Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Thursday, February 4, 2021

Buka Aib Diri?


Pada hari Minggu 31 Januari 2021 saya ikut menjadi salah satu imam yang ikut di altar memimpin Misa di Bintaran yang dimulai pada jam 10.00 pagi. Rm. Karta Sudarma menjadi selebran utama. Rm. Heruyanto berada di sebelah kanan dan saya di sebelah kiri dari Rm. Karta. Kalau dua rama lain berdiri saya lebih banyak duduk di kursi roda. Saya hanya berdiri ketika tanda salib pembuka, omong sharing, dan dalam Doa Syukur Agung. Ini adalah peristiwa untuk mensyukuri imamat kami bertiga yang genap 40 tahun pada tanggal 22 Januari 2021. Saya berangkat dari Domus Pacis, rumah para rama praja tua Keuskupan Agung Semarang, dengan mobil kecil yang dikendarai oleh Rm. Hartanta direktur rumah. Bu Rini, salah satu relawan, juga menyertai dengan membawa beberapa perlengkapan termasuk yang akan dibagikan. Tentu saja mobil jadi terasa sempit karena kursi roda juga menjadi bawaan.

Buka Kekurangan Diri?

Ketika sudah meninggalkan Bintaran hati saya diam-diam tersentak oleh kata-kata Rm. Hartanta “Sebenarnya membuka kekurangan diri itu sukar lho”. Ternyata beliau memberi komentar terhadap sharing saya. Komentar ini menjadi sentakan hati ketika saya teringat yang saya omongkan. Bukankah saya berkisah tentang banyaknya orang yang mendukung dengan bekerjasama sejak di Klaten, Salam, hingga 27 tahun di karya misioner keuskupan. Bahkan selama berada di Domus Pacis juga banyak yang terlibat mendukung terutama untuk penyediaan makan dan kebutuhan lain. Saya selalu mengalami dukungan banyak umat baik dalam tenaga maupun pembeayaan, sehingga saya tidak pernah menderita karena jatah uang yang terbatas. Dari pengalaman ini saya menyimpulkan bahwa segala kehidupan imamat saya adalah “hasil produksi kasih dari umat”. Saya merasa tidak ada kekurangan diri yang saya ceritakan.

Ternyata Rm. Hartanta menyampaikan kekurangan diri yang muncul dalam sharing saya. “Tadi umat tertawa ketika rama berkata juga pakai pempers. Bagaimanapun juga itu adalah kekurangan diri” kata Rm. Hartanta. Ketika Bu Rini menanggapi “Itu semacam aib, ya rama?”, Rm. Hartanta mengiyakan. Kemudian terjadi pembicaraan hangat antara Rm. Hartanta dan Bu Rini tentang tidak mudahnya orang mengakui kekurangan yang ada dalam diri sendiri. Sebenarnya saya heran terhadap percakapan mereka yang terpicu hanya oleh omongan bahwa saya memakai pempers. Sebenarnya itu berkaitan dengan beaya tinggi kehidupan Domus Pacis yang melampaui jatah uang. Saya menyinggung tentang pempers yang ternyata mahal harganya. Saya katakan bahwa kami para rama tua membutuhkan sekitar 24 buah dalam sehari. Dan kemudian saya bilang “Sekarangpun saya juga pakai” yang ternyata membuat umat tertawa terbahak-bahak. Kalau kemudian Rm. Hartanta dan Bu Rini menilai itu sebagai keberanian membuka dan mengakui kekurangan diri, terus terang hati saya menjadi termangu-mangu.

Omong Kekurangan Diri Itu Enak?

Ketika kejadian diatas masuk dalam renungan pagi dinihari Senin 1 Februari 2021, saya jadi teringat pada tulisan saya untuk menandai 40 tahun imamat. Itu diterbitkan oleh Penerbit Pohon Caya pada Desember 2021 sebagai buku yang berjudul Dari Peristiwa Lama Jumpa Karunia Catatan 40 Tahun Imamat dari Rumah Tua. Saya menyampaikan 15 macam kisah pengalaman. Sebenarnya saya akan membuat 40 macam kisah agar sesusai dengan angka 40 dari ulang tahun imamat. Tetapi dengan 15 kisah saya merasa sudah banyak makan halaman. Karena buku itu hanya akan saya bagikan, maka saya harus mengingat keuangan saya.

Yang jelas kisah-kisah itu selalu bertolak dari pengalaman tidak enak bahkan derita. Pengalaman yang tampaknya bagi orang lain memalukan juga mewarnai. Bahkan saya memulai kisah-kisah saya yang dulu paling membuat saya hanya menyimpan didalam hati dan tak saya buka di hadapan orang lain. Saya bercerita tentang latar belakang keluarga yang tampaknya bagi banyak orang harus disembunyikan. Saya dengan enak omong tentang bapak saya yang meninggalkan ibu dan bercerai sejak saya masih di kandungan. Bahkan saya juga menuliskan pengalaman saya punya tiga kali ibu tiri. Saya juga mengetengahkan pengalaman sebagai orang cacad sejak usia satu tahun. Selain itu ada kisah-kisah lain yang membuat saya diketahui oleh banyak orang akan hal yang tidak memberikan kebanggaan.

Tentang omong kekurangan itulah yang kemudian membuat saya bertanya dalam hati. Kata-kata Rm. Hartanta “Sebenarnya membuka kekurangan diri itu sukar lho” membuat saya teringat bahwa sayapun mengalami kesukaran. Bahkan saya dulu kerap dijangkiti rasa takut penuh kekuatiran kalau berjumpa dengan orang lain. Saya takut ditanya “Siapakah ibu kandungmu?” dan “Mengapa kamu bisa pincang?” Ketika kanak-kanak saya juga kerap tidak mudah bergaul dengan kanak-kanak lain karena sering mendapatkan ejekan atas kaki kiri pincang. Akan tetapi di kemudian hari rasa takut dan malu itu memang menghilang dari dalam lubuk hati saya.

Sesudah Ikut Yesus

Rasa malu akan latarbelakang hidup terutama keluarga memang menghilang dalam diri saya. Saya juga tidak takut untuk diketahui orang lain bahkan mensharingkannya kepada orang lain. Tetapi bagaimana awal mula menghilangnya rasa malu dan kuatir itu terjadi, saya tidak mampu mengetahui. Peristiwa apakah yang membuat saya berhenti malu dan kuatir akan realita sejarah keluarga dan kondisi kepincangan, saya tak dapat menemukannya. Kalau ada orang bertanya atau kalau saya membagikan pengalaman, saya hanya memiliki kata kunci untuk menjawab, yaitu “Sejak saya ikut Yesus”.

Anugrah iklim paguyuban

Kalau saya mengingat-ingat, merasa-rasakan, dan merenung-renungkan kehidupan saya sebagai pengikut Tuhan Yesus, kebersamaan hidup umat Katolik Kring (kini Lingkungan) Ambarrukmo sungguh menghadirkan makna besar. Saya mulai ikut pelajaran agama calon baptis Katolik ketika duduk di kelas 3 SMP. Sebagai calon baptis Saya ikut pelajaran agama di Paroki Kristus Raja Baciro langsung dibawah bimbingan Rama Prajasuta, SY. Tetapi dalam kesendirian saya akan berada dekat dengan keluarga Bapak Kaslan di Ambarrukmo. Dari sini saya mengenal umat Katolik lewat sembahyangan rutin setiap Kamis sore sebelum Jumat Pertama. Saya juga biasa berada di rumah Pak Kaslan bersama anak-anak kecil yang kemudian bersama beberapa remaja menjadi kelompok yang bernama Putaka kepanjangan dari Putra Cinta Kasih. Dengan Putaka sembahyangan kanak-kanak pun terjadi sebulan sekali. Selain itu anak-anak bersama saya juga biasa main praktis setiap hari di rumah Pak Kaslan. Ketika SMA saya juga ikut terlibat aktif dalam Mudika (Muda-mudi Katolik) Kring Ambarrukmo.

Saya menjadi bergitu dekat dengan umat Kring Ambarrukmo mungkin karena biasa mengerjakan ini itu untuk Kring. Tetapi, kalau kini aku mengingat semua itu, yang paling teringat adalah kerianganku bersama umat. Memang, saya sering terlibat konflik dengan beberapa warga bahkan senior muda dan tua bila ada pembicaraan bersama. Tetapi saya selalu merasakan kebebasan jiwani karena tidak pernah mendengar soal “Siapa ibu kandungku” dan “Mengapa aku pincang”. Ketika hal ini saya utarakan kepada Pak Kaslan mengapa tak ada yang omong tentang itu, beliau berkata “Umumnya orang sudah tahu. Kalau ada yang omong, itu hanya karena gatal bibir”. Para tokoh Kring banyak yang menerima saya dengan penuh kasih. Barangkali mereka tahu saya hanya sendiri di rumah Ambarrukmo karena bapa dan ibu berada di rumah lain. Saya selalu mendapatkan peran dalam acara-acara Kring. Bahkan ketika di gereja Stasi Mrica, gereja Sanata Dharma, almarhum Rama Kardinal Darmajuwana akan datang memimpin Misa Minggu, saya ditujuk menjadi pembaca Kitab Suci. Padahal pada waktu itu saya belum baptis.Tetapi Ketua Kring bilang suara saya bisa lantang dan las-lasan (tempo pelan).

Peneguhan Terang Iman

Sebenarnya sejak menjadi calon baptis saya begitu amat terkesan dengan kisah pribadi Yesus. Kebetulan saya menemukan buku Babad Suci yang berisi kisah-kisah Kitab Suci. Dari sini saya kemudian juga terbiasa membaca Injil, empat buku pertama dari Kitab Suci Perjanjian Baru. Lubuk hati saya sungguh amat tersentuh kalau membaca bagaimana Tuhan Yesus bertindak ketika menghadapi orang-orang cacad terutama yang lumpuh. Saya juga merasa ikut mendapatkan perhatian besar dari Tuhan Yesus. Kemudian lubuk hati saya juga amat terbelai ketika membaca bagaimana sikap-Nya terhadap orang-orang berdosa. Perempuan tertangkap basahpun tidak mendapatkan hukuman. Dalam bayangan kehidupan keluarga saya sebenarnya juga penuh cela dan noda. Tetapi di hadapan Tuhan Yesus akan ada penerimaan pengampunan tanpa mengungkit-ungkit kesalahan.

Sikap Tuhan Yesus itu dalam permenungan saya terjadi di tengah kehidupan bersama umat Kring Ambarrukmo yang saya alami kala SMP dan SMA pada tahun-tahun pertama kekatolikan. Dalam perkembangan hidup, terutama sesudah masuk Seminari dan kemudian menjadi imam, saya yakin bahwa pengalaman tahun-tahun pertama kekatolikan itu adalah tahun-tahun pertama saya mengalami hadirat Tuhan Yesus. Bukankah “di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka." (Mat 18:20). Di dalam Yesus saya sungguh mengalami aroma surgawi, yaitu sukacita alami terbebas dari rasa malu karena realita latarbelakang keluarga dan kecacadan. Bukankah di dalam firdaus orang bisa “telanjang ..... tetapi mereka tidak merasa malu.”  (Kej 2:25)

Kelemahan itu Kekuatan

Ketika merenungkan kekurangan bertolak dari peristiwa omong bahwa saya memakai pempers ketika sharing dalam Misa di Bintaran 31 Januari 2021, saya teringat salah satu pertunjukkan wayang kulit yang pernah saya tonton tempo dulu. Pada waktu itu cerita yang disajikan adalah Arjuna Wiwaha. Dalam adegan Arjuna melawan Niwatakawaca, seorang raja raksasa, Arjuna tak mampu mengatasi kesaktian musuhnya. Arjuna kemudian lari menemui Semar, abdi setia yang sebenarnya adalah dewa kahyangan yang menjadi manusia. Semar memberi tahu “Temukan kunci kehebatannya. Itulah kelemahannya”. Arjunapun mampu memenangkan perang karena mampu mengetahui ajian Newatakawaca yang menempul di tenggorokannya. Ketika Newatakawaca tertawa terbahak-bahak menikmati kemenangan, secepat kilat Arjuna meluncurkan panah memusnahkan ajian itu.

Kisah wayang itu membuat saya menyadari kemunginan kunci kekuatan yang membuat saya termasuk yang dimaui oleh banyak umat. Saya tahu dan sadar ada pihak-pihak yang tidak menyukai. Tetapi bagaimanapun juga ada banyak umat menyukai sehingga ada banyak dukungan terhadap program dan kegiatan saya hingga kini di Domus Pacis, rumah tua para rama praja Keuskupan Agung Semarang. Kalau itu masuk dalam renungan, saya selalu menyadari kesemuanya barangkali karena saya berani blak-blakan terhadap umat. Kalau nyatanya akan tak baik dan gagal atau paling tidak mengalami kesulitan menjalani keutamaan iman tertentu, saya akan berterus terang. Saya tak malu mengatakan kekurangan termasuk latarbelakang keluarga dan kecacadan. Saya menyadari berbagai kekeliruan hidup justru terjadi ketika saya walau dalam hati menyombongkan diri dengan menempatkan teman atau tokoh lain dibawah kualitas saya. Maka, kalau Niwatakawaca menjadi lemah karena kekuatannya, saya mengalami bahwa kekuatan saya justru dalam keterbukaan akan kekurangan dan kelemahan saya. Bukankah “jika aku lemah, maka aku kuat.” (2Kor 12:10)?

Domus Pacis, 4 Februari 2021

1 comments:

Sunflower said...

ayo segera bergabung dengan saya di D3W4PK
hanya dengan minimal deposit 10.000 kalian bisa menangkan uang jutaan rupiah
ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142
terimakasih ya waktunya ^.^

Post a Comment