Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Monday, March 23, 2020

Santa Rafqa

diambil dari katakombe.org/para-kudus Hits: 6535 Diterbitkan: 14 September 2014 Diperbaharui: 19 Oktober 2019

  • Perayaan
    23 Maret
  •  
  • Lahir
    29 Juni 1832
  •  
  • Kota asal
    Himlaya, Libanon
  •  
  • Wafat
    23 Maret 1914 di Biara Saint Joseph, Grabta, Lebanon - Sebab alamiah
  •  
  • Venerasi
    11 Februari 1982 oleh Santo Paus Yohanes Paulus II
  •  
  • Beatifikasi
    17 November 1985 oleh Santo Paus Yohanes Paulus II
  •  
  • Kanonisasi
    10 Juni 2001 oleh Santo Paus Yohanes Paulus II

Santa Rafqa adalah seorang biarawati, seorang pertapa dan seorang mistikus dari Gereja Katolik Maronit di Libanon yang di kanonisasi oleh Paus Yohanes Paulus II. 

Masa Kecil

Boutrossie Ar-Rayes (Boutrossie adalah bentuk feminin dari Boutros/Petrus)  lahir pada tanggal 29 Juni 1832, di sebuah desa di wilayah Metn Utara Libanon. Ia adalah puteri tunggal dari pasangan Mourad Saber al-Chobouq al-Rais dan Rafqa Gemayel.  Masa kecil Boutrossie berlangsung bahagia, ia dibesarkan dalam keluarga Katolik ritus Maronit yang saleh. Ia dibabtis saat berumur delapan hari, dan ketika ia sudah lancar berbicara; orang tuanya mulai mengajarkan doa-doa dasar seperti membuat tanda Salib, doa Bapa Kami, dan Salam Maria.
Ibunda Boutrossie kecil meninggal ketika ia baru berusia 7 tahun. Setelah ibunya meninggal, awalnya Boutrossie tetap tinggal bersama ayahnya, namun kesulitan ekonomi yang melanda seluruh Libanon waktu itu memaksa sang ayah untuk pergi merantau ke Damaskus.  Selama sang ayah berada di Damaskus, Rafqa dititipkan sebagai pembantu rumah tangga pada keluarga Assaad Badawi, yang merupakan keluarga kaya dan terpandang di wilayah itu. Meskipun hanya seorang pembantu, namun keluarga Assaad Badawi sangat menyayangi Boutrossie. Istri Assad yang bernama Heleneh memperlakukan Boutrossie sebagai puterinya sendiri dan menyebut Boutroussie sebagai teladan kejujuran, kesalehan, dan kemurnian.

Menjadi Biarawati Mariamite.

Pada tahun 1859 ketika sedang berdoa dengan khusuk di depan ikon Bunda Maria Pembebasan; Boutroussie mendengar sebuah suara berkata kepadanya: “kamu akan menjadi biarawati”. Kejadian ini meneguhkan hati Boutroussie untuk menjalani kehidupan religius yang sejak kecil telah ia rindukan. Ia lalu memutuskan untuk menjadi seorang biarawati dan masuk Konggregasi Suster Mariamite dan mengambil nama Suster Anissa.  Konggregasi Suster Mariamite adalah sebuah konggregasi Suster yang didirikan oleh para misionaris Yesuit bersama pater Youseff Gemayel yang masih merupakan kerabat dari almarhumah ibu Boutroussie.
Keluarganya tidak begitu setuju dengan keputusannya ini. Ayah dan ibu tirinya datang ke biara meminta agar ia pulang, namun ia menolak dan memilih untuk tetap menjadi seorang biarawati.
Di biara, Suster Anissa mulanya bertugas di dapur untuk mempersiapkan makanan bagi para seminaris dan menggunakan waktu luangnya untuk memperdalam bahasa Arab, kaligrafi, dan matematika. Pada tahun 1860 Suster Anissa mulai ditugaskan untuk mengajar, tugas pertamanya adalah di Deir al Kamar, dan di tempat ini pula ia menyaksikan suatu kerusuhan berdarah yang dipicu oleh serangan orang-orang Druze terhadap warga Maronit. Kerusuhan itu menewaskan sekitar 7000 orang, menghancurkan 360 desa, 560 gereja, 28 sekolah dan 42 biara. Dalam kerusuhan itu Suster Anissa sempat menyelamatkan seorang anak dengan cara yang unik, yaitu menyembunyikannya di balik jubah biarawatinya sehingga anak itu lolos dari kejaran para pembunuh.
Suster Anissa kemudian dipindahkan ke Byblos dan akhirnya ke sebuah desa bernama Maad. Kedatangan para suster Mariamite ke Maad difasilitasi oleh seorang kaya bernama Antoun Issa.  Antoun Issa menghendaki agar di desanya didirikan sebuah sekolah bagi anak-anak perempuan, ia meminta agar Patriarkh Masaad bersedia memberi izin kepada para suster Mariamite untuk berkarya di desanya. Lebih jauh lagi ia menyumbangkan segala yang diperlukan untuk mendirikan sekolah, dan menyerahkan separuh rumahnya untuk dijadikan rumah para suster.
Para suster cepat diterima di Maad dan sekolah yang mereka dirikan berkembang pesat, tetapi kesulitan ekonomi lagi-lagi mendatangkan masalah bagi para suster. Kesulitan ekonomi membuat para Yesuit memutuskan untuk menggabungkan Konggregasi Mariamite dan Konggregasi Hati Kudus dari Zahle. Bagi para suster diberikan pilihan untuk: Bergabung dengan Konggregasi yang sudah digabungkan itu; atau melamar ke biara lain;  atau meninggalkan kaul religius dan menjadi orang awam.  Situasi kembali menjadi sulit bagi Suster Anissa.

Menjadi Pertapa Baladite

Dalam kebingungan, suster Anissa dengan kepasrahan total menyerahkan semua permasalahannya dalam doa-doanya kepada Yesus dan Bunda Maria. Dan suatu pada suatu malam ia bermimpi bertemu dengan St. Antonius Agung bersama dengan St. Georgius dan St. Simon pertapa. St.Simon yang berbicara memintanya untuk bergabung dengan para pertapa Maronite yang dikenal dengan sebutan Baladiya/Baladite (Sekarang biara ini lebih dikenal dengan sebutan: Lebanese Maronite Order ) . Kesokan harinya, dengan hati yang lapang suster Anissa masuk biara Baladite  di Pertapaan St. Simon al-Qarn di Aito dan mengambil nama biara: Rafqa, sesuai dengan nama ibunya, orang pertama yang memperkenalkan Kristus dan menanamkan rasa cinta kepada Allah dalam dirinya, dan mengingatkan kita kepada Ribka atau Rebecca dari Perjanjian Lama (nama Rafqa adalah ejaan Arab untuk nama Ribka). Suster Rafqa lalu tinggal di biara ini sampai akhir hayatnya.   

Menderita Bersama Yesus

Salah satu hal yang paling menonjol dalam kehidupan rohani Rafqa adalah kerelaannya untuk menderita bersama Yesus. Kesadaran ini muncul setelah ia melihat penderitaan para saudari sebiaranya yang sedang sakit, penderitaan masyarakat di Deir al Kamar dan kemudian dengan penyakitnya sendiri. Melalui semua penderitaan ini Rafqa semakin mencintai Salib dan ingin memanggulnya bersama sang Penebus. Kerinduan ini membawa Rafqa untuk meminta penderitaan dari Tuhan, ia rindu untuk membawa tanda-tanda kesengsaraan Kristus dalam dirinya. Karena kerinduan ini akhirnya pada minggu pertama bulan Oktober 1885, Rafqa berdoa secara khusus meminta agar Yesus memberinya penyakit dan penderitaan sehingga ia dapat menemani Yesus menanggung penderitaan dan sengsara-Nya.
Doa Rafqa ini dijawab dengan cepat dan segera oleh Tuhan, tak lama setelahnya Rafqa mendapatkan rasa sakit yang luar biasa pada matanya, kedua matanya membengkak dan tampak seperti terbakar. Para rekan susternya berusaha mengobati penyakit ini dengan mengirimkan Rafqa ke sejumlah dokter, namun upaya ini tampak sia-sia. Setelah pengobatan ke dokter-dokter lokal tidak membuahkan hasil, suatu ketika seorang imam meminta agar Rafqa dibawa kepada seorang dokter Amerika yang sedang berada di Libanon, dokter Amerika ini kemudian mengoperasi Rafqa. Operasi ini berakhir dengan kegagalan dan Rafqa kehilangan mata kanannya, sehingga para suster terpaksa membawa Rafqa ke dokter lain lagi untuk menghentikan pendarahan yang masih berlangsung akibat operasi. Dua tahun setelah operasi Rafqa mata kirinya juga menjadi buta, dan Rafqa mengalami kebutaan total. Selain buta dan tetap mengalami rasa sakit pada matanya, Rafqa juga menderita kelumpuhan dan kerap kali mengalami pendarahan dari hidungnya. Ia menjadi kurus kering dan kondisinya sangat lemah. Secara khusus ia sangat tersiksa dengan rasa sakit pada kedua bahunya, rasa sakit yang membuatnya berkali-kali berdoa “bagi kemuliaan Allah, dalam partisipasi dengan luka Yesus pada bahu-Nya”.
Meskipun sakit parah, Rafqa selalu berusaha untuk menjalankan semua kewajiban hidup membiaranya. Sejauh mungkin ia berusaha agar dapat mengikuti ibadat bersama di kapel, dan ketika ia tidak mampu maka ia mengisinya dengan berdoa sendirian di tempat tidurnya. Sekalipun ia buta dan lumpuh namun ia tetap bekerja dengan menjahit dan menyulam. Rafqa yakin bahwa Allah sengaja tidak memberikan rasa sakit pada kedua tangannya agar ia tetap dapat bekerja dengan tangan itu.
Rafqa mengalami penderitaan ini selama sekitar 20 tahun, dan kesaksian dari mereka yang pernah mengenalnya mengatakan kepada kita bahwa mereka tidak pernah melihat ia mengeluh. Dari diri Rafqa sendiri terlihat jelas bahwa ia menyadari benar bahwa penderitaannya adalah “bagi kemuliaan Allah, dengan ambil bagian dalam luka Yesus dan mahkota duri-Nya”.

Kecintaan kepada Ekaristi Kudus dan Perawan Maria

Selama hidupnya Rafqa menunjukkan betapa ia mencintai Tuhan dalam Ekaristi dan berusaha agar orang lain juga memiliki cinta kepada Yesus dalam Ekaristi. Sewaktu ia masih menjadi guru ia kerap kali mengatakan kepada para muridnya “Kalian hendaknya mengerti bahwa Yesus turun ke Altar saat imam mengucapkan Kata-kata Suci (konsekrasi), pada saat itu, tundukkanlah kepala kalian dan renungkanlah Tuhan yang tersembunyi dalam Roti dan Anggur”. Ia juga mendorong agar para muridnya kerap menerima Sakramen Tobat dan sering menyambut Komuni. Rafqa juga adalah orang yang diduga mendorong kebiasaan Pentahtaan Sakramen Mahakudus di gereja St. Yohanes Markus di Byblos dan menyebarkan devosi ini di kota itu.
Rafqa menyadari benar bahwa Ekaristi adalah suatu Kurban sebagaimana orang-orang Maronite menyebut Misa dengan nama Qurbono, sebuah kata dalam bahasa Aramaik yang berarti Kurban. Maka Ekaristi adalah suatu Kurban yang dipersembahkan kepada Allah dan pada saat yang sama adalah santapan yang menguduskan jiwa kita sebagaimana dalam bahasa Arab mereka menyebutnya Quddas (Kudus). Pemahaman ini mendorong Rafqa untuk bertekun dalam menjaga kekudusan dan mempersembahkan hidupnya sebagai kurban bagi Allah.
Rafqa menunjukkan cintanya kepada Ekaristi dengan cara yang luar biasa. Pada suatu Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus antara tahun 1905-1914, ia begitu ingin mengikuti Misa di kapel sekalipun tubuhnya lumpuh dan sangat lemah. Para suster berusaha memindahkan dia ke kapel namun gagal karena Rafqa yang selain lumpuh juga sudah sangat kurus kering itu terlalu lemah untuk beranjak dari tempat tidurnya, sehingga suster pemimpin biara hanya menjanjikan bahwa sesudah Misa, imam akan mengantarkan Komuni untuknya. Namun, kemudian dengan bantuan rahmat Allah, Rafqa meminta agar Yesus membawanya ke kapel. Ia memperoleh sedikit tenaga untuk menjatuhkan dirinya ke lantai dan kemudian merangkak ke kapel. Dengan perjuangan yang luar biasa Rafqa tiba di kapel dan menyambut Komuni. Tindakan ini menunjukkan betapa besarnya cinta Rafqa kepada Yesus dalam Ekaristi dan menegaskan bahwa Ekaristi adalah sumber kekuatan dan penghiburan di tengah segala penyakit dan kelemahan tubuhnya.
Rafqa juga memiliki cinta yang besar kepada Perawan Maria, devosi kepada Perawan Maria adalah warisan yang sangat berharga yang ia terima dari ibunya. Sedari kecil Rafqa memiliki ikatan yang istimewa dengan Bunda Maria, khususnya dengan ikon Bunda Maria Pembebasan yang populer di Libanon ketika itu. Tradisi rohani orang-orang Libanon secara umum memiliki hubungan erat dengan Santa Perawan, di negara itu Bunda Maria populer dengan nama “Bunda kita dari Libanon” dan devosi kepada Maria tumbuh sangat subur dalam lingkungan ritus Maronite dan semua orang Kristen Libanon entah mereka itu Katolik (Maronite, Syriac, Chaldean, Yunani, Latin dst), Ortodoks Yunani, ataupun Ortodoks Syria (Monofisit).

Tutup Usia

Setelah melewati tahun-tahun penderitaannya dengan penuh syukur karena diberi kesempatan untuk menemani Yesus dalam sengsara-Nya; akhirnya setelah melewati penderitaan panjang Santa Rafqa meninggal pada tanggal 23 Maret 1914, bertepatan pada hari Senin Abu (permulaan masa Prapaskah menurut kalender liturgi Maronite). Biarawati suci ini meninggal sekitar 4 menit setelah menerima absolusi dan berkat terakhir.
Santa Rafqa di beatifikasi pada tanggal 17 November 1985 oleh Paus Yohanes Paulus II, dan dikanonisasi pada tanggal 10 Juni 2001 oleh Paus yang sama.

0 comments:

Post a Comment