Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Saturday, February 29, 2020

Lamunan Pekan Prapaskah I

Minggu, 1 Maret 2020

Matius 4:1-11

4:1. Maka Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis.
4:2 Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus.
4:3 Lalu datanglah si pencoba itu dan berkata kepada-Nya: "Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti."
4:4 Tetapi Yesus menjawab: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah."
4:5 Kemudian Iblis membawa-Nya ke Kota Suci dan menempatkan Dia di bubungan Bait Allah,
4:6 lalu berkata kepada-Nya: "Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah, sebab ada tertulis: Mengenai Engkau Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu."
4:7 Yesus berkata kepadanya: "Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!"
4:8 Dan Iblis membawa-Nya pula ke atas gunung yang sangat tinggi dan memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia dengan kemegahannya,
4:9 dan berkata kepada-Nya: "Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku."
4:10 Maka berkatalah Yesus kepadanya: "Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!"
4:11 Lalu Iblis meninggalkan Dia, dan lihatlah, malaikat-malaikat datang melayani Yesus.

Butir-butir Permenungan
  • Tampaknya, ada gambaran bahwa hidup terbuka pada bimbingan Roh membuat orang selalu berada dalam keadaan baik. Dia akan berada dalam keadaan aman raga dan jiwanya.
  • Tampaknya, ada gambaran bahwa dengan rajin menjalani puasa sesuai ajaran agama orang berada penuh dalam tuntunan Roh. Dia akan dibebaskan dari lingkungan jiwa buruk.
  • Tetapi BISIK LUHUR berkata bahwa, bagi yang biasa bergaul dekat dengan kedalaman batin, sekalipun orang menjadi baik karena terbuka pada tuntunan Roh Kudus, makin baik seseorang makin mampulah dia berada dalam lingkungan yang berjiwa keiblisan dan membuat kaum iblis kehilangan daya pengaruh. Dalam yang ilahi karena kemesraannya dengan gema relung hati orang sadar bahwa keterbukaan terhadap bimbingan Roh tidak membuat orang bebas dari jamahan iblis tetapi memiliki daya tahan jiwani untuk tetap berada dalam ketaatan imani.
Ah, berpuasa itu yang pokok tidak makan minum sesuai petunjuk agama.

Minggu Prapaskah , thn. A, 1 Maret 2020 (Mat 4:1-11)

diambil dari https://unio-indonesia.org/2020/02/28; ilustrasi dari koleksi Blog Domus


IBLIS, PENGGODA, SATANA DAN KEBESARAN TUHAN
Rekan-rekan yang budiman!
Karena Injil bagi Minggu Prapaskah kali ini (Mat 4:1-11) akan diuraikan dengan panjang lebar oleh Matt di bawah, maka catatan saya berikut hanya menyangkut bacaan pertama, yaitu Kej 2:7-9 dan 3:1-7. Disebutkan pada bagian awal bagaimana Tuhan membentuk manusia dari “debu tanah”, yakni bahan yang ujudnya gumpalan-gumpalan berserakan belaka. Inilah cara Alkitab menggambarkan sisi ringkih dari manusia. Namun sentuhan-sentuhan tangan ilahi memberinya bentuk. Begitu pula, hembusan nafas hidup dariNya menjadikannya makhluk yang hidup. Ini bukan hanya cerita melainkan penegasan iman yang berani. Bila tetap bersentuhan dengan Yang Mahakuasa dan membiarkan diri dihidupi olehNya, maka serapuh dan seringkih apapun manusia akan se-nafas denganNya. Karena itu manusia juga memiliki tempat kehidupan yang membahagiakan di firdaus. Tetapi, seperti dikisahkan dalam bagian kedua, manusia akhirnya menjauh dari padaNya karena terpukau ajakan sang nakhasy (kata Ibrani bagi ular), yakni kekuatan-kekuatan yang memakai ujud seperti manusia, bisa bicara, bisa meyakin-yakinkan, tetapi yang melilit dan akhirnya melumpuhkan.
Kisah memakan buah larangan tentu sudah lazim dikenal. Buah itu, bila dimakan, menurut sang nakhasy, akan membuat manusia terbuka matanya dan tahu tentang “yang baik dan yang jahat” , artinya jadi mahatahu seperti sang Pencipta sendiri. Tetapi baiklah kita jeli menafsirkan hal ini dan tidak segera menghukum dorongan ingin tahu sebagai kesombongan manusia di hadapan Tuhan. Tak ada jeleknya  kan ingin mengetahui apa saja. Bahkan bukankah ini ciri hakiki manusia? Coba kita ingat, manusia ditegaskan sebagai makhluk yang se-nafas dengan Dia Juga diceritakan dalam kisah firdaus yang tidak ikut dibacakan hari ini, bagaimana manusia dipimpin Pencipta untuk memberi  nama kepada semua makhluk hidup yang diciptakanNya (Kej 2:19-20). Begitu maka ia diberi kemampuan mengetahui apa saja yang bisa diketahui. Bukan di situ letak permasalahan dan kendala manusia. Memang dalam kisah kejatuhan manusia ini ditandaskan pula bahwa keinginan tahu akan segala sesuatu itu tidak tercapai dan mereka tidak menjadi seperti Tuhan sendiri. Yang diperoleh hanyalah kesadaran mengenai keadaan diri sendiri: telanjang (Kej 3:7). Begitu maka manusia menyadari keterpisahannya dengan Yang Ilahi.
Yang membuat manusia menjauh adalah ketidaksetiaan terhadap pesan agar tidak memakan buah pengetahuan baik dan jahat yang bisa mematikan (Kej 2:17). Bila dibaca ulang, akan menjadi jelas bahwa bukan larangannyalah yang ditekankan, melainkan pesan agar menjaga kehidupan yang dihembuskan ke dalam diri manusia. Manusia diminta agar memelihara keadaan se-nafas denganNya. Tapi gagal.
Setelah makan buah larangan, memang manusia menyadari keadaan diri sendiri, tetapi mengapa tidak langsung mati seperti terungkap dalam larangan tadi? Bisa dijelaskan bahwa maksudnya ialah manusia menjadi makhluk yang mengalami kematian, seperti kenyataannya. Akan tetapi bisa dilihat sisi lain dari kejadian ini. Memang sebenarnya kematian akan langsung terjadi pada saat manusia melanggar pesan tadi dan hanya kemurahan Tuhan sendirilah yang mengurungkan kematian langsung itu. Ini kiranya warta yang tersirat dalam kisah di atas. Semakin didalami, semakin terang bahwa kisah ini bukannya berpusat pada hukuman melainkan pada kerahimanNya. Memang manusia kini mengalami jerih payahnya menjaga nafas hidup yang diberikan Pencipta. Tetapi ia tetap disertainya dalam pelbagai cara. Dan hanya dengan demikianlah bisa dimengerti betapa keramatnya pesan menjaga kehidupan tadi. Dalam Injil kali ini oleh Matt akan ditampilkan seorang manusia yang mampu berteguh menghayati pesan ilahi menjalani kehidupan yang berasal dari padaNya seperti apa adanya. Tetapi baiklah kita dengarkan uraian Matt sendiri. Selamat menikmatinya!
A. Gianto
=================================================
Kawan-kawan yang baik!
Dengar-dengar pada hari Minggu pertama masa puasa sebelum paskah tahun ini dibacakan kisah Yesus dicobai di padang gurun. Tahun lalu dari versi Luc, tahun depan tentunya dari Mark. Saya dan Luc (Luk 4:1-13) mengolah kembali catatan Mark (Mrk 1:12-13) dengan menyertakan bahan mengenai pembicaraan Yesus dengan penggodanya yang belum tersedia ketika Mark menulis. Seluk-beluk selanjutnya tanya Gus; ia gemar menduga-duga maksud kami. Tapi ia malah minta saya menjelaskan sendiri, “biar rada otentik” bujuknya.
Sebelum menulis Mat 4:1-11, saya sudah dengar dari Mark bahwa Yesus dibawa Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis selama 40 hari. Maksudnya, Yesus dibawa Roh sampai ke tempat itu dan tetap disertai olehNya di sana selama itu. Luc memperjelas dengan mengatakan Yesus dibimbing Roh “di” padang gurun. Jadi Yesus tidak ditinggalkan Roh yang turun ke atasnya pada waktu menerima baptisan (Mrk 1:10 Mat 3:16 Luk 3:22). Catatan Oom Hans malah menyebut Yohanes Pembaptis melihat Roh turun dari langit dan tinggal di atas Yesus (Yoh 1:32). Tolong ini diingat bila kalian menguraikan teks kami.
Tak usah kisah itu ditafsirkan sebagai kisah tentang orang yang luar biasa laku tapanya sehingga mampu mengalahkan godaan sebesar apapun seperti yang digambarkan dalam kakawin Arjunawiwaha, mahakarya sastra Jawa Kuno itu. Kami tidak ada maksud menampilkan Yesus sebagai manusia sakti atau petapa digdaya, ksatria suci yang siap menempur si angkara murka Niwatakawaca, bukan pula sebagai manusia teladan yang dijadikan ideal. Tujuan kami berbeda. Yesus kami wartakan sebagai manusia yang disertai Roh, bukan agar dikagumi dan dicontoh, melainkan agar diikuti. Dia itu yang diutus Yang Mahakuasa kepada semua orang untuk membawa kita semua kembali ke diri kita yang sejati.
Ada tiga godaan. Yang pertama yakni mau mengurus semuanya sendiri sehingga tak ada kesempatan mendengarkan isyarat-isyarat ilahi. Akhirnya Yang Ilahi tak masuk dalam pola bertingkahlaku. Mau merebut yang termasuk wilayah Sana. Ini godaan besar. Kami mengatakannya dengan memakai lambang dari dunia orang Yahudi. Yesus lapar dan digoda agar mengubah batu jadi roti. Ingat kisah umat pilihan yang kelaparan dan kehausan di padang gurun dulu dan mulai menyangsikan Tuhan, mereka datang ke Musa minta mukjizat (Kel 17:1-7). Ini namanya mencobai Tuhan. Mukjizat akhirnya terjadi, tapi mukjizat yang diminta dengan paksa itu cuma menepis rasa haus, tidak memuaskan batin. Yesus tidak memaksa batu jadi makanan, seperti dulu Musa yang terpaksa membuat padas kersang memancarkan air segar. Memang Yesus lapar, tapi ia tidak menukar kesertaan Roh dengan makanan. Ia tetap Anak Allah, maksudnya, orang yang amat dekat denganNya sampai dapat membiarkanNya sendiri terlihat. Ia anak Allah bukan dalam arti yang hendak diisikan oleh penggoda: pembuat mukjizat untuk diri sendiri. Yesus yang disertai Roh itu bersedia hidup dari sabda ilahi yang menyebutnya “anak terkasih” yang diperdengarkan pada saat ia dibaptis.
Godaan kedua lebih berat. Menjatuhkan diri dari puncak Bait Allah agar Allah mau tak mau menyelamatkan. Jadi memaksaNya bikin mukjizat! Apakah Ia membiarkannya binasa terbanting? Dan malaikat-malaikat akan berpangku tangan nonton saja? Kan tertulis dalam Mzm 91:11-12 bahwa Allah akan menyuruh malaikat-malaikat menadahi kakinya agar tak terantuk batu, begitulah bisikan Iblis. Ia juga mahir memakai Kitab Suci dan menafsirkannya bagi tujuan sendiri. Tetapi Roh menjernihkan budi Yesus sehingga ia tetap melihat kedudukan dirinya sebagai Anak Allah sejati. Tidak mau mencobai Dia. Roh juga mengarahkan ingatan pada ayat suci Ul 6:16 yang melarang orang membiarkan diri dikuasai perasaan ragu akan Yang Mahakuasa. Jadi, tak usah gentar pada Iblis, ada Roh yang menyertai kalian. Biarkan Roh menjernihkan kembali tafsir yang dikisruhkan Iblis.
Godaan ketiga makin gencar. Yesus ditawari kekuasaan atas seluruh dunia beserta kemegahannya. Syaratnya, sujud menyembah Iblis. Semakin dipikir semakin mengerikan. Iblis bisa menawarkan dunia dan kemegahannya. Berarti semuanya bisa dialihmilikkan begitu saja oleh Iblis! Dan kalian hidup di dunia yang begitu itu. Untunglah ini baru wacana, belum kejadian yang nyata. Baru menjadi nyata kalau Yesus menurutinya. Syukur tidak. Roh tetap menyertainya dalam berteguh pada pilihannya. Karena itu penggoda kehabisan akal dan tersingkir oleh daya Roh.
Nanti Yesus menjadi Kristus Raja Alam Semesta seperti kalian tahu. Tapi ini terjadi karena ia tetap meniti jalan ilahi, tidak mengikuti lorong satani. Ia tidak mendahului langkah-langkah Roh.
Dalam semua godaan itu Yesus berpegang pada ayat-ayat suci, semuanya dari Kitab Ulangan. (Ay. 4 = Ul 8:3; ay. 7 = Ul 6:16; ay. 10 = Ul 6:13.) Apa intinya? Seruan untuk mementingkan Dia Yang Mahatinggi itu. Tiga ayat suci itu memberi ruang bagi sabda yang datang dari Dia, bagi kesungguhanNya melindungi, bagi kebesaranNya.
Mau mengenali si penggoda dari dekat? Dalam petikan yang kalian bacakan itu ia tampil sebagai “diabolos” (= Iblis, ay. 1, 5, 8, 11), “peirazoon” (= pembujuk, ay. 3), dan “satana” (= setan, ay. 10). Yang ketiga ini bahkan diucapkan oleh Yesus sendiri. Sayang dalam terjemahan LAI, kata “setan” dalam ay. 10 itu cuma dialihkan jadi “Iblis” –  kata yang sudah beberapa kali dipakai. Yesus kan menggertak, “Enyahlah, Setan!” Hardikan ini terdengar sekali lagi dalam kesempatan lain, lihat di bawah.
Penggoda tampil pertama-tama sebagai “Iblis”, Yunaninya “diabolos”. Menurut arti kata itu, pekerjaannya ialah memecah belah pikiran dan membuat hati bercabang. Ia mau menduakan perhatian Yesus yang sepenuhnya terarah kepada Bapanya. Iblis mau membuatnya berorientasi pada dia juga. Perhatikan yang dikatakan dalam ay. 8 ketika Iblis menawari Yesus kekuasaan akan dunia dan kemegahannya. Ia tidak meminta Yesus meninggalkan Yang Mahakuasa. Iblis cuma ingin agar dirinya ikut diakui oleh Yesus. Itu cukup. Jadi inti godaannya ialah menyisihkan sedikit tempat bagi Iblis dengan imbalan seluruh isi dunia dan kebesarannya. Pemikirannya begini: ah, Yang Mahakuasa kan sudah punya apa saja, kalau kita ada simpanan rahasia sedikit tak apa kan? Apalagi kalau sedang tak beres hubungan dengan Dia, ke mana kita ngumpet?
Tetapi Yesus mengusir Iblis dan menghardiknya sebagai “setan”. Kalian ingat peristiwa pemberitahuan pertama mengenai penderitaan Yesus? Langsung Petrus berusaha mencegah agar Yesus tidak terus berjalan ke arah penderitaan itu. Yesus berpaling dan mengucapkan (Mat 16:23 Mrk 8:33) “Enyahlah setan!” seperti ketika menggertak penggoda tadi. Petrus mau menduakan perhatian Yesus. Lihat betapa lembutnya godaan itu. Setan pintar menabur benih perseteruan di dalam batin manusia sendiri. Ia menuduh-nuduh apa cara hidupmu ini benar, apa yang ini yang terbaik, kok ndak gini saja, dst. Ia membimbangkan, ia membuat orang jadi ragu-ragu. Ia itu bisa terasa amat dekat, bahkan kayak orang kepercayaan. Dalam Injil, setan itu bukan jejadian yang membikin bulu kuduk berdiri kayak yang disuguhkan tontonan horor di TV kalian. Ia punya wajah kalem tapi diam-diam menjerumuskan ke jalan buntu.
Heran bahwa hardikan keras kepada Petrus di atas tidak ikut disebut Luc? Tapi kawan kita ini kiranya mau menyampaikannya dengan cara lain. Segera setelah pemberitahuan pertama mengenai sengsara (Luk 9:22), Luc mengutipkan beberapa ajaran tegas Yesus tentang arti mengikutinya…, baca Luk 9:23-27. Seluk-beluknya tanya sama Luc sendiri, atau minta Gus njelasin.
Bagaimana membeda-bedakan yang benar dari yang tipuan? Sendirian kita tak bisa. Hanya dengan bantuan Roh kita akan mendapati jalan kebenaran. Tak bisa dengan kekuatan sendiri saja. Tak mungkin dengan keberanian belaka. Tak cukup dengan laku tapa dan askesis melulu. Bahkan berkutat menjalani retret Ignatian sebulan tak akan membekali kalau dalam waktu itu belum bisa belajar membiarkan diri disertai Roh.
Memang tak gampang mengenali “pembujuk”, Yunaninya “peirazoon” dan maknanya “dia yang berusaha meyakin-yakinkan dengan niat menipu dan menjatuhkan”. Orang dulu paling takut pada cobaan seperti ini. Pasti kalah. Pada akhir doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus dan diteruskan Luc secara apa adanya (Luk 11:4) itu ada permohonan, “Dan janganlah masukkan kami ke dalam percobaan”. Untuk menjelaskan lebih lanjut, saya perluas rumusannya dengan “tapi bebaskanlah kami dari yang jahat”(Mat 6:13). Godaan itu alam yang jahat yang amat mengerikan. Manusia tak bisa melawan. Satu-satunya yang bisa dilakukan ialah minta Bapa melepaskan dari kuasa jahat itu. Dan Ia menjalankannya dengan kekuatan yang datang dariNya sendiri, yakni Roh. Ingat juga, nanti di Getsemani Yesus tergoda untuk ambil jalan lain, tapi ia tetap mendekatkan diri kepada Bapanya (Mrk 14:36 Mat 26:39 Luk 22:42).
Begitulah di padang gurun Yesus berjumpa dengan “diabolos”, Iblis pemecah belah, bertemu “peirazoon”, pembujuk yang menyebar benih permusuhan, dan bertatap muka dengan “setan” yang mau menyeretnya ke jalan sesat. Yesus berhasil keluar dari padang gurun karena ia tetap disertai Roh. Tokoh utama dalam kisah di padang gurun itu Roh sendiri! Kalian amati gerak geriknya ketika menyertai Yesus dan ambil hikmatnya!
Bagaimana kita tahu kita didampingi Roh? Bila kita ikuti jalan Yesus, bila tidak kita sangsikan kesungguhan Yang Mahakuasa, dan bila kita membiarkan diri dituntun kekuatan dari atas untuk mengerti kebesaran ilahi yang sesungguhnya. Itulah langkah-langkah membuka diri bagi bimbingan Roh.
Semoga kalian tetap didampingi Roh!
Matt

Friday, February 28, 2020

CATATAN PENDEK 290220


Berinspirasi dari: Luk. 5:27-32
  1. Tuhan hadir untuk pertobatan mereka yang berdosa.
  2. Pertobatan mereka yang berdosa (juga bersalah) menggembirakan hati Tuhan dan tentunya juga umat manusia.
Selamat merenung
MoGoeng

Lamunan Prapaskah

Hari Sesudah Rabu Abu
Sabtu, 29 Februari 2020

Lukas 5:27-32

5:27. Kemudian, ketika Yesus pergi ke luar, Ia melihat seorang pemungut cukai, yang bernama Lewi, sedang duduk di rumah cukai. Yesus berkata kepadanya: "Ikutlah Aku!"
5:28 Maka berdirilah Lewi dan meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Dia.
5:29 Dan Lewi mengadakan suatu perjamuan besar untuk Dia di rumahnya dan sejumlah besar pemungut cukai dan orang-orang lain turut makan bersama-sama dengan Dia.
5:30 Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat bersungut-sungut kepada murid-murid Yesus, katanya: "Mengapa kamu makan dan minum bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?"
5:31 Lalu jawab Yesus kepada mereka, kata-Nya: "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit;
5:32 Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat."

Butir-butir Permenungan
  • Tampaknya, ada gambaran bahwa dalam masa puasa orang beragama melatih diri untuk hidup selaras dengan kehendak Tuhan. Untuk ikut kehendak Tuhan orang harus hidup tertib menyingkiri pola hidup tak beraturan.
  • Tampaknya, dalam masa puasa orang mengurangi makan dan minum. Orang belajar menahan diri agar hidup baik dan menjauhi pergaulan dengan orang-orang pengumbar nafsu.
  • Tetapi BISIK LUHUR berkata bahwa, bagi yang biasa bergaul intim dengan kedalaman batin, sekalipun dalam hidup selalu menjaga diri sesuai dengan perintah agama, orang belum tentu sudah sungguh ber-Tuhan kalau di dalam pergaulan masih pilih-pilih bahkan menolak orang-orang ngawur yang tak memperhatikan penjagaan diri. Dalam yang ilahi karena kemesraannya dengan gema relung hati orang tidak akan memonopoli kebaikannya hanya untuk diri sendiri tetapi untuk siapapun terutama untuk mendekatkan kebaikan itu di antara orang-orang tidak baik.
Ah, mana mau orang-orang bejat menerima kebaikan.

Santo Romanus

diambil dari katakombe.org/para-kudus Hits: 3142 Diterbitkan: 28 Juli 2013 Diperbaharui: 31 Mei 2014

  • Perayaan
    28 Februari
  •  
  • Lahir
    Tahun 390
  •  
  • Kota asal
    Upper Bugey, Perancis
  •  
  • Wafat
    Tahun 465 | Oleh sebab alamiah.
    Dimakamkan di the abbey of Beaume
  •  
  • Kanonisasi
    Pre-Congregation

Sebagai seorang pemuda, Romanus dikagumi semua orang oleh karena kebaikan hatinya. Ia memiliki hasrat yang kuat untuk menjadi seorang kudus. Karena ia melihat bahwa di dunia amatlah mudah orang melupakan Tuhan, maka Romanus memutuskan untuk hidup sebagai seorang pertapa. Terlebih dahulu, ia meminta nasehat dari seorang rahib yang kudus dan kemudian berangkat.
Ia membawa sebuah buku bersamanya, yaitu Hidup Para Bapa dari Padang Gurun tulisan Cassian. Ia juga membawa serta benih-benih tanaman dan beberapa peralatan. Dengan perlengkapan tersebut, Romanus masuk ke dalam hutan di pegunungan Jura antara Swiss dan Perancis. Ia menemukan sebuah pohon yang amat besar dan tinggal di bawahnya. Romanus melewatkan waktunya dengan berdoa dan membaca bukunya. Ia juga menanami serta merawat kebunnya, dengan tenang menikmati alam sekitarnya.
Tak lama kemudian, adiknya - Santo Lupicinus - bergabung dengannya. Romanus dan Lupicinus amat berbeda kepribadiannya. Romanus keras terhadap dirinya sendiri. Tetapi, ia lemah lembut dan penuh pengertian terhadap orang lain. Lupicinus keras serta kasar terhadap dirinya sendiri dan biasanya demikian juga ia menghadapi orang lain. Namun demikian, maksudnya baik. Kedua bersaudara itu saling mengerti satu sama lain dan hidup rukun bersama.

Banyak orang kemudian datang untuk bergabung dengan mereka. Orang-orang itu pun juga ingin menjadi rahib, maka mereka mendirikan dua buah biara. Romanus menjadi pemimpin di biara yang satu dan Lupicinus menjadi pemimpin di biara yang lainnya. Para rahib itu hidup sederhana dan keras. Mereka banyak berdoa dan mempersembahkan kurban-kurban mereka dengan sukacita. Mereka melakukan silih untuk mempererat panggilan hidup mereka. Mereka bekerja keras menanami serta memelihara kebun mereka dan senantiasa hening sepanjang waktu. Mereka memilih untuk hidup demikian oleh sebab perhatian utama mereka adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Cara hidup mereka membantu mereka untuk mencapai tujuan rohani mereka.

Thursday, February 27, 2020

CATATAN PENDEK 280220


Berinspirasi dari: Mat. 9:14-15
  1. Setiap momen memuat sikap yang sepatutnya diikuti.
  2. Menyikapi momen dengan tepat melebarkan jaringan relasi.
Selamat merenung
MoGoeng

Tujuh Bulan Tidak Mandi


Rm. Suntoro memang maju pesat berkaitan dengan penyakitnya. Sesudah lepas sonde yang dideritanya selama 4 bulan, seusai bulan keenam selang tenggorokan pun bebas dari lehernya. Kini sesudah beberapa hari beliau sudah dapat berbicara dengan lancar. Suaranyapun terdengar jelas dengan volume yang dapat diatur keras lembutnya. Sejak Desember 2019 Rm. Suntoro sudah dapat makan bersama di kamar makan Domus Pacis Puren.


Tetapi siang ini, 26 Februari 2020, Rm. Suntoro lama tidak muncul di kamar makan. Rm. Bambang berpikir apakah beliau berpuasa karena ini adalah hari Rabu Abu. Tetapi, bukankah beliau harus menyantap obat tiga kali sehari? "Apa turu kekeselen entas cukur?" (Apakah ketiduran karena kecapekan cukur rambut?) tanya Rm. Bambang dalam hati karena tadi pramurukti meminjam alat cukur rambut di kamarnya. Yang mencukur adalah Rm. Wito. Ketika Rm. Bambang sudah menyelesaikan makan siangnya, tetapi rama-rama lain belum, tiba-tiba Rm. Suntoro masuk dengan kursi rodanya didorong oleh karyawan. "Wah, ngganthenge bar cukur rambut" (Wah, sungguh ganteng sesudah potong rambut) komentar Rm. Bambang yang disahut oleh Rm. Suntoro "Bar adus. Wis pitung sasi ora adus nggebyur"(Aku baru saja mandi. Sudah tujuh bulan tidak diguyur air). Selama tujuh bulan beliau memang hanya dilayani dengan lap basah. Kini memang tampak segar dan menyantap makan siang dengan lahap. Rama serumah memang tidak ada yang puasa. Maklumlah semua sudah di atas 60 tahun.

Lamunan Prapaskah

Hari Sesudah Rabu Abu
Jumat, 28 Februari 2020

Matius 9:14-15

9:14. Kemudian datanglah murid-murid Yohanes kepada Yesus dan berkata: "Mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?"
9:15 Jawab Yesus kepada mereka: "Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berdukacita selama mempelai itu bersama mereka? Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.

Butir-butir Permenungan
  • Tampaknya, di dalam setiap agama ada perintah-perintah wajib. Ini harus ditaati oleh umatnya.
  • Tampaknya, perintah-perintah wajib itu menyangkut hari-hari tertentu dan hal-hal yang harus dilakukan. Umat harus menjalani sehingga terjadi kekhasan tindakan pada hari-hari tertentu.
  • Tetapi BISIK LUHUR berkata bahwa, bagi yang biasa bergaul akrab dengan kedalaman batin, sekalipun taat dan rajin menjalani wajib-wajib agama, orang sadar bahwa kewajiban itu berisi nilai-nilai kehidupan yang pelaksanaannya sesuai situasi kongkret sehingga dapat terjadi keberagaman dalam tindakan. Dalam yang ilahi karena kemesraannya dengan gema relung hati orang menjalani agama sebagai sarana beriman sesuai dengan perkembangan situasi hidup dan budaya setempat.
Ah, beragama benar itu kalau melakukan praktek keagamaan sama dengan umat sedunia.

Santa Anna Line

diambil dari katakombe.org/para-kudus Hits: 3053 Diterbitkan: 23 Maret 2017 Diperbaharui: 27 Oktober 2019

  • Perayaan
    27 Februari
  •  
  • Lahir
    Sekitar tahun 1563
  •  
  • Kota asal
    Dunmow Essex Inggris
  •  
  • Wafat
    Martir | Digantung di Tyburn London Inggris pada tanggal 27 Februari 1601
  •  
  • Venerasi
    8 Desember 1929 oleh Paus Pius XI (decree of martyrdom)
  •  
  • Beatifikasi
    15 December 1929 oleh Paus Pius XI
  •  
  • Kanonisasi
    25 Oktober 1970 oleh Paus Paulus VI

Santa Anna Line hidup di Inggris pada masa Reformasi Anglikan, saat dimana agama Katolik dinyatakan terlarang dan para penganutnya akan dihukum mati. Ia lahir pada sekitar tahun 1563 di Dunmow Essex Inggris sebagai putri sulung dari William Higham of Jenkyn Maldon, seorang Calvinist Puritan (para pengikut fanatik tokoh reformasi Protestan; John Clavin) yang makmur dan berpengaruh. Nama kecilnya adalah  Alice Higham.
Disekitar tahun 1580 Alice dan adiknya William Higham, dalam terang Roh Kudus, mengambil keputusan berani untuk menjadi anggota gereja Katolik.  Akibat keputusan ini, mereka diusir dari rumah dan dicabut hak waris-nya. Namun semua itu sama sekali tidak menggoyahkan iman kedua bersaudara ini.  Alice dan William Higham telah menemukan Mutiara Surgawi dan mereka tidak akan melepaskannya lagi.
Dikalangan umat katolik Inggris yang sedang teraniaya, nama Alice Higham disamarkan menjadi “Anna”, untuk melindunginya dari kejaran polisi dan mata-mata keluarganya. Pada tahun 1583, Alice menikah dengan Roger Line, seorang pemuda Katolik Inggris yang saleh. Sejak saat itulah ia dikenal sebagai Anna Line, sesuai nama suaminya.
Roger Line bersama William Higham ditangkap saat sedang mengikuti misa hari minggu. Mereka berdua lalu disiksa dan dipenjarakan karena iman mereka. William Higham dapat dibebaskan dengan membayar uang jaminan, sementara Roger Line dibuang ke Flanders Belgia. Ia meninggal sebagai seorang martir Kristus di pengasingan tersebut pada tahun 1594.
Sejak suaminya dibuang ke Flanders, Anna membaktikan hidupnya untuk membantu para imam Katolik yang dikejar-kejar oleh polisi kerajaan. Ketika pater John Gerard, SJ membuka sebuah rumah perlindungan untuk menyembunyikan para imam Jesuit di Inggris, Anna menawarkan diri untuk mengelola rumah perlindungan tersebut. Walau ia sering sakit-sakitan, namun Anna Line mampu mengelola rumah perlindungan ini selama tiga tahun, dan telah menyelamatkan banyak imam Jesuit dari kejaran mata-mata kerajaan.
Ketika pater John Gerard, SJ tertangkap, Anna berkeras untuk tidak menutup rumah perlindungan tersebut.  Ia bahkan mengatur upaya pembebasan Jesuit tersebut dari penjara Tower of London yang terkenal itu.  Upayanya sukses dan pater John Gerard selamat dari hukuman mati. Di kemudian hari, John Gerard SJ menulis dalam biografinya :
Peristiwa penangkapan ini terjadi pada tanggal 2 Februari 1601. Saat polisi datang, pater Fransiskus Page, imam yang memimpin misa berhasil meloloskan diri dengan bersembunyi di ruangan rahasia yang sudah disiapkan. Anna bersama rekannya Margareth Gage, di tahan. Margareth kemudian dibebaskan dengan uang jaminan sedangkan Anna dipenjarakan di Newgate.
Anna Line lalu disidang dengan dakwaan menampung seorang imam Katolik dan dijatuhi hukuman mati.  Saat berada di tempat pelaksanaan hukuman mati, Anna diminta untuk mengucapkan kata-kata terakhir didepan rakyat Inggris.  Dengan lantang wanita pemberani ini mengulangi apa yang telah ia katakan di depan pengadilan :
Hari itu tanggal 27 Februari 1601, darah para martir Kristus kembali tumpah di tanah Inggris. Santa Anna Line, bersama seorang imam Jesuit, Beato Roger Filcock SJ, dan seorang imam Ordo Benediktin, Beato Mark Barkworth OSB, tewas di atas tiang gantungan sebagai saksi iman yang tidak tergoyahkan.
Anna Line dibeatifikasi bersama Mark Barkworth OSB pada tanggal 15 Desember 1929 oleh Paus Pius XI, sedangkan Roger Filcock SJ dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II pada 22 November 1987. Anna kemudian dikanonisasi pada tanggal 25 Oktober 1970 oleh Paus Paulus VI.(qq)

Wednesday, February 26, 2020

CATATAN PENDEK 270220


Berinspirasi dari: Luk. 9:22-25

  1. Seringkali harapan dan impian dipatahkan oleh jalan yang semestinya dilalui.
  2. Kecewa mungkin akan muncul. Namun bagi mereka yang percaya rasa kecewa tak akan menguasainya, kesetiaan kuat menuntun langkahnya untuk bertahan.
Selamat merenung
MoGoeng

Lamunan Prapaskah

Hari Sesudah Rabu Abu
Kamis, 27 Februari 2020

Lukas 9:22-25

9:22 Dan Yesus berkata: "Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga."
9:23 Kata-Nya kepada mereka semua: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.
9:24 Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya.
9:25 Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?

Butir-butir Permenungan
  • Tampaknya, tidak sedikit orang yakin bahwa yang dekat dengan Tuhan akan mengalami rasa enak. Hidupnya menjadi damai tanpa kegelisahan.
  • Tampaknya, tidak sedikit orang yakin bahkan yang dekat dengan Tuhan tak akan mengalami susah payah. Dia akan merasakan penyelenggaraan ilahi yang membuatnya lancar dan selaras dalam segalanya.
  • Tetapi BISIK LUHUR berkata bahwa, bagi yang biasa bergaul intim dengan kedalaman batin, sekalipun bersama Tuhan orang mampu merasakan kedamaian, kedamaian dalam Tuhan sejatinya adalah buah hidup yang hanya terjadi kalau orang tak semaunya sendiri dan sanggup memikul beban harian. Dalam yang ilahi karena kemesraannya dengan gema relung hati orang akan menghayati diri sejati karena dapat tak maunya sendiri dan kenyaman sejati karena bersedia tidak enak.
Ah, kebahagiaan itu ya kalau hidup enak tak pakai susah payah.

Santo Porphyrius

diambil dari katakombe.org/para-kudus Hits: 2752 Diterbitkan: 28 Juli 2013 Diperbaharui: 31 Mei 2014

  • Perayaan
    26 Februari
  •  
  • Lahir
    Hidup pada abad ke-5
  •  
  • Kota asal
    Tesalonika - Yunani
  •  
  • Wafat
    Tahun 420 | Oleh sebab alamiah
  •  
  • Kanonisasi
    Pre-Congregation

Porphyrius dilahirkan pada abad kelima dalam keluarga bangsawan yang kaya. Ia meninggalkan keluarganya ketika ia berusia duapuluh lima tahun. Porphyrius pergi ke Mesir untuk menggabungkan diri dalam sebuah pertapaan. Setelah lima tahun, ia mengadakan perjalanan ke Yerusalem. Ia ingin mengunjungi tempat-tempat di mana Yesus pernah berada semasa hidup-Nya di dunia.
Porphyrius amat terkesan dengan Tanah Suci. Kasihnya kepada Yesus membuatnya semakin sadar akan penderitaan kaum miskin. Di rumahnya di Tesalonika, ia tak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi miskin. Ia masih memiliki segala yang diwariskan orangtuanya kepadanya, tapi tidak untuk jangka waktu yang lama. Ia meminta temannya - Markus - untuk pergi ke Tesalonika dan menjual segala harta miliknya. Setelah tiga bulan, Markus kembali dengan uang. Porphyrius lalu membagi-bagikannya kepada mereka yang sungguh membutuhkannya.
Pada usia empatpuluh tahun Porphyrius ditahbiskan sebagai imam dan kepadanya diberikan tanggung jawab untuk memelihara relikwi Salib asli Yesus. Porphyrius selanjutnya ditahbiskan sebagai Uskup Gaza. Ia bekerja giat untuk menghantar banyak orang percaya kepada Yesus dan menerima iman. Tetapi, kerja kerasnya menghasilkan buah amat lambat dan membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Mayoritas penduduk pada waktu itu bertaut pada praktek-praktek kafir dan takhayul.
Meski Porphyrius dapat mengakhiri banyak dari praktek-praktek ini, ia juga mendapat banyak musuh yang membuatnya banyak menderita. Yang lain, yang adalah umat Kristiani, amat mengasihi dan mengagumi Porphyrius. Mereka berdoa dan bermatiraga untuknya. Mereka memohon Tuhan untuk menjaga dan melindunginya. Uskup Porphyrius menghabiskan bertahun-tahun lamanya guna memperkuat komunitas Kristiani di Palestina. Ia memaklumkan dengan tegas segala yang diyakini teguh umat Kristiani. St Porphyrius wafat pada tahun 420.

Tuesday, February 25, 2020

Ikut Misa Paroki


Sebenarnya hari Senin ketika makan malam tanggal 24 Februari 2020 Rm. Bambang sudah mengintrodusir rencana ini. Soal misa memang di Domus Pacis Puren ada secara harian. Yang memimpin di sekitar Rm. Yadi, Rm. Ria, dan Rm. Bambang. Bahkan untuk hari khusus ini para rama Domus juga biasa merayakan sendiri. Pada waktu Rm. Bambang mengatakan itu di kamar makan, Rm. Tri Hartono dengan suara lirihnya bertanya "Sesuk jam pira?" (Besok jamberapa) dan saya menjawab "Taktakokke dhisik" (Aku akan bertanya). Pada Selasa hari berikut jam 06.06 Rm. Bambang mengirim pesan WA ke Mas Handoko, salah satu relawan Domus, "Engko rabu awu jam pira ya?" (Nanti perayaan Rabu Abu dimulai jam berapa?). Dan Mas Handoko pada jam 07.18 mengirim gambar :

Pada makan siang Rm. Bambang menginformasikan bahwa pada Selasa sore Misa Rabu Abu di gereja Pringwulung dimulai pada jam 17.00. Kecuali Rm. Gito, Rm. Tri Wahyono, dan Rm. Suntoro, enam rama lain pada sekitar jam 16.30 menuju gereja Pringwulung. Yang berangkat pertama adalah Rm. Tri Hartono didorong oleh Bu Rini, dan Rm. Bambang didorong oleh Mas Abas. Rama-rama lain menyusul didorong oleh karyawan-karyawan lain. Semua memang bermobilitas dengan kursi roda. Di gedung gereja mereka duduk berjajar di bagian depan. Gambar di atas adalah penampakan mereka dari kiri ke kanan: Rm. Jaya, Rm. Ria, Rm. Harto, Rm. Yadi, Rm. Tri Harto, Rm. Bambang.

CATATAN PENDEK 260220


Berinspirasi dari: Mat. 6:1-6,16-18

  1. Puasa menjadi kesempatan berdamai dengan Allah dan sesama.
  2. Ada banyak kemungkinan puasa. Namun bisa juga kita puasa pamer kebaikan, kesucian dan jasa-jasa baik.
Selamat merenung
MoGoeng

Lamunan Prapaskah

Rabu Abu
Rabu, 26 Februari 2020

Matius 6:1-6.16-18

6:1. "Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.
6:2 Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.
6:3 Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.
6:4 Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."
6:5. "Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.
6:6 Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.
6:16. "Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.
6:17 Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu,
6:18 supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."

Butir-butir Permenungan
  • Tampaknya, tidak sedikit orang yakin bahwa hidup beragama adalah bukti orang ber-Tuhan. Dengan menjalani agama orang akan sungguh dekat Tuhan.
  • Tampaknya, tak sedikit yang yakin bahwa untuk taat pada Tuhan orang harus menjalani wajib-wajib agama. Dengan menunjukkan keseriusan dalam doa, sedekah, dan puasa orang akan mendapatkan bukti keseriusannya dalam beragama.
  • Tetapi BISIK LUHUR berkata bahwa, bagi yang biasa bergaul intim dengan kedalaman batin, sekalipun rajin menjalani wajib-wajib agama, kalau itu tidak didasari dengan mengutamakannya sebagai derap relung hati sehingga tidak terdektesi oleh orang lain, orang bisa jadi munafik. Dalam yang ilahi karena kemesraannya dengan gema relung hati orang sadar bahwa penghayatan hidup beragama bukan pertama-tama soal lahiriah tetapi menjadi penyadar dan pemupuk hidup batiniah.
Ah, orang yang sungguh baik akan tampak dalam keseriusannya menjalani agama.

WAJIB-WAJIB AGAMA (Rabu Abu)


Mengapa Rabu?

Masa Prapaskah adalah hari-hari khusus keagamaan menuju Hari Raya Paskah. Umat Katolik melakukan persiapan perayaan Paskah selama 40 hari. Yang menjadi soal adalah kalau orang menghitung dengan teliti hari-hari di Masa Prapaskah dari Rabu Abu hingga Sabtu Suci:

Minggu
Prapaskah 1
Prapaskah 2
Prapaskah 3
Prapaskah 4
Prapaskah 5
Ming. Palma
Senin
Senin
Senin
Senin
Senin
Senin
Senin
Selasa
Selasa
Selasa
Selasa
Selasa
Selasa
Selasa
RABU ABU
Rabu
Rabu
Rabu
Rabu
Rabu
Rabu
Kamis
Kamis
Kamis
Kamis
Kamis
Kamis
KAMIS PUTIH
Jumat
Jumat
Jumat
Jumat
Jumat
Jumat
JUMAT AGUNG
Sabtu
Sabtu
Sabtu
Sabtu
Sabtu
Sabtu
SABTU SUCI

Kalau mingguan Masa Prapaskah ada enam (Prapaskah 1-5 ditambah Pekan Suci dari Minggu Palma hingga Sabtu Suci), ada jumlah hari sebanyak 42. Ditambah 4 hari dari Rabu Abu sampai dengan Sabtu sesudah Rabu Abu, kesemuanya ada 46 hari. Yang harus diketahui adalah bahwa Masa Prapaskah menjadi masa “Retret Agung”. Padahal di dalam Retret Agung pelaku retret akan libur pada hari Minggu. Sebenarnya persiapan menuju perayaan Paskah terjadi selama 6 minggu (5 kali Minggu Prapaskah ditambah seminggu Pekan Suci). Kalau dikurangi libur 6 kali, 42 hari dari 6 minggu akan berjumlah 36 hari. Maka butuh tambahan 4 hari dari hari Rabu hingga Sabtu. Itulah latarbelakang mengapa Masa Prapaskah selalu mulai dengan hari Rabu.


1.     Pengembangan Pribadi

“Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.” (Mat 6:1)

Secara umum di Indonesia orang sudah masuk golongan lanjut usia atau lansia kalau sudah menginjak umur kepala 6. Orang berusia 60 tahun ke atas sudah mendapatkan keistimewaan ketika akan naik kereta api atau kapal terbang. Dia tidak harus membayar penuh harga tiket karena ada potongan khusus. Di dalam Masa Prapaskah agama Katolik, yang dulu biasa disebut Masa Puasa, kaum lanjut usia juga sudah dibebaskan dari wajib berpuasa. Hal ini biasanya dinyatakan dalam surat gembala yang disampaikan oleh uskup sebelum masuk Masa Prapaskah.

Tindakan personal

Orang-orang Katolik yang sudah masuk golongan lanjut usia memang bebas dari kewajiban berpuasa sebagaimana diatur oleh keuskupan. Tetapi sabda Tuhan Yesus Kristus yang dibacakan dalam pembukaan Masa Prapaskah, yaitu dalam liturgi Rabu Abu, tidak berbicara tentang kewajiban berpuasa. Yesus berbicara tentang kewajiban beragama. Dan kewajiban ini adalah kegiatan pribadi perseorangan yang menjadi tindakan personal. Ini adalah tindakan yang harus sungguh diusahakan sebagai hal pribadi sehingga tak terlihat oleh orang lain.

Penanggalan Liturgi 2019 memberikan catatan untuk Masa Prapaskah: Pada Masa Prapaskah Gereja mempersiapkan pembaptisan dan membina tobat. (KL 109) Masa Prapaskah menjadi masa “Retret Agung”. Bagi kaum lanjut usia barangkali tujuan utama dalam menjalani Masa Prapaskah adalah untuk membina tobat. Hal ini tentu untuk menanggapi warta pertama dan utama Tuhan Yesus Kristus “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat 4:17) Dengan bertobat umat membuka diri dan berkiblat pada kuasa dan kehadiran serta penyertaan Allah. Tuhan Yesus yang menjadi kenyataan hadir-Nya Kerajaan Sorga, yaitu kuasa dan penyertaan ilahi, memberikan teladan dengan “berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam” (Mat 4: 2). Hitungan 40 berkaitan dengan angka kudus. Pertobatan secara praktis adalah olah hati untuk terbuka pada bimbingan Roh Kudus. Dengan bimbingan Roh Kudus kita akan sungguh beriman, yaitu semakin mengikuti Tuhan Yesus Kristus sesuai dengan perkembangan situasi hidup dan budaya setempat.  Dengan menjalani Masa Prapaskah kita menyiapkan diri untuk merayakan Paskah yang menjadi landasan dasar hidup beriman. Dengan Paskah dinyatakanlah karya penyelamatan Allah lewat peristiwa sengsara, wafat, dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus.

Penghalang Utama

Budaya senioritas

Dari pengalaman, tampaknya ada budaya yang menempatkan kaum tua dan lanjut usia dalam jajaran sosial yang harus mendapatkan penghormatan dari generasi yang lebih muda apalagi kanak-kanak. Ada pula gambaran yang menempatkan golongan lanjut usia sebagai sosok-sosok yang “sudah banyak makan asam dan garam” atau “sudah mengenyam pahit dan manisnya kehidupan”. Lanjut usia adalah golongan orang-orang yang merasa penuh dengan aneka pengalaman. Karena pengalaman dipandang sebagai guru yang jauh lebih canggih daripada hasil studi akademis strata apapun, kaum lanjut usia juga dipandang sebagai tempat berguru kehidupan. Apalagi di tengah masyarakat yang amat mengagungkan ikatan darah entah dengan istilah trah atau marga atau she atau apapun yang lain, kaum lanjut usia masuk dalam jajaran yang harus amat diluhurkan. Semua itu adalah realitas kultural yang tidak dapat dihapus begitu saja dalam perkembangan masyarakat. Yang perlu dicatat adalah bahwa gambaran senioritas tidak hanya dikaitkan dengan umur. Kedudukan tinggi dalam masyarakat juga mendapatkan penghormatan kesenioran sehingga ada istilah “yang dituakan”.  

Dalam hal ini gambaran senioritas kalau tidak diwaspadai dapat menghalangi kaum lanjut usia menjalani wajib agama sebagai tindakan personal yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus Kristus. Orang lanjut usia dapat merasa tersinggung dan bahkan sakit hati apabila yang dilakukan tidak diperhatikan atau dihargai oleh orang-orang lain terutama oleh generasi yang lebih muda. Apalagi kalau yang sudah lanjut usia didorong oleh “nafsu jadi teladan” sehingga perbuatan baiknya menjadi bahan sharing yang tidak pada tempatnya. Dia dalam berceritera pengalaman dengan membanding-bandingkan yang terjadi pada orang lain dan bisa menempatkan dirinya memiliki kelebihan di antara orang-orang lain.

Post power syndrome

Ini terutama terkait dengan kaum lanjut usia yang di masa aktif produktif menikmati kedudukan sosial sebagai pemimpin atau jajaran kepengurusan institusi atau tokoh. Dia dulu menjadi sosok terhormat dan banyak orang menyambutnya dengan privilese tertentu. Barangkali dia juga kerap didatangi orang untuk tampil dengan segala kewibawaan yang hadir karena status jabatan atau status kecendekiawanan. Yang menjadi soal adalah kalau dia kini sudah pensiun atau berhenti tanpa status sosial. Bagi yang pernah mengagumkan karena ilmunya, setelah masuk golongan lanjut usia apa yang diketahui sudah berkategori out of date.

Di era dimana orang dituntut untuk mandiri dalam mencukupi kebutuhan, orang akan sibuk dengan urusan masing-masing. Di era global dimana orang akan tekait dengan jaringan-jaringan kerja dan kegiatan, orang akan amat terjerat dengan kelompok-kelompoknya. Di era kepesatan kemajuan tekhnologi komunikasi, orang akan lebih banyak menjadi anggota netizen sehingga lebih mesra dengan internet atau dunia maya. Dari satu sisi semua ini membuahkan hubungan kesemartabatan. Struktur institusi tidak bercorak vertikal tetapi horisontal. Di zaman seperti ini ilmu pengetahuan dan tekhologi juga mengalami pesatnya kemajuan. Dalam keseharian segalanya cepat basi dan yang baru bermunculan. Bagi kaum lanjut usia semua ini mudah membuatnya terpojok sebagai yang tertinggal dan mudah tidak menjadi fokus perhatian. Orang yang sudah lanjut usia, sekalipun hidup serumah dengan anak cucu, dapat lebih berada dalam kesendirian. Yang menjadi soal adalah kalau jiwanya dipenuhi oleh pemikiran irasional. Dia yang sudah out of date tanpa status sosial masih dipenuhi perasaan berwibawa karena pernah terhormat sebagai sosok berstatus dan atau sosok intelektual. Orang seperti ini akan mengidap penyakit jiwa post power syndrome yang “merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan ketidakmampuan individu melepaskan apa yang pernah dia dapatkan dari kekuasaannya terdahulu.” (https://www.liputan6.com)


2.     Wajib Bersedekah

“Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Mat 6:2-4)

Pada zaman kini demi transparansi dana-berdana biasa dilakukan dengan pencatatan. Hal ini dapat terjadi misalnya ketika ada media membuka kesempatan menyumbang bencana alam. Di dalam Gereja hal itu juga terjadi. Uang dana yang dikumpulkan di Lingkungan atau kelompok umat juga dicatat dan dilaporkan. Namun demikian Tuhan Yesus dalam ayat-ayat itu tidak berbicara tentang kegiatan kebersamaan yang berkaitan dengan tata organisasi. Tuhan berbicara tentang tindakan personal dalam bersedekah sebagai salah satu kewajiban agama.

Menjadi Pribadi Utuh

Satu hal yang menarik adalah bahwa memberi sedekah dikaitkan dengan olah sikap agar tidak seperti orang munafik. Sikap munafik terungkap dalam tindakan penonjolan diri. Tindakan berdana tidak dilandasi oleh motivasi batin untuk menyumbang atau memberi secara cuma-cuma tanpa mengharapkan balasan. Pemberian derma dijadikan sarana atau alat untuk unjuk diri agar mendapatkan sanjungan dari banyak orang lain. Bagi kaum lanjut usia agar terbebas dari sikap munafik kiranya perlu menyadari kesejatian lasia. Kitab Suci berkata bahwa “Rambut putih adalah mahkota yang indah, yang didapat pada jalan kebenaran.” (Ams 16:31) Kaum lanjut usia sejatinya menjadi tanda keindahan bagi kehidupan bersama terutama di tengah generasi di bawahnya. Hal ini terjadi karena orang yang sungguh menghayati kesejatian lanjut usia akan menjadi sosok bijaksana (band. Mzm 90:12). Memang, kebijaksanaan kaum lanjut usia diperoleh karena ketekunannya menjalani hidup penuh perjuangan sehingga “kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan” (Mzm 90:10). Hal ini tentu cocok dengan ajaran Jawa bahwa ngèlmu (bukan “ilmu” yang berkaitan dengan pengetahuan, tetapi ngèlmu[1] adalah kebijaksanaan) itu adalah buah dari susah payah perjuangan hidup.

Perjuangan hidup itu tetap terjadi di masa lanjut usia, yaitu kalau kaum lanjut usia bersedia hidup dalam dampingan, bimbingan, dan petunjuk kaum muda. Hal ini dikatakan oleh Tuhan Yesus Kristus “jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.” (Yoh 21:18) Orang yang sudah masuk lanjut usia seharusnya sudah sampai pada tahap mampu tidak hidup menurut kehendaknya sendiri. Sebagai pengikut Tuhan Yesus dia sudah sampai pada tahap endapan penghayatan hidup mengikuti kehendak Allah sebagaimana Ibu Maria yang berkata “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38) Orang yang dapat menghayati perkembangan diri di lanjut usia akan mengalami kepribadian utuh dan tak ada keretakan antara yang terungkap dan terwujud secara lahiriah dengan yang sebenarnya ada dalam batin. Seorang psikolog, H. Erikson, menyatakan bahwa kaum lanjut usia yang berkembang secara positif akan mengalami hidup bijaksana. Dia menggambarkan perkembangan psikososial seseorang dalam grafik pada halaman 5[2].

Sedekah Model Lanjut usia

Berbicara tentang sedekah sebagai kewajiban beragama jelas berkaitan dengan masalah uang. Sedekah ini pada masa Prapaskah di banyak keuskupan biasa disebut sebagai dana APP (Aksi Puasa Pembangunan). Tetapi sebagai kewajiban beragama sedekah tidak hanya di masa Prapaskah. Dalam hal ini kaum lanjut usia pun termasuk yang kena wajib bersedekah. Berkaitan dengan kondisi ekonominya, merujuk ke Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998, ada dua macam corak hidup kaum lanjut usia (lihat http://zelously.blogspot.com/2016/04):
1.  Lanjut Usia Potensial adalah lanjut usia yang masih mampu melakukan aktivitas pekerjaan dalam kata lain masih mampu menghasilkan barang dan jasa.
2. Lanjut Usia Non Potensial adalah lanjut usia yang tidak bisa mencari nafkah sehingga hidupnya tergantung pada orang lain. 

Berkaitan dengan kekuatan ekonomi, yang perlu diperhatikan adalah berapa besar uang yang riil dimiliki secara tunai. Bisa jadi yang potensial besaran pemasukan secara nyata lebih kecil daripada yang non potensial karena dia mendapatkan pemberian lebih besar. Memang, bisa saja yang potensial pendapatannya masih ditambah pemberian rutin misalnya dari anak-anak atau sanak saudara bahkan mungkin masih ada dana pensiun. Meskipun demikian, sekalipun
potensial atau bahkan potensial plus tambahan pemberian, hal yang juga harus dicermati adalah sebesar apa pengeluaran rutinnya. Barangkali dia harus menanggung sendiri pajak-pajak bulanan. Barangkali dia juga masih harus membeayai sendiri pengobatan-pengobatan karena kaum lanjut usia pada umumnya sudah rentan akan penyakit. Atau lebih berat lagi barangkali dia juga masih menanggung atau paling tidak membantu kehidupan anak dan atau cucu.

Dalam bersedekah kaum lanjut usia harus memperhitungkan kekuatan nyata yang bisa untuk ambil bagian dalam berdana. Besar atau kecilnya dana tidak ditentukan oleh Gereja. Tuhan Yesus hanya berkata “Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut,” (Luk 12:48). Sesedikit apapun jumlah sedekah, yang paling pokok itu adalah wujud totalitas diri mempersembahkan hidup kepada Allah. Sekalipun memberi banyak kalau itu hanya sekedar memenuhi wajib lahiriah dan hanya bagian dari kelimpahan, dapat terjadi itu belum menyentuh lubuk hati rela berkorban. Inilah yang terjadi ketika Tuhan Yesus membandingkan sedekah janda miskin dan kaum kaya. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.” (Mrk 12:43-44)

Penghalang Utama

Kemunafikan adalah hal yang menjadi peringatan utama dari Tuhan Yesus untuk bersedekah. Dari sini kaum lanjut usia perlu memiliki kesadaran batin akan hal-hal yang bisa membuatnya bersikap munafik, yaitu bersedekah untuk menonjolkan diri. Kalau dikuasai oleh rasa ingin terpandang karena tak ketinggalan dalam bersedekah, kaum lanjut usia bisa tidak memperhitungkan perkembangan situasi hidupnya. Barangkali dia memang punya uang banyak. Tetapi barangkali kali dia mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan yang juga membutuhkan beaya besar seperti pajak dan obat-obat rutin.

Sebaliknya, barangkali yang terjadi adalah realita keuangan amat minim. Tetapi demi dihargai oleh orang lain kaum lanjut usia menyumbang melebihi kekuatan dengan meminta uang tambahan dari anak dan atau cucu dengan desakan dan tekanan. Paling celaka kalau dia menyumbang dengan uang hasil berhutang. Tuhan berkata “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.” Larangan kiri mengetahui yang diperbuat oleh tangan kanan barangkali juga dapat diperluas dengan larangan untuk mulut menceriterakan dan jari-jari menulis dijadikan kabar untuk orang lain.


3.     Wajib Berdoa

“Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (6:5-6)


Bukan Eksposisi

Ternyata doa juga dapat menjadi kemunafikan. Kalau sikap munafik adalah nafsu penonjolan diri, kemunafikan doa menjadi tindakan menunjukkan diri kepada khalayak bahwa seseorang adalah pendoa bahkan pendoa hebat. Untuk saat ini mungkin kemunafikan doa tidak terjadi “dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya”. Tetapi orang dapat saja berlama-lama berada di gedung Gereja atau kapel dengan niatan agar dilihat sedang berdoa. Sehingga di situ hanya sekedar duduk-duduk atau sebagai orang yang sudah berlanjut usia bosan dengan keadaan rumah. Bisa saja di situ orang hanya ber-HP-ria asyik sana-sini jumpa dengan banyak orang di dunia maya. Barangkali dengan HP dia tetap berada dalam kesibukan doa, yaitu dengan menuliskannya. Dan kemudian ditayangkan lewat dunia media sosial. Bahkan mungkin orang menyampaikan keberhasilannya lewat doa-doa tertentu.

Sebenarnya doa di dalam tempat ibadat dan menuliskannya sebagai sharing dalam media sosial bukan hal yang tidak terpuji. Di sini yang perlu dicermati dalam hati adalah dorongan batin dari yang dilakukan. Kalau itu sungguh untuk ungkapan relasi dengan Tuhan tentu saja menjadi keutamaan. Tetapi kalau untuk mengekspos diri agar dilihat atau diketahui orang sebagai “Nih, aku berdoa”, itulah yang dilarang oleh Tuhan Yesus. Kewajiban keagamaan bukan untuk mencari untung duniawi sekalipun itu berupa sanjungan atau pengakuan yang dapat menaikkan gengsi dalam hidup bersama.

Jalan Tol Doa Lanjut usia

Dalam kesendirian

Orang sering begitu saja menyamakan doa dengan ibadat. Ibadat itu menyangkut kebersamaan dalam mengungkapkan hubungan denganTuhan. Karena menjadi tindakan bersama, dalam ibadat biasa ada panduan atau doa-doa tradisi agar semua dapat terlibat. Lain halnya dengan doa. Doa adalah hubungan personal orang dengan Tuhan. Ini adalah relasi yang sungguh pribadi antara “aku insani” dengan “Aku ilahi”. Hubungan pribadi dengan Allah akan mendasari segala kebaikan dalam hidup termasuk dalam hidup keagamaan. Peribadatan akan sungguh bermakna kalau dilandasi oleh masing-masing peserta yang memiliki kebiasaan kontak personal dengan Allah. Bahkan doa tradisi, yang diucapkan dalam doa pribadi, akan sungguh bermakna karena adanya kebiasaan kontak personal dengan Allah.

Karena doa pada dasarnya merupakan hubungan personal dengan Allah, layaklah bila Tuhan Yesus berkata “jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi.” Hubungan pribadi dengan Allah mengkondisikan orang berhubungan dengan Allah seperti dengan orang tua atau sosok yang mencinta dan jadi topangan jiwani. Ini adalah tindakan yang dihayati dalam kesendirian. Yesus menggambarkan doa sejati ada di tempat tersembunyi yang tidak diketahui oleh orang lain. Bagi kaum lanjut usia untuk masuk dalam kesendirian adalah hal yang amat leluasa dapat dialami. Pada umumnya orang yang masuk lanjut usia sudah tidak banyak aktif dalam kebersamaan. Hidupnya sudah banyak berada dalam kesendirian. Bila tinggal di rumah tua, dia akan berjumpa dengan orang serumah hanya dalam jam-jam tertentu dalam acara bersama seperti makan atau ibadat. Bila hidup serumah dengan anak cucu, orang lanjut usia banyak ditinggal sendiri karena mereka memiliki kesibukan sendiri-sendiri. Apalagi kalau berada di rumah sementara anak cucu tidak tinggal bersama, dia akan berjumpa dengan orang lain bila masih dapat ikut aktif dalam pertemuan-pertemuan. Kaum lanjut usia yang beriman akan menghayati kondisi kesendirian itu justru menjadi anugerah istimewa sehingga bisa mendapatkan jalan leluasa memesrakan hidup berhubungan dengan Allah.

Sendiri berhening diri

Doa sebagai perjumpaan dengan Allah di tempat tersembunyi mengarahkan orang dalam kesendiriannya masuk dalam hubungan dengan relung hati. Di dalam relung hati orang tidak berjumpa dengan dirinya tetapi dengan Allah sendiri karena setiap orang adalah “bait dari Allah yang hidup” (2Kor 6:16). Sekalipun hati hanyalah bagian dari unsur jasmaniah tetapi tubuh manusia adalah “bait Roh Kudus” (1Kor 6:19).

Satu hal yang bisa menjadi soal adalah kenyataan kesendirian kaum lanjut usia membuat orang mengalami suasana sepi yang bisa membuat kesepian. Dari sini kaum lanjut usia memang harus mengolah suasana sepi sendiri menjadi kesempatan leluasa untuk berhening diri. Ketika ada liburan Hari Raya Nyepi Selasa 12 Maret 2013 saya teringat ketika mengalami Hari Raya itu di Bali pada tahun 2006. Dengan ingatan itu saya membuat catatan berkaitan dengan kenyataan kaum lanjut usia. “Bukankah kaum tua pada umumnya banyak mengalami kesendirian? Bukankah kaum tua banyak mengalami suasana sepi karena sendiri? Kalau begitu, bukankah Hari Raya Nyepi dapat menyadarkan kaum tua akan ANUGERAH SUASANA SEPI yang dimiliki secara berlebihan?” Yang saya sebut anugerah suasana sepi adalah kesempatan berhening diri. Santa Theresa dari Calcuta mengatakan bahwa keheningan adalah as atau poros kekudusan karena lewat keheningan orang akan selalu tersambung secara personal dengan Allah. Secara umum pola dinamika olah rohani Santa Theresa adalah “Dengan hening aku berdoa; Dengan doa aku beriman; Dengan iman aku mengasih; Dengan kasih kualami kedamaian”. Kedamaian adalah suasana orang yang selalu mengalami keheningan dalam dirinya. Di dalam catatan itu saya mengetengahkan olah rohani mencapai keheningan dengan merujuk pada religiusitas Jawa.
Berkaitan dengan kemampuan hening diri, hal ini mudah terjadi kalau orang dapat mengalami suasana sepi sendiri. Dalam suasana seperti ini orang akan meNeng (diam). Kalau suasana diam ini dijalani, orang dapat mengalami suasana weNing (hening, jernih) sehingga dapat menyadari banyak hal yang terjadi dalam kehidupannya dengan jernih atau jelas. Kejernihan diri akan membuat orang duNung (paham) apa yang sebaiknya dilakukan untuk pengembangan dan kalau perlu perubahan diri. Proses ini membuat orang meNang (mampu bersusah payah melakukan yang bermakna untuk dirinya). Suasana sepi kalau diterima dan dijalani secara alami akan membawa orang berbudi pekerti luhur karena proses Neng, Ning, Nung, Nang. Dalam hidup keagamaan, ini semua membawa orang berproses menjadi orang kerabat ilahi. (Catatan pribadi Selasa 12 Maret 2013)

Lamunan iman

Sebetulnya keheningan berkaitan dengan suasana hati. Hati hening dapat dialami dalam keadaan apapun termasuk dalam kesibukan maupun dalam pertemuan-pertemuan. Dan karena hati hening orang tetap dapat membangun sambung batin dengan Tuhan lewat omongan-omongan singkat dalam hati seperti dalam ber-SMS-an. Tetapi dalam kesendirian, yang pada umumnya menjadi anugerah berlimpah bagi kaum lanjut usia, orang dapat makin memperdalam kemesraan dengan Tuhan. Dengan memanfaatkan proses rohani dalam religiusitas Jawa, hal itu dapat berada dalam kisaran sebagai berikut:
·         NENG. Karena banyak berada dalam kesendirian kaum lanjut usia sungguh mendapatkan keleluasaan untuk meneng (diam). Di dalam diam kita bisa mengulang-ulang kata-kata yang membuat hati kita terbukan pada Tuhan. Selayaknya kita memiliki kata-kata keagamaan yang bisa kita ucapkan seperti mantra. Kata-kata itu misalnya “Tuhan ... Tuhan ...” atau “Ya Tuhan, aku datang melakukan kehendak-Mu” atau kata-kata lain yang kita ketemukan dalam khasanah hidup beragama.
·         NING. Dari proses diam, kita dapat menyadari apa yang kita pikir, apa yang kita rasakan, dan apa yang kita kehendaki. Itu semua menjadi jelas dalam kesadaran diri. Di sinilah kita mengalami yang disebut wening (jernih bagaikan air kolam tak tercemar). Inilah keheningan. Dalam keadaan hening inilah segalanya menjadi seperti bayangan yang tampak jelas dalam benak. Dan dalam keheningan ini kita omongkan apapun yang terpikir atau terasa atau terkehendaki dengan Tuhan dalam hati. Dalam hati hening kita dapat asyik ngobrol dengan Dia.
·         NUNG. Dalam omongan asyik dengan Tuhan dalam hati, sadar atau tidak sadar kita mengalami bimbingan Roh. Dalam bimbingan Roh kita akan dunung (memahami) apa dan mengapa kita punya pikiran atau perasaan atau kehendak atau campuran (entah keduanya entah ketiganya) seperti itu. Di dalam bimbingan Roh kita dapat menimbang-nimbang banyak hal.
·         NANG. Karena memahami semua bayangan yang muncul dari pikiran, perasaan, dan kehendak, orang dapat menang. Kata menang memang ada konotasi dengan peristiwa mengalahkan. Sebagai murid Tuhan Yesus kita memang harus berjuang mengalahkan diri. Tuhan berkata “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Luk 9:23) Kita mampu menyangkal pikiran, perasaan, dan kehendak yang hanya membuat kita tak dapat menerima keadaan nyata lanjut usia. Dengan bimbingan Roh kita mampu dan menerima dengan ceria salib atau keadaan tidak enak harian karena kondisi lanjut usia. Ini semua terjadi karena kita orang yang ada dalam kuasa ilahi dan menang berhadapan dengan yang membuat kita berpaling dari Allah. Dengan demikian kita akan mengalami keceriaan batin (dalam religiusitas Jawa ada istilah pamudaran yang bermakna pencerahan) karena mempercayakan diri pada Injil, yaitu warta sukacita yang diamanatkan Kristus. Kita dapat menjalani warta utama Tuhan Yesus “Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mrk 1:15)

Doa dalam sendiri berhening diri memang seperti peristiwa melamun. Tetapi ini adalah lamunan iman. Ini bukan lamunan yang membuat orang masuk dalam rimba aneka pikiran, perasaan, dan kehendak yang bisa menyesatkan. Ini adalah lamunan yang membawa kita untuk menghayati diri sebagai “bait Roh Kudus” (1Kor 6:19)

Penghalang Utama

Karena doa pribadi, yang sejatinya masuk dalam kesendirian mengalami kemesraan hubungan batin dengan Tuhan, penghalang utama adalah kalau orang tak mampu menghayati kesendirian. Untuk murid Kristus pada umumnya kesendirian iman dapat terjadi dalam kesempatan misalnya rekoleksi dan retret. Kalau orang tak tahan untuk masuk dalam diam sendiri, orang amat terhalang untuk sungguh berdoa. Ketidakmampuan diam sendiri ini dalam diri kaum lanjut usia akan membuat hidup kacau bukan main. Kaum lanjut usia yang sulit mengalami kesendirian akan mudah sangat diwarnai oleh keinginan banyak bepergian atau ikut banyak kumpulan. Dia dapat berdalih no man is an island (manusia itu bukan sebuah pulau yang terpisah dengan pulau-pulau lain). Atau yang lebih populer orang dapat berkata “manusia itu makhluk sosial”. Tetapi dalih atau alasan seperti itu, kalau melupakan bahwa manusia itu pribadi, justru hanya jadi hambatan dalam hidup bersama. Kaum lanjut usia seperti ini dalam kumpulan mudah tampil mengganggu orang-orang lain. Anak cucu yang tinggal serumah pun akan berusaha menyingkir. Dalam dirinya orang lanjut usia demikian jauh dari sambung batin dengan Allah. Dan kalau “Allah adalah kasih” (1Yoh 4:8), dia adalah orang lanjut usia yang kosong menghayatan kasih dan penuh dengan nafsu-nafsu egoistis.


4.     Wajib Berpuasa

“Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Mat 6:16-18)


Bukan Kebanggaan

Masa Prapaskah  adalah masa Retret Agung. Istilah lain dari retret adalah samadi. Di dalam olah rohani Jawa biasa disebut bertapa. Orang-orang yang menyingkir dari pergaulan harian umum disebut pertapa sebagaimana terjadi pada biarawan-biarawati Katolik yang menekankan kehidupan kontemplasi misalnya yang ada di Rawaseneng dan Gedana.
Secara umum pada masa seperti itu salah satu yang biasa dijalani adalah kegiatan berpuasa. Dan kegiatan berpuasa ini biasa dimengerti berkaitan dengan kegiatan tidak makan dan minum. Orang yang bisa tidak makan minum pada masa tertentu atau diakui keseriusannya dalam berpuasa sehingga akan diakui sebagai orang sungguh beragama. Karena tidak makan minum dalam kurun waktu tidak sebentar, orang dapat mengalami kondisi lemah paling tidak dalam tampilan ragawi. Karena tampilan seperti ini bisa membuat orang lain tahu bahwa dia sedang berpuasa dan akan sungguh mendapatkan pujian dan sanjungan sebagai orang yang serius beragama. Karena puasa dengan tanda-tanda seperti itu menghadirkan kebanggaan, bisa terjadi kalau tubuh tetap segar meski mengurangi atau tidakmakan minum, orang dapat merekayasa tampilan agar tampak berkondisi lemah. Tampilan-tampilan rekayasa seperti ini, apalagi kalau sebetulnya tidak menjalani puasa, amat dikecam oleh Tuhan Yesus. Kegiatan berpuasa bukanlah eksposisi kebaikan. Bahkan Tuhan Yesus menuntut agar dalam berpuasa memiyaki rambut dan mencuci muka sehingga tampak segar walau lapar dan haus.

Puasa Alamiah Kaum Lanjut usia

Di dalam aturan tentang puasa ada aturan Gereja bahwa yang berusia 60 tahun keatas bebas dari kewajiban berpuasa. Gereja membedakan antara puasa dan pantang. Meskipun demikian secara rohaniah, karena Kitab Suci adalah landasan dasar hidup rohani, puasa adalah kewajiban untuk semua orang. Maka yang perlu dicari adalah bagaimana kaum lanjut usia harus menjalani kewajiban berpuasa.

Matiraga kembangkan “habitus baru”

Bagaimanapun juga puasa adalah tindakan yang mengakibatkan kondisi raga terasa tidak nyaman, tidak enak, dan tidak segar. Inilah mengapa puasa juga disebut matiraga. Puasa selalu menyangkut segi jasmaniah. Tetapi dalam masa Prapaskah puasa dijalani dalam rangka Retret Agung. Dan yang harus disadari adalah bahwa setiap retret, agung atau tidak agung, adalah latihan rohani, latihan hidup dalam bimbingan Roh Kudus. Orang beriman akan yakin dalam bimbingan Roh dia akan dinamis, selalu baru dan diperbarui, sehingga mengalami suasana damai sejahtera dalam hidupnya.

Puasa 40 hari sebagai Retret Agung terutama menjadi proses pengembangan diri untuk semakin mengikuti Tuhan Yesus Kristus sesuai dengan perkembangan situasi hidup dan budaya. Dalam hal ini kaum lanjut usia dalam puasa diajak untuk menyadari perkembangan situasi hidupnya secara kongkret kini dan di sini. Hal-hal apa yang saat ini sudah ada dalam keadaan baik? Hal-hal apa yang menjadikan diri ada dalam kondisi tidak baik? Dalam proses selama 40 hari lewat berbagai permenungan dan doa dengan terang iman selama Prapaskah, kaum lanjut usia melatih diri untuk mampu meneladan Tuhan Yesus yang mengalami kemuliaan Paskah lewat salib, yaitu derita dan wafat-Nya. Kalau kita sudah ada dalam keadaan baik, kita berupaya menemukan pengembangan sikap dan tindakan apa untuk mempertahankannya. Kalau keadaan kita tidak baik, kita berupaya menemukan perubahan dan melatih diri untuk menghayatinya. Dengan demikian puasa dalam masa Prapaskah menjadi proses melatih kebiasaan baru atau habitus baru untuk menjadi orang lanjut usia yang segar ceria sekalipun lewat susah derita selama 40 hari.

Limpahnya penghayatan puasa

Kalau puasa juga menjadi kegiatan matiraga, untuk hal ini kaum lanjut usia memiliki kesempatan yang amat luas. Sesehat apapun seorang lanjut usia, secara ragawi sudah mengalami pelemahan dibandingkan dengan usia-usia sebelumnya. Dia sudah harus mewaspadai kondisi badan agar tetap segar. Apalagi kalau dilihat secara umum, kaum lanjut usia sudah mengalami kerawanan fisik sehingga penyakit(-penyakit) mudah menjangkiti. Dalam hal ini kerap muncul yang disebut dengan diet atau pantang makanan atau minuman tertentu demi menjaga kondisi tubuh tidak dikuasai oleh perkembangan penyakit tertentu. Tentang pantang, yang sudah lanjut usia tanpa penyakit pun juga harus mulai mengurangi santapan ini dan itu agar terhindar dari penyakit yang biasa menjadi idapan lanjut usia.

Diet atau pantang asupan itu dapat dijalani sebagai tindakan berpuasa bagi kaum lanjut usia. Orang berlanjut usia selama masa Prapaskah melatih diri meninggalkan menu yang mungkin sebelumnya menjadi favorit tetapi kini membahayakan kondisi fisiknya. Dia berlatih membiasakan diri menyantap makanan-makanan yang dipandang amat sesuai untuk kebugaran tubuh sesuai dengan realitas masa kini. Ini adalah pelatihan menghayati kebiasaan atau habitus baru. Apalagi kalau makanan-makanan sehat untuk masa kini dulu tidak pernah masuk dalam seleranya. Di sini kegiatan santap menu baru menjadi jalan pertobatan karena berbalik mengikuti kehendak kebaikan. Dengan demikian, sekalipun secara yuridis formal sudah bebas berpuasa, kaum lanjut usia justru masuk dalam keleluasaan menjalani matiraga berlatih mengikuti Tuhan Yesus Kristus sesuai dengan perkembangan dirinya. Latihan rohani ini, karena tanpa penyangkalan batin orang tak akan mampu menjalani olah ragawi dalam berpuasa, akan membuat orang meraih kebiasaan baru yang menjadi kebiasaan perilaku sesudah masa Prapaskah.

Penghalang Utama

Bagaimanapun juga puasa menjadi ungkapan untuk tindakan menyangkal diri dan memikul salib berupa ketidakenakan. Ini dapat dihayati sebagai hal yang membuat orang merasa tidak bebas. Bagi orang lanjut usia yang inginnya mengikuti kehendak sendiri, dia dapat memperoleh alasan syah secara Gerejani. Dia bisa berkata bahwa “Aku kan sudah umur 60 tahun, jadi sudah bebas dari puasa”. Kaum lanjut usia memang sudah bebas dari puasa yang diatur oleh Keuskupan. Dan aturan ini dapat menjadi dalih untuk tidak bermatiraga.

Tetapi bagaimana dengan puasa sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban beragama yang sesuai dengan realitas diri sebagai kaum lanjut usia? Untuk membangun kebiasaan baru yang menyegarkan badan ada hal yang menjadi hambatan besar. Kaum lanjut usia bisa memiliki selera berat terhadap makanan atau minuman tertentu. Jeratan selera ini dapat menggagalkan untuk membiasakan diri dengan menu lain bahkan baru di luar kebiasaan makan. Apalagi kalau yang baru itu amat bertentangan dengan selera lidah.



[1] Dalam tembang pucung (salah satu model kidung tradisional Jawa) ada ajaran: Ngèlmu iku; Kelakoné kanthi laku; Lekasé lawan kas; Tegesé kas nyantosani; Setya budya pangekesé dur angkara (Kebijaksanaan itu; Terjadi sebagai buah perjuangan hidup sehari-hari; Dasarnya adalah kas; Kata kas berarti daya batin; Kesetiaan dalam segala tindakan menjadi penangkal kejahatan).
[2] Grafik itu diambil dari tulisan Prof. Dr. Agustinus Supratiknya dalam Seminar 2 Jam di Domus Pacis Puren pada hari Minggu  5 Agustus 2018. Seminar itu diadakan sebagai program Domus Pacis Puren untuk lanjut usia.