dan ditahbiskan menjadi imam oleh Uskup Agung Salerno, Mgr.Anthony Salomone, pada tanggal 29 Mei 1863.

Pater Alfonsus segera dikenal akan semangat kerasulannya, kedisiplinannya dalam pelayanan liturgi dan ketekunannya memberikan pelayanan sakramen bagi umat, terutama sakramen tobat. Ia mengabdikan dirinya dengan sungguh-sungguh dan umat akan selalu mengenang gaya khotbahnya yang sederhana dan tajam.  

Dalam kesehariannya, ia hanyalah seorang imam yang penuh semangat pelayanan, namun Alfonsus selalu membawa sebuah mimpi didalam hatinya. Pada suatu malam di tahun terakhirnya sebagai siswa seminari, ia bermimpi melihat Tuhan Yesus yang memintanya untuk mendirikan sebuah Institusi Susteran dan Panti Asuhan untuk anak-anak terlantar ketika ia telah menjadi seorang imam.

Pertemuannya dengan Maddalena Caputo, seorang calon postulan yang berkemauan keras, mendorong Alfonso untuk segera mewujudkan impiannya. Pada tanggal 25 September 1878, Maddalena Caputo membawa tiga wanita muda yang juga ingin menjalani hidup religius. Mereka menyatakan keinginan untuk mengabdikan diri kepada Tuhan dan menjalani kehidupan yang kudus, berkaul kemiskinan, serta mengabdi pada karya cinta kasih khususnya merawat para yatim piatu dan anak-anak terlantar. Inilah awal berdirinya Susteran Santo Yohanes Pembabtis atau yang juga dikenal sebagai para Suster Baptistine.

Benih yang telah jatuh ke dalam hati keempat wanita yang murah hati ini lalu bertumbuh pesat. Tuhan memberkati benih-benih ini hingga menghasilkan buah berlimpah. Dalam waktu singkat para postulan baru dan anak-anak yatim-piatu mulai berdatangan.

Pater Alfonsus menuntun perkembangan Institusi ini dengan bijaksana. Dia menunjukkan kelembutan bagai seorang ayah bagi semua penghuni biara dan panti asuhan, khususnya bagi para yatim-piatu. Semakin hari, semakin banyak para yatim-piatu dan anak-anak terlantar yang berdatangan ke rumah penampungan suster Baptistine. Hingga suatu saat, para suster khawatir akan persediaan makanan bagi para penghuni Panti Asuhan yang sudah menipis. Alfonso menenangkan mereka dan berkata: "Jangan khawatir, saya akan menghadap Yesus sekarang dan Dialah yang akan mencemaskan kita!". Jawaban Yesus datang seketika. Di hari itu juga kereta kuda seorang donatur tiba di rumah biara dan membawa bahan makanan dalam jumlah besar.

Pater Alfonsus tidak meninggalkan banyak tulisan. Dia lebih banyak bersaksi melalui cara hidupnya yang kudus. Orang-orang yang mengenalnya menyatakan bahwa ia adalah seorang imam yang hidup sangat sederhana. Ia memiliki rasa cinta yang meluap-luap pada Sakramen Ekaristi dan Devosi yang mendalam pada Sengsara Yesus di salib dan Bunda Maria berduka-cita.  Kepada para suster Baptistine ia sering berpesan: "Marilah kita menjadi orang-orang kudus, mengikuti Yesus dengan saksama. …. Jika kita hidup dalam kemiskinan, dalam kesucian dan dalam ketaatan, kita akan bersinar seperti bintang di langit".

Pada masa dimana pendidikan adalah hak istimewa bagi segelintir orang, Alfonso telah berjuang memberikan pendidikan yang baik bagi para yatim-piatu dan anak-anak terlantar. Ia berharap dengan memperoleh pendidikan, mereka dapat menjalani hidup yang lebih baik di kemudian hari.

Konggregasi Suster Baptistine terus berkembang. Dalam waktu singkat jumlah para suster dan anak yatim terus bertambah. Hal ini mendesak pater Alfonso untuk membuka beberapa biara dan panti asuhan baru; awalnya di wilayah Campania, lalu menyebar ke seluruh wilayah Italia.

Pada malam hari tanggal 5 Februari 1910, pater Alfonsus jatuh sakit. Keesokan harinya ia minta diberikan sakramen pengurapan orang sakit, lalu dengan suara gemetar, ia berdoa :  "Tuhan, terima kasih, saya telah menjadi pelayan-Mu yang tidak berguna".  Kemudian ia berpaling kepada para suster yang tengah menangis di sekeliling pembaringannya: "Dari surga aku tidak akan melupakan kalian, aku akan selalu berdoa untuk kalian".  Dan hamba Tuhan ini menutup matanya untuk selama-lamanya.

Berita kematiannya menyebar dengan cepat. Umat mengabarkan berita kematiannya dengan berseru: "Bapa kaum miskin itu telah meninggal!!, Orang kudus itu telah meninggal!".

Hidupnya sebagai saksi Kristus telah menjadi inspirasi dan anugerah, terutama bagi kaum miskin dan suster-suster Baptistine yang kini telah menyebar dan berkarya di empat benua. Pada tanggal 7 Oktober 2001, Alfonsus di beatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II. Dalam Misa  beatifikasinya paus menyatakan bahwa Beato Alfonsus Maria Fusco adalah teladan bagi para imam, model bagi para pendidik, dan pelindung bagi kaum miskin. Selanjutnya pada tanggal 16 Oktober 2016 ia dikanonisasi oleh Paus Fransiskus di Basilika Santo Petrus Roma.

Santa Koleta

diambil dari katakombe.org/para-kudus Diterbitkan: 27 Juli 2013 Diperbaharui: 04 Februari 2020 Hits: 9382

  • Perayaan
    06 Maret (Roman Martyrology)
    07 Februari (Fransiskan dan Kapusin)
  •  
  • Lahir
    13 January 1381
  •  
  • Kota asal
    Picardy Perancis
  •  
  • Wilayah karya
    Ghent, Flander
  •  
  • Wafat
  •  
  • 6 Maret 1447 di Ghent, Belgia | Oleh sebab alamiah
    Disemayamkan di Monastère Sainte-Claire, Poligny, Perancis
  •  
  • Beatifikasi
    Tahun 1604 oleh paus Klemens VIII
  •  
  • Kanonisasi
  •  
  • 2 Mei 1807 oleh Paus Pius VII

Santa Koleta dilahirkan pada tahun 1381 dan diberi nama Nikoleta untuk menghormati St. Nikolaus dari Myra. Orangtuanya yang penuh kasih sayang memanggilnya Koleta sejak ia masih bayi. Ayah Koleta adalah seorang tukang kayu di sebuah biara di Picardy.  Ia seorang gadis yang pendiam dan rajin bekerja. Ia memberikan banyak bantuan kepada ibunya dalam melakukan pekerjaan rumah tangga. Orangtuanya memperhatikan bahwa puteri mereka senang berdoa, ia juga seorang yang peka serta penuh belas kasihan.

Ketika Koleta berusia tujuhbelas tahun, kedua orangtuanya meninggal dunia. Gadis itu kemudian diserahkan di bawah asuhan pemimpin biara di mana ayahnya dulu bekerja. Koleta meminta dan mendapatkan sebuah gubug kecil yang dibangun di samping gereja biara. Koleta tinggal di sana. Ia menghabiskan waktunya dengan berdoa dan melakukan silih bagi Gereja Kristus. Semakin lama semakin banyak orang mengetahui perihal gadis kudus ini. Mereka datang kepadanya untuk meminta nasehatnya dalam masalah-masalah penting. Mereka tahu bahwa Koleta seorang yang bijaksana oleh sebab hidupnya dekat dengan Tuhan. Koleta menerima semua orang dengan kelemahlembutan. Di akhir kunjungan, ia akan berdoa agar para tamunya menemukan kedamaian hati.

Koleta adalah anggota Ordo Ketiga St. Fransiskus. Ia tahu bahwa ordo religius bagi para wanita yang mengikuti cara hidup St. Fransiskus adalah Ordo Santa Klara. Ordo tersebut diberi nama sesuai dengan pendiri ordo mereka, St. Klara, yang adalah pengikut St. Fransiskus. Pada masa Koleta hidup, Ordo Santa Klara perlu kembali ke tujuan awal ordo mereka. St. Fransiskus dari Asisi menampakkan diri kepada Koleta serta memintanya untuk mengadakan pembaharuan dalam Ordo St. Klara. Tentu saja Koleta amat terkejut dan takut oleh sebab tugas yang demikian berat itu. Tetapi, ia percaya akan belas kasih Tuhan. Koleta pergi mengunjungi biara-biara St. Klara. Ia membantu para biarawati Klaris untuk hidup lebih sederhana dan meluangkan lebih banyak waktu untuk berdoa. Ordo St. Klara memperoleh semangat dari cara hidup St. Koleta.

St. Koleta memiliki devosi yang mendalam kepada Yesus dalam Ekaristi. Ia juga seringkali mengadakan waktu untuk merenungkan sengsara serta wafat Kristus. Ia amat mencintai Yesus dan panggilan religiusnya. Ia juga tahu dengan pasti kapan dan di mana ia akan meninggal. Ia wafat di salah satu biaranya di Ghent, Flanders, pada tahun 1447 dalam usia enampuluh tujuh tahun.

Lamunan Peringatan Wajib

Santo Paulus Miki, Imam dan kawan-kawan Martir

Sabtu, 6 Februari 2021

Markus 6:30-34

30. Kemudian rasul-rasul itu kembali berkumpul dengan Yesus dan memberitahukan kepada-Nya semua yang mereka kerjakan dan ajarkan. 31 Lalu Ia berkata kepada mereka: "Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika!" Sebab memang begitu banyaknya orang yang datang dan yang pergi, sehingga makanpun mereka tidak sempat. 32 Maka berangkatlah mereka untuk mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi. 33 Tetapi pada waktu mereka bertolak banyak orang melihat mereka dan mengetahui tujuan mereka. Dengan mengambil jalan darat segeralah datang orang dari semua kota ke tempat itu sehingga mendahului mereka. 34 Ketika Yesus mendarat, Ia melihat sejumlah besar orang banyak, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala. Lalu mulailah Ia mengajarkan banyak hal kepada mereka.

Butir-butir Permenungan

  • Tampaknya, ada gambaran bahwa pekerja yang baik akan ditandai dengan sikap selalu sibuk mengerjakan sesuatu. Dia seperti tidak mengenal lelah.
  • Tampaknya, ada gambaran bahwa pekerja yang baik akan banyak dimaui oleh banyak orang. Dia seperti tak kenal waktu untuk melayani orang lain.
  • Tetapi BISIK LUHUR berkata bahwa, bagi yang biasa bergaul intim dengan kedalaman batin, sesibuk apapun orang bekerja melayani banyak orang lain, dia akan mencari saat istirahat jaga jiwa ceria. Dalam yang ilahi karena kemesraannya dengan gema relung hati orang dalam kepadatan kerja apapun akan menyempatkan diri untuk beristirahat sekalipun hanya sesaat karena yakin bahwa saat istirahat adalah saat menyadari dan mensyukuri rahmat.

Ah, kalau banyak order dan pakai istirahat, itu dapat melepas kesempatan meraup banyak uang.

Minggu Biasa V/B – 7 Feb 21 (Mrk 1:29-39 & 1Kor 9:16-19.22-23)

 diambil dari https://unio-indonesia.org/2021/02/05; ilustrasi dari koleksi Blog Domus


BERITA YANG BIKIN LEGA

Mrk 1:29-39 mengisahkan kegiatan Yesus sehabis mengajar dan mengeluarkan roh dari diri orang yang kerasukan pada pagi hari yang sama (Mrk 1:21-28). Sore hari itu, di rumah Simon dan Andreas, ia menyembuhkan ibu mertua Simon yang menderita demam. Petang harinya, ia sibuk menyembuhkan orang-orang lain dari penyakit dan kerasukan setan. Keesokan harinya, pagi-pagi buta, ia pergi berdoa di tempat terpencil. Ketika Simon dkk. menemukannya dan mengatakan bahwa banyak orang mencarinya, Yesus malah mengajak mereka pergi ke kota-kota di sekitarnya untuk “mewartakan Injil” – maksudnya membawakan berita yang bakal membuat orang merasa lega. Untuk itulah ia datang, kata Yesus sendiri.

Markus sengaja menaruh kegiatan Yesus dalam kerangka siang hari, sore, petang, dan pagi hari esoknya. (Kerangka ini diikuti dalam Luk 4:31-44; Matius tidak memakainya.) Irama kehidupan itu mengikuti irama alam, khususnya matahari. Dalam masyarakat dulu, kegiatan mencari nafkah selesai pada saat matahari terbenam. Setelah itu, di lingkungan orang Yahudi saleh, waktu petang dan malam dipakai untuk mendalami Taurat, membaca kehidupan lewat teks-teks sakral. Pada hari Sabat, pendalaman Taurat seperti ini dijalankan sepanjang hari. Kita catat, Markus menampilkan kegiatan Yesus kali ini pada hari Sabat: pagi mulai mengajar di sinagoga menerangkan Taurat. Dan terang Taurat yang dibawakannya itu menyingkirkan roh jahat yang merasuki orang yang waktu itu ada di sana (Mrk 1:21-28). Markus hendak menunjukkan bahwa penyembuhan yang dilakukan Yesus itu terjadi dalam rangka pendalaman Sabda bagi orang banyak. Yesus bukan orang yang mau melawan lembaga kekudusan Sabat. Ia malah membuat hari itu semakin luhur! Kita perhatikan bahwa Yesus juga tidak mengangkat bangun ibu mertua Simon. Ia memegang tangannya dan itu cukup untuk membuat demamnya lenyap.

RASANYA…GRENG!

TANYA: Bu, tolong ceritakan sendiri pengalaman sore itu.
JAWAB: Kan sudah ditulis oleh Mark, juga diceritakan kembali Matt dan Luc.
TANYA: Bagaimana keadaan ibu waktu itu?
JAWAB: Demam. Sudah beberapa hari terbaring. Siap mati. Eh, tahu-tahu ada orang yang memegang tangan saya!
TANYA: Menurut Mark (Mrk 1:31), sambil memegang tangan ibu, Yesus “membangunkan” ibu dan saat itu juga demam hilang. Apa beliau menyuruh bangun, atau malah mengangkat dan mendudukkan? Soalnya, Matt (Mat 8:15) dan Luc (Luk 4:39) tidak mengatakan Yesus membangunkan. Mereka bilang ibu “bangun”, itu saja.
JAWAB: Kok aneh-aneh tanyanya! Sang Guru dari Nazaret yang didatangkan menantu saya itu hanya memegangi tangan saya. Wah, nak, rasanya… greng! Ada kekuatan yang masuk mengusir demam itu keluar. Luc tentunya juga tahu meski ia tidak ikut mengatakan Yesus memegangi tangan saya.
TANYA [rada geli]: Omong-omong, “greng” yang ibu sebut tadi apa sih?
JAWAB: Eh, nganggap nenek bikin-bikin! Ndak ingat cerita Mrk 5:30? Yesus merasa ada tenaga keluar dari dirinya – “greng” tadi – ketika ujung jubahnya dipegang oleh perempuan yang menderita pendarahan kronik 12 tahun? Lihat Luk 8:46 sekalian dah!
TANYA: Tanpa mengguncang-guncang badan ibu? Jadi yang disebut Matt dan Luc itu ya benar. Demam lantas pergi dan ibu bangun sendiri.
JAWAB: Benar!
TANYA [kepada seorang ahli tafsir]: Yesus tidak mengangkat ibu itu dari posisi tidur. Tapi kok Mark memakai ungkapan “membangunkan”? Matt dan Luc tidak menyebutnya. Perkara kata, tapi bikin penasaran nih.
AHLI: Dalam kisah-kisah penyembuhan waktu itu, ungkapan “membangunkan” memang biasa dipakai dengan arti menyembuhkan, tidak dalam arti harfiah mengangkat. Mark memakainya dalam arti luas ini.
TANYA [kepada ibu mertua Simon lagi]: Sesudah sembuh, ibu lalu “melayani mereka”. Apa yang ibu lakukan?
JAWAB: Menyiapkan makan bagi Yesus dan murid-muridnya. Sudah menjelang petang, saat orang makan.
TANYA [kepada ahli tafsir]: Mark dan Luc menyebutkan ibu mertua Simon “melayani mereka”, tapi Matt menulis “melayani dia”, maksudnya Yesus. Apa perbedaan ini penting?
AHLI: Matt hendak memusatkan pandangan kepada Yesus, sedangkan Mark menceritakan kejadiannya secara umum. Begitu pula Luc.
TANYA: Masih ada satu soal. Luc mencatat, Yesus “membentak pergi” demam itu, begitu dalam teks Yunaninya. Mark dan Matt tidak sejelas itu. Bisa dikomentari perbedaan ini?
AHLI [tersenyum]: Itu cara Luc mengatakan Yesus kini bertindak dengan wibawa ilahi untuk mengeluarkan demam. Luc juga mau menunjuk pada hubungan penyakit dengan kekuatan jahat. Orang-orang waktu mungkin menduga ibu mertua Simon itu tentunya dikerjain orang, kena guna-guna. Dalam Injil, penyembuhan dan pengusiran kekuatan jahat kerap ditampilkan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Ini kunci memahami kisah penyembuhan.

MEMBUNGKAM SETAN-SETAN

Setelah menyembuhkan ibu mertua Simon, Yesus dijamu di rumah itu bersama para muridnya. Sementara itu berdatanganlah penduduk ingin menemui Yesus. Petang itu ia menyembuhkan orang dari penyakit dan kerasukan setan. Dalam ay. 34 dikatakan bahwa Yesus tidak memperbolehkan setan-setan berbicara. Alasannya, mereka mengenal Dia. Tulisan Markus ini seperti teka-teki. Setan-setan itu tahu betul siapa Yesus. Mereka dapat menyuarakan pengetahuan mereka, seperti halnya roh jahat yang merasuki orang yang pada pagi hari itu berada sinagoga. Tapi di situ Yesus membentak diam roh tadi. Kini ia juga membungkam setan-setan. Mengapa Yesus tidak membiarkan mereka memperdengarkan kata-kata mereka mengenai dia? Kan yang dikatakan tidak salah. Di sinagoga pagi itu roh jahat mengatakan Yesus itu Yang Kudus dari Allah. Benar. Kenapa tak boleh?

Di satu pihak kekuatan-kekuatan jahat memang tahu betul siapa Yesus itu. Di lain pihak mereka memakai pengetahuan itu bukan untuk meluruskan hidup orang, tapi untuk mengacaukan dan malah untuk menyesatkan. Mereka mulai dengan membisikkan pengetahuan yang benar, tapi pelan-pelan mereka membuat hati orang tertutup pada hal-hal baru yang dibawakan Yesus. Simon Petrus sendiri nanti akan terbawa ke sana dan ia dibentak diam oleh Yesus (Mrk 8:33 Mat 16:23). Yesus hanya akan dipandang sebagai penyembuh dari penyakit dan kerasukan, sebagai guru bijaksana, sebagai orang yang mempesona. Ia menjadi pusat perhatian. Lama kelamaan Injil yang dibawakannya akan dikaburkan oleh ketenarannya dirinya. Inilah yang dimaui oleh roh-roh jahat tadi. Mereka mau memisahkan Yesus dari warta yang dibawakannya. Bila terjadi, Yesus akan menjadi lemah kendati di mata orang ia tampak sukses. Kekuatannya bakal pudar karena ia tidak lagi membawakan Injilnya sendiri, tetapi jadi takabur dan membiarkan diri dipandang sebagai orang besar, tidak lagi menunjukkan kebesaran Kerajaan Bapanya!

BERDOA DI TEMPAT SUNYI

Orang-orang menunggu Yesus semalaman. Pada pagi hari berikutnya makin banyak orang lagi berkumpul dan mencari dia. Tetapi Yesus sudah lebih dahulu keluar pergi berdoa di sebuah tempat terpencil. Ia kiranya tahu betul betapa besar godaan yang kini mengiringi semua tindakan baiknya. Ia tahu tak akan dapat terus tanpa kekuatan dari atas sana. Begitulah ia menjauh dari orang banyak mencari tempat sunyi dan membiarkan diri dibimbing roh yang sejak baptisannya turun ke atasnya. Yesus mencari keheningan agar semakin mampu melihat kehadiran ilahi di dalam kehidupannya. Inilah yang membuatnya tahan menjalankan perutusannya. Inilah yang membuatnya ditakuti kekuatan-kekuatan jahat.

Apa arti pagi-pagi benar, ketika hari masih gelap? Mark itu pencerita ulung. Beberapa hal sengaja tak disebut jelas tetapi malah membuat pembaca menemukannya sendiri. Tentunya selama berdoa pagi-pagi benar itu Yesus memandangi fajar menyingsing, melihat matahari mulai menyingkirkan kegelapan. Mark mau mengajak pembaca sampai ke gagasan ini. Yesus saat itu membaca gerak alam, dan itulah doanya. Ia melihat Dia yang memberinya kekuatan bagaikan matahari yang mulai bersinar mengusir kekelaman, perlahan-lahan, tetapi pasti. Bagi Yesus, meluangkan diri mengikuti gerak gerik Yang Ilahi itu mutlak. Gerak gerik yang memberi kelegaan. Itu sumber kekuatannya. Dan kekuatan ini juga bisa diteruskannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Di mana saja.

Kendala bagi pewarta kedatangan Yesus ialah mengajarkan tentang dia tanpa menerimanya dengan tulus. Akan seperti roh jahat yang menyuarakan pelbagai kebenaran mengenai siapa Yesus tapi tidak menghayatinya. Roh jahat tidak bisa menerima kehadirannya. Karena itu kata-kata mereka kosong. Tak ada bobotnya. Karena itu pewartaan yang tak disertai keakraban dengan yang diwartakan tidak akan memperkaya batin orang. Malah bisa membebani.

Ketika murid-muridnya mendapati dia dan memintanya menemui orang-orang yang sudah menunggu, Yesus malah mengajak para murid pergi ke tempat lain, agar di sana pun Injil diberitakan, agar di tempat-tempat itu pun orang boleh ikut merasa lega. Seperti matahari yang bersinar ke mana-mana, begitulah ia merasa perlu pergi ke tempat-tempat lain membawakan Kabar Gembira, dan mengusir setan, mulai pagi hari setelah Sabat. Seperti pagi hari kebangkitannya nanti!

DARI BACAAN KEDUA: 1Kor 9:16-19;22-23

Dalam 1Kor 9 Paulus berbicara mengenai “kebebasan”-nya. Ia tidak ingin dianggap “rasul” di sebuah komunitas yang menopang hidupnya dan dengan demikian terikat hanya pada lingkungan itu. Ia menegaskan ia ingin bebas mewartakan Injil tanpa terikat pesan sponsor, tanpa terarah kebutuhan tertentu. Pusat perhatiannya ialah pada kabar gembira yang telah dialaminya sendiri dan kini ia sampaikan ke pelbagai orang dengan cara yang  berbeda-beda. Ia ingin berbagi pengalaman batin tadi dengan siapa saja, baik yang terbiasa dengan gagasan-gagasan agama Yahudi maupun dengan orang-orang yang berbeda latar belakangnya. Inilah yang hendak disampaikannya.

Menarik dicamkan, yang mendorong Paulus untuk mewartakan Injil bukanlah keinginannya untuk mempertobatkan orang, melainkan untuk berbagi  pengalaman batin. Pengalaman ini membuatnya tahu apa itu  “selamat”, yakni merasa  disapa Tuhan, merasa enak berada di dekat-Nya. Menjadi lega. Inilah yang hendak dibawakannya kepada banyak orang.  Kesaksiannya tidak diukurnya dengan upah yang diterima dari orang-orang  yang mendengarkannya. Ukuran yang dipegangnya ialah kenyataan kabar gembira itu sendiri, artinya, bila ia baru puas bila memang berhasil membuat orang bisa ikut menikmati kelegaan batin, menemukan jalan penyelamatan.

Kesaksian  Paulus mengajak orang berpikir lebih jauh. Apa itu mewartakan Injil? Apa intinya? Paulus menunjukkan bahwa mewartakan Injil ialah menginsyafi bagaimana Tuhan memang mau  mendatangi manusia dan menjadikannya semakin utuh. Inilah yang membuat batin lega.

Salam hangat,
A. Gianto


Santa Agatha

diambil dari katakombe.org/para-kudus Diterbitkan: 26 Juli 2013 Diperbaharui: 26 Juni 2020 Hits: 37151

  • Perayaan
    05 Februari
  •  
  • Lahir
    Hidup pada Abad ke-3
  •  
  • Kota asal
    Sisilia - Italia
  •  
  • Wafat
  •  
  • Sekitar tahun 250 di Catania, Sicilia | Martir
    Dipotong kedua payudaranya lalu diguling-gulingkan diatas bara api sampai tewas.
  •  
  • Kanonisasi
  •  
  • Pre-Congregation

Seorang gadis Kristen nan cantik bernama Agatha hidup di Sisilia pada abad ketiga. Gubernur Romawi kafir mendengar kabar tentang kecantikan Agatha dan menyuruh orang untuk membawa gadis itu ke istana untuk dijadikan sebagai isterinya. Tapi Agatha menolak perintah sang gubernur karena ia ingin mempersembahkan hidupnya bagi Yesus.

"Yesus Kristus, Tuhanku,” ia berdoa, “Engkau melihat hatiku dan Engkau mengetahui kerinduanku. Hanya Engkau saja yang boleh memilikiku, oleh sebab aku sepenuhnya adalah milik-Mu. Selamatkanlah aku dari orang jahat ini. Bantulah aku agar layak untuk menang atas kejahatan.”

Penolakan Agatha membuat sang Gubernur marah. Ia menangkap Agatha lalu dikirimkannya perawan suci ini kerumah seorang mucikari untuk dijadikan sebagai wanita penghibur. Tetapi sekali lagi sang gubernur menjadi kecewa. Agatha berserah diri sepenuhnya kedalam lindungan Tuhan dan ia berdoa sepanjang waktu. Walau disekap dalam rumah pelacuran namun ia dapat menjaga kesucian dirinya. Ia dapat menghidar dari semua tipu daya dan bujukan-bujukan jahat mucikari tersebut.

Setelah sebulan berlalu, Agatha dibawa kembali kepada gubernur. Sekali lagi gubernur berusaha membujuknya.  “Engkau seorang wanita terhormat,” katanya dengan lembut. “Mengapa engkau merendahkan dirimu sendiri dengan menjadi seorang Kristen?”

“Meskipun aku seorang terhormat,” jawab Agatha, “aku ini seorang hamba di hadapan Yesus Kristus.”

“Jika demikian, apa sesungguhnya arti dari menjadi terhormat?” tanya gubernur. Agatha menjawab, “Artinya, melayani Tuhan.”

Ketika gubernur tahu bahwa Agatha tidak akan mau berbuat dosa, ia menjadi sangat murka. Ia menyuruh orang mencambuk serta menyiksa Agatha. Siksaan yang dialami Agatha sangat mengerikan. Setelah tak henti-hentinya dicambuk, sang gubernur kemudian memerintahkan para pengawalnya untuk memotong kedua payudara St. Agatha dan meletakkannya di atas sebuah piring (legenda pada jemaat Kristen perdana mengatakan bahwa pada malam hari setelah payudara St. Agatha dipotong; St. Petrus dan seorang malaikat Tuhan datang mengunjunginya dalam penjara. Menghiburnya dan memulihkan kembali kedua payudaranya).

Dalam penyiksaan ini Agatha berdoa dengan lirih; “Tuhan Allah, Penciptaku, Engkau telah melindungi aku sejak masa kecilku. Engkau telah menjauhkan aku dari cinta duniawi dan memberiku ketabahan untuk menderita. Sekarang, terimalah jiwaku.” Agatha wafat sebagai martir di Catania, Sisilia, pada tahun 250.

St. Agatha dihormati sebagai pelindung para wanita penderita penyakit kanker payudara. Banyak doa mohon penyembuhan yang terkabul dengan perantaraan martir suci ini.

Setiap Martir Adalah Persembahan Bagi Gereja

Thursday, February 4, 2021

Buka Aib Diri?


Pada hari Minggu 31 Januari 2021 saya ikut menjadi salah satu imam yang ikut di altar memimpin Misa di Bintaran yang dimulai pada jam 10.00 pagi. Rm. Karta Sudarma menjadi selebran utama. Rm. Heruyanto berada di sebelah kanan dan saya di sebelah kiri dari Rm. Karta. Kalau dua rama lain berdiri saya lebih banyak duduk di kursi roda. Saya hanya berdiri ketika tanda salib pembuka, omong sharing, dan dalam Doa Syukur Agung. Ini adalah peristiwa untuk mensyukuri imamat kami bertiga yang genap 40 tahun pada tanggal 22 Januari 2021. Saya berangkat dari Domus Pacis, rumah para rama praja tua Keuskupan Agung Semarang, dengan mobil kecil yang dikendarai oleh Rm. Hartanta direktur rumah. Bu Rini, salah satu relawan, juga menyertai dengan membawa beberapa perlengkapan termasuk yang akan dibagikan. Tentu saja mobil jadi terasa sempit karena kursi roda juga menjadi bawaan.

Buka Kekurangan Diri?

Ketika sudah meninggalkan Bintaran hati saya diam-diam tersentak oleh kata-kata Rm. Hartanta “Sebenarnya membuka kekurangan diri itu sukar lho”. Ternyata beliau memberi komentar terhadap sharing saya. Komentar ini menjadi sentakan hati ketika saya teringat yang saya omongkan. Bukankah saya berkisah tentang banyaknya orang yang mendukung dengan bekerjasama sejak di Klaten, Salam, hingga 27 tahun di karya misioner keuskupan. Bahkan selama berada di Domus Pacis juga banyak yang terlibat mendukung terutama untuk penyediaan makan dan kebutuhan lain. Saya selalu mengalami dukungan banyak umat baik dalam tenaga maupun pembeayaan, sehingga saya tidak pernah menderita karena jatah uang yang terbatas. Dari pengalaman ini saya menyimpulkan bahwa segala kehidupan imamat saya adalah “hasil produksi kasih dari umat”. Saya merasa tidak ada kekurangan diri yang saya ceritakan.

Ternyata Rm. Hartanta menyampaikan kekurangan diri yang muncul dalam sharing saya. “Tadi umat tertawa ketika rama berkata juga pakai pempers. Bagaimanapun juga itu adalah kekurangan diri” kata Rm. Hartanta. Ketika Bu Rini menanggapi “Itu semacam aib, ya rama?”, Rm. Hartanta mengiyakan. Kemudian terjadi pembicaraan hangat antara Rm. Hartanta dan Bu Rini tentang tidak mudahnya orang mengakui kekurangan yang ada dalam diri sendiri. Sebenarnya saya heran terhadap percakapan mereka yang terpicu hanya oleh omongan bahwa saya memakai pempers. Sebenarnya itu berkaitan dengan beaya tinggi kehidupan Domus Pacis yang melampaui jatah uang. Saya menyinggung tentang pempers yang ternyata mahal harganya. Saya katakan bahwa kami para rama tua membutuhkan sekitar 24 buah dalam sehari. Dan kemudian saya bilang “Sekarangpun saya juga pakai” yang ternyata membuat umat tertawa terbahak-bahak. Kalau kemudian Rm. Hartanta dan Bu Rini menilai itu sebagai keberanian membuka dan mengakui kekurangan diri, terus terang hati saya menjadi termangu-mangu.

Omong Kekurangan Diri Itu Enak?

Ketika kejadian diatas masuk dalam renungan pagi dinihari Senin 1 Februari 2021, saya jadi teringat pada tulisan saya untuk menandai 40 tahun imamat. Itu diterbitkan oleh Penerbit Pohon Caya pada Desember 2021 sebagai buku yang berjudul Dari Peristiwa Lama Jumpa Karunia Catatan 40 Tahun Imamat dari Rumah Tua. Saya menyampaikan 15 macam kisah pengalaman. Sebenarnya saya akan membuat 40 macam kisah agar sesusai dengan angka 40 dari ulang tahun imamat. Tetapi dengan 15 kisah saya merasa sudah banyak makan halaman. Karena buku itu hanya akan saya bagikan, maka saya harus mengingat keuangan saya.

Yang jelas kisah-kisah itu selalu bertolak dari pengalaman tidak enak bahkan derita. Pengalaman yang tampaknya bagi orang lain memalukan juga mewarnai. Bahkan saya memulai kisah-kisah saya yang dulu paling membuat saya hanya menyimpan didalam hati dan tak saya buka di hadapan orang lain. Saya bercerita tentang latar belakang keluarga yang tampaknya bagi banyak orang harus disembunyikan. Saya dengan enak omong tentang bapak saya yang meninggalkan ibu dan bercerai sejak saya masih di kandungan. Bahkan saya juga menuliskan pengalaman saya punya tiga kali ibu tiri. Saya juga mengetengahkan pengalaman sebagai orang cacad sejak usia satu tahun. Selain itu ada kisah-kisah lain yang membuat saya diketahui oleh banyak orang akan hal yang tidak memberikan kebanggaan.

Tentang omong kekurangan itulah yang kemudian membuat saya bertanya dalam hati. Kata-kata Rm. Hartanta “Sebenarnya membuka kekurangan diri itu sukar lho” membuat saya teringat bahwa sayapun mengalami kesukaran. Bahkan saya dulu kerap dijangkiti rasa takut penuh kekuatiran kalau berjumpa dengan orang lain. Saya takut ditanya “Siapakah ibu kandungmu?” dan “Mengapa kamu bisa pincang?” Ketika kanak-kanak saya juga kerap tidak mudah bergaul dengan kanak-kanak lain karena sering mendapatkan ejekan atas kaki kiri pincang. Akan tetapi di kemudian hari rasa takut dan malu itu memang menghilang dari dalam lubuk hati saya.

Sesudah Ikut Yesus

Rasa malu akan latarbelakang hidup terutama keluarga memang menghilang dalam diri saya. Saya juga tidak takut untuk diketahui orang lain bahkan mensharingkannya kepada orang lain. Tetapi bagaimana awal mula menghilangnya rasa malu dan kuatir itu terjadi, saya tidak mampu mengetahui. Peristiwa apakah yang membuat saya berhenti malu dan kuatir akan realita sejarah keluarga dan kondisi kepincangan, saya tak dapat menemukannya. Kalau ada orang bertanya atau kalau saya membagikan pengalaman, saya hanya memiliki kata kunci untuk menjawab, yaitu “Sejak saya ikut Yesus”.

Anugrah iklim paguyuban

Kalau saya mengingat-ingat, merasa-rasakan, dan merenung-renungkan kehidupan saya sebagai pengikut Tuhan Yesus, kebersamaan hidup umat Katolik Kring (kini Lingkungan) Ambarrukmo sungguh menghadirkan makna besar. Saya mulai ikut pelajaran agama calon baptis Katolik ketika duduk di kelas 3 SMP. Sebagai calon baptis Saya ikut pelajaran agama di Paroki Kristus Raja Baciro langsung dibawah bimbingan Rama Prajasuta, SY. Tetapi dalam kesendirian saya akan berada dekat dengan keluarga Bapak Kaslan di Ambarrukmo. Dari sini saya mengenal umat Katolik lewat sembahyangan rutin setiap Kamis sore sebelum Jumat Pertama. Saya juga biasa berada di rumah Pak Kaslan bersama anak-anak kecil yang kemudian bersama beberapa remaja menjadi kelompok yang bernama Putaka kepanjangan dari Putra Cinta Kasih. Dengan Putaka sembahyangan kanak-kanak pun terjadi sebulan sekali. Selain itu anak-anak bersama saya juga biasa main praktis setiap hari di rumah Pak Kaslan. Ketika SMA saya juga ikut terlibat aktif dalam Mudika (Muda-mudi Katolik) Kring Ambarrukmo.

Saya menjadi bergitu dekat dengan umat Kring Ambarrukmo mungkin karena biasa mengerjakan ini itu untuk Kring. Tetapi, kalau kini aku mengingat semua itu, yang paling teringat adalah kerianganku bersama umat. Memang, saya sering terlibat konflik dengan beberapa warga bahkan senior muda dan tua bila ada pembicaraan bersama. Tetapi saya selalu merasakan kebebasan jiwani karena tidak pernah mendengar soal “Siapa ibu kandungku” dan “Mengapa aku pincang”. Ketika hal ini saya utarakan kepada Pak Kaslan mengapa tak ada yang omong tentang itu, beliau berkata “Umumnya orang sudah tahu. Kalau ada yang omong, itu hanya karena gatal bibir”. Para tokoh Kring banyak yang menerima saya dengan penuh kasih. Barangkali mereka tahu saya hanya sendiri di rumah Ambarrukmo karena bapa dan ibu berada di rumah lain. Saya selalu mendapatkan peran dalam acara-acara Kring. Bahkan ketika di gereja Stasi Mrica, gereja Sanata Dharma, almarhum Rama Kardinal Darmajuwana akan datang memimpin Misa Minggu, saya ditujuk menjadi pembaca Kitab Suci. Padahal pada waktu itu saya belum baptis.Tetapi Ketua Kring bilang suara saya bisa lantang dan las-lasan (tempo pelan).

Peneguhan Terang Iman

Sebenarnya sejak menjadi calon baptis saya begitu amat terkesan dengan kisah pribadi Yesus. Kebetulan saya menemukan buku Babad Suci yang berisi kisah-kisah Kitab Suci. Dari sini saya kemudian juga terbiasa membaca Injil, empat buku pertama dari Kitab Suci Perjanjian Baru. Lubuk hati saya sungguh amat tersentuh kalau membaca bagaimana Tuhan Yesus bertindak ketika menghadapi orang-orang cacad terutama yang lumpuh. Saya juga merasa ikut mendapatkan perhatian besar dari Tuhan Yesus. Kemudian lubuk hati saya juga amat terbelai ketika membaca bagaimana sikap-Nya terhadap orang-orang berdosa. Perempuan tertangkap basahpun tidak mendapatkan hukuman. Dalam bayangan kehidupan keluarga saya sebenarnya juga penuh cela dan noda. Tetapi di hadapan Tuhan Yesus akan ada penerimaan pengampunan tanpa mengungkit-ungkit kesalahan.

Sikap Tuhan Yesus itu dalam permenungan saya terjadi di tengah kehidupan bersama umat Kring Ambarrukmo yang saya alami kala SMP dan SMA pada tahun-tahun pertama kekatolikan. Dalam perkembangan hidup, terutama sesudah masuk Seminari dan kemudian menjadi imam, saya yakin bahwa pengalaman tahun-tahun pertama kekatolikan itu adalah tahun-tahun pertama saya mengalami hadirat Tuhan Yesus. Bukankah “di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka." (Mat 18:20). Di dalam Yesus saya sungguh mengalami aroma surgawi, yaitu sukacita alami terbebas dari rasa malu karena realita latarbelakang keluarga dan kecacadan. Bukankah di dalam firdaus orang bisa “telanjang ..... tetapi mereka tidak merasa malu.”  (Kej 2:25)

Kelemahan itu Kekuatan

Ketika merenungkan kekurangan bertolak dari peristiwa omong bahwa saya memakai pempers ketika sharing dalam Misa di Bintaran 31 Januari 2021, saya teringat salah satu pertunjukkan wayang kulit yang pernah saya tonton tempo dulu. Pada waktu itu cerita yang disajikan adalah Arjuna Wiwaha. Dalam adegan Arjuna melawan Niwatakawaca, seorang raja raksasa, Arjuna tak mampu mengatasi kesaktian musuhnya. Arjuna kemudian lari menemui Semar, abdi setia yang sebenarnya adalah dewa kahyangan yang menjadi manusia. Semar memberi tahu “Temukan kunci kehebatannya. Itulah kelemahannya”. Arjunapun mampu memenangkan perang karena mampu mengetahui ajian Newatakawaca yang menempul di tenggorokannya. Ketika Newatakawaca tertawa terbahak-bahak menikmati kemenangan, secepat kilat Arjuna meluncurkan panah memusnahkan ajian itu.

Kisah wayang itu membuat saya menyadari kemunginan kunci kekuatan yang membuat saya termasuk yang dimaui oleh banyak umat. Saya tahu dan sadar ada pihak-pihak yang tidak menyukai. Tetapi bagaimanapun juga ada banyak umat menyukai sehingga ada banyak dukungan terhadap program dan kegiatan saya hingga kini di Domus Pacis, rumah tua para rama praja Keuskupan Agung Semarang. Kalau itu masuk dalam renungan, saya selalu menyadari kesemuanya barangkali karena saya berani blak-blakan terhadap umat. Kalau nyatanya akan tak baik dan gagal atau paling tidak mengalami kesulitan menjalani keutamaan iman tertentu, saya akan berterus terang. Saya tak malu mengatakan kekurangan termasuk latarbelakang keluarga dan kecacadan. Saya menyadari berbagai kekeliruan hidup justru terjadi ketika saya walau dalam hati menyombongkan diri dengan menempatkan teman atau tokoh lain dibawah kualitas saya. Maka, kalau Niwatakawaca menjadi lemah karena kekuatannya, saya mengalami bahwa kekuatan saya justru dalam keterbukaan akan kekurangan dan kelemahan saya. Bukankah “jika aku lemah, maka aku kuat.” (2Kor 12:10)?

Domus Pacis, 4 Februari 2021

Lamunan Peringatan Wajib

Santa Agata, Perawan dan Martir

Jumat, 5 Februari 2021

Markus 6:14-29

14. Raja Herodes juga mendengar tentang Yesus, sebab nama-Nya sudah terkenal dan orang mengatakan: "Yohanes Pembaptis sudah bangkit dari antara orang mati dan itulah sebabnya kuasa-kuasa itu bekerja di dalam Dia." 15 Yang lain mengatakan: "Dia itu Elia!" Yang lain lagi mengatakan: "Dia itu seorang nabi sama seperti nabi-nabi yang dahulu." 16 Waktu Herodes mendengar hal itu, ia berkata: "Bukan, dia itu Yohanes yang sudah kupenggal kepalanya, dan yang bangkit lagi." 17 Sebab memang Herodeslah yang menyuruh orang menangkap Yohanes dan membelenggunya di penjara berhubung dengan peristiwa Herodias, isteri Filipus saudaranya, karena Herodes telah mengambilnya sebagai isteri. 18 Karena Yohanes pernah menegor Herodes: "Tidak halal engkau mengambil isteri saudaramu!" 19 Karena itu Herodias menaruh dendam pada Yohanes dan bermaksud untuk membunuh dia, tetapi tidak dapat, 20 sebab Herodes segan akan Yohanes karena ia tahu, bahwa Yohanes adalah orang yang benar dan suci, jadi ia melindunginya. Tetapi apabila ia mendengarkan Yohanes, hatinya selalu terombang-ambing, namun ia merasa senang juga mendengarkan dia. 21 Akhirnya tiba juga kesempatan yang baik bagi Herodias, ketika Herodes pada hari ulang tahunnya mengadakan perjamuan untuk pembesar-pembesarny perwira-perwiranya dan orang-orang terkemuka di Galilea. 22 Pada waktu itu anak perempuan Herodias tampil lalu menari, dan ia menyukakan hati Herodes dan tamu-tamunya. Raja berkata kepada gadis itu: "Minta dari padaku apa saja yang kauingini, maka akan kuberikan kepadamu!", 23 lalu bersumpah kepadanya: "Apa saja yang kauminta akan kuberikan kepadamu, sekalipun setengah dari kerajaanku!" 24 Anak itu pergi dan menanyakan ibunya: "Apa yang harus kuminta?" Jawabnya: "Kepala Yohanes Pembaptis!" 25 Maka cepat-cepat ia pergi kepada raja dan meminta: "Aku mau, supaya sekarang juga engkau berikan kepadaku kepala Yohanes Pembaptis di sebuah talam!" 26 Lalu sangat sedihlah hati raja, tetapi karena sumpahnya dan karena tamu-tamunya ia tidak mau menolaknya. 27 Raja segera menyuruh seorang pengawal dengan perintah supaya mengambil kepala Yohanes. Orang itu pergi dan memenggal kepala Yohanes di penjara.

6:28 Ia membawa kepala itu di sebuah talam dan memberikannya kepada gadis itu dan gadis itu memberikannya pula kepada ibunya.

6:29 Ketika murid-murid Yohanes mendengar hal itu mereka datang dan mengambil mayatnya, lalu membaringkannya dalam kuburan.

Butir-butir Permenungan

  • Tampaknya, secara umum ada gambaran bahwa yang namanya sumpah adalah jaminan kesetiaan orang akan yang diucapkannya. Bahkan di dalam hidup keagamaan sumpah juga dapat dipandang sebagai ungkapan yang menghadirkan Tuhan sebagai saksi.
  • Tampaknya, sumpah biasa terjadi dalam pengadilan dan peristiwa kenegaraan seperti pelantikan pejabat. Dengan sumpah orang menyatakan tekat menjalani yang baik dan benar.
  • Tetapi BISIK LUHUR berkata bahwa, bagi yang biasa bergaul dekat dengan kedalaman batin, sekalipun konsekuen menjalani yang sudah diucapkan, apabila sumpah diucapkan hanya karena terdorong oleh rasa senang dan hanya demi menjaga citra publik, orang dapat mengalami frustrasi batin sebagai buah jiwani. Dalam yang ilahi karena kemesraannya dengan gema relung hati orang tidak akan sembarangan mengucapkan sumpah karena itu amat memiliki bobot rohani.

Ah, kalau sudah bersumpah apapun keadaannya ya harus konsekuen dijalani.