Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Saturday, February 22, 2020

Beato Didakus Carvalho

diambil dari katakombe.org/para-kudus Hits: 2136 Diterbitkan: 26 Maret 2017 Diperbaharui: 16 April 2017

  • Perayaan
    22 Februari
  •  
  • Lahir
    Sekitar tahun 1578
  •  
  • Kota asal
    Coimbra, Portugal
  •  
  • Wilayah karya
    Goa India, Makau China, Jepang
  •  
  • Wafat
    22 Februari 1624 | Martir
    Ditenggelamkan di Sungai Hirose yang hampir membeku hingga tewas akibat Hipotermia
  •  
  • Venerasi
    26 Februari 1866 oleh Beato Paus Pius IX
  •  
  • Beatifikasi
    7 Mei 1867 oleh Beato Paus Pius IX
  •  
  • Kanonisasi
    -


Beato Diego Carvalho (Didakus Carvalho) lahir di Coimbra Portugal pada tahun 1578. Sejak muda ia telah aktif dalam kegiatan-kegiatan kerohanian gereja dan bercita-cita ingin menjadi seorang misionaris.  Ia hendak berkarya di antara bangsa-bangsa yang belum mengenal Tuhan dan ingin mengalami kejadian-kejadian istimewa di tanah misi seperti yang sering dikisahkan tentang para misionaris.
Pada usia 22 tahun, Diego dan keluarganya pindah ke Goa India, yang saat itu adalah wilayah koloni Portugal. Di tempat inilah Diego menemukan panggilan hidupnya dan memutuskan untuk masuk seminari Serikat Yesus pada tahun 1594. Ia menjalani novisiat di Goa lalu melanjutkan studinya di Macau China, dimana ia ditahbiskan menjadi seorang imam pada tahun 1608.
Tugas perdana Jesuit muda yang penuh semangat ini adalah belajar bahasa Jepang demi mempersiapakan diri menjadi missionaris ke negeri matahari terbit yang di masa itu masih terisolasi. Diego tiba di Jepang pada tahun 1609 dan mulai bekerja sebagai seorang missionaris di wilayah Kyoto dan Miyako. Diego Carvalho sungguh seorang Jesuit sejati. Ia melayani umat katolik Jepang yang masih sedikit dengan baik dan ramah. Sesuai semboyan Serikat Jesus: Ad Majorem Dei Gloriam (Demi kemuliaan Allah yang lebih besar), Diego tidak segan melaksanakan pekerjaan berat dan selalu bersedia memberi pelayanan kepada umat di wilayah yang sulit dijangkau meskipun harus berjalan kaki selama berhari-hari melalui medan yang sulit dan berbahaya.
Di sekitar tahun 1612 penguasa Jepang Shogun Tokugawa Ieyasu mengeluarkan surat keputusan untuk mengusir semua misionaris asing. Pater Carvalho dengan berat hati harus meninggalkan umatnya dan dideportasi ke Makau bersama dengan 100 orang Jesuit lainnya. Namun Diego tidak lama berada di Makau. Ketika mendengar kabar tentang penganiayaan yang dialami umat Katolik Jepang, pada tahun 1617, pater Diego kembali Jepang secara diam-diam dan melanjutkan pelayanannya dalam kondisi yang sangat sulit dan berbahaya.
Tercatat ia pernah dua kali datang ke Yezo (sekarang disebut Hokkaido) dan merupakan imam Katolik pertama yang merayakan Misa di tempat itu. Melalui sebuah suratnya diketahui ia juga menjalin hubungan dengan Suku Ainu (suku asli Jepang  yang terdapat di pulau Hokkaido). Dalam masa sulit dan berbahaya ini, Diego tetap merasa bersyukur karena pertumbuhan iman Katolik di Jepang. Banyak orang Jepang menerima pembabtisan meskipun diancam dengan hukuman mati oleh penguasa.  
Pada bulan Desember 1623, Pater Diego Carvalho sedang bekerja di Miwake ketika ia ditangkap oleh anak-buah penguasa setempat. Ia ditahan dan dijatuhi hukuman mati pada tanggal 22 Februari 1624 di Sendai. Hukuman mati atas dirinya berlangsung mengerikan. Bersama para martir Kristus lainnya ia ditelanjangi dan dibenamkan ke dalam sungai Hirose yang hampir membeku. Satu-persatu mereka membeku dan meregang nyawa akibat hipotermia. Setelah senja, tujuh orang telah tewas, dan saat matahari terbenam, hanya pater Diego yang masih hidup. Ia kemudian dikeluarkan dari sungai dan disesah hingga babak belur, lalu ditenggelamkan lagi. Pater Diego Carvalho menerima mahkota kemartirannya selepas tengah malam 22 Februari 1624. Keesokan paginya, jenasah mereka dicincang dan dibuang ke sungai. Umat beriman berupaya keras menyelamatkan jenasah para pahlawan iman ini, namun mereka hanya dapat menemukan lima buah kepala yang salah satunya adalah pater Diego. Kepala lima orang martir ini lalu dimakamkan dengan semestinya.(qq)

0 comments:

Post a Comment