Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Tuesday, March 24, 2020

Santo Oscar Romero

diambil dari katakombe.org/para-kudus Hits: 2466 Diterbitkan: 30 Mei 2018 Diperbaharui: 16 Oktober 2019

  • Perayaan
    24 Maret
  •  
  • Lahir
    15 Agustus 1917
  •  
  • Kota asal
    Ciudad, San Miguel, El Salvador
  •  
  • Wafat
    Martir
    Ditembak mati saat sedang merayakan misa pada 24 Maret 1980 di kapela rumah sakit La Divina Providencia di San Salvador, El Salvador
  •  
  • Venerasi
    3 February 2015 oleh Paus Fransiskus (decree of martyrdom)
  •  
  • Beatifikasi
    23 Mei 2015 oleh Paus Fransiskus Misa Beatifikasi di gelar di Plaza Salvador del Mundo, El Salvador, dipimpin oleh Kardinal Angelo Amato
  •  
  • Kanonisasi
    14 Oktober 2018 oleh Paus Fransiskus

Kudus sejak kecil

Santo Óscar Arnulfo Romero y Galdámez, lahir di Ciudad, San Miguel, El Salvador pada 15 Agustus 1917. Ia adalah anak kedua dari tujuh bersaudara buah hati pasangan katolik yang saleh Santos Romero dan Guadaleupe de Jesus Galdamez. Oscar kecil dikenang telah menunjukkan ketertarikannya pada kehidupan religius. Ia selalu rajin ke gereja, rajin berdoa, dan sering berdoa berlama-lama dalam gereja setelah misa selesai. Pada usia tiga belas tahun Oscar masuk Seminari Rendah di kota San Miguel. Catatan di Seminari ini mengungkapkan bahwa ia pernah meninggalkan Seminari selama tiga bulan demi merawat ibunya yang jatuh sakit setelah melahirkan adik bungsunya (yang meninggal dunia sesaat setelah dilahirkan).
Lulus dari Seminari San Miguel, Romero melanjutkan studi ke Seminari Tinggi di San Salvador. Studi Teologinya kemudian dilanjutkan di Universitas Gregoriana Roma, di mana ia lulus dengan predikat Cum Laude pada tahun 1941. Akan tetapi Oscar tidak segera ditahbiskan menjadi imam. Ia masih harus menunggu selama setahun karena usianya lebih muda dari batas usia yang ditentukan. Pentahbisannya baru digelar di kota Roma setahun kemudian tepatnya pada tanggal 4 April 1942.  Tidak ada seorang pun keluarga dan kerabatnya yang bisa menghadiri misa pentahbisannya akibat Perang Dunia II. Setelah menjadi imam, Romero masih tinggal di Italia dan melanjutkan studinya hingga meraih gelar Doktor Teologi.  

Pulang ke El Salvador

Pada tahun 1943, dalam usia 26 tahun, pater Oscar Romero dipanggil pulang ke El Salvador oleh uskupnya. Bersama pater Valladares, seorang imam El Salvador yang juga telah menyelesaikan studi doktoralnya di Roma, Oscar meninggalkan Eropa menuju kampung halamannya. Mereka singgah sebentar di Spanyol lalu melanjutkan perjalanan menuju Kuba. Di Havana Kuba, mereka ditangkap polisi dengan tuduhan menjadi kaki tangan pemerintah Fasis Italia. Kedua imam muda ini lalu ditahan dan di interogasi dengan ketat.
Setelah beberapa bulan dalam tahanan, pater Valladares jatuh sakit. Para imam Redemptorist lalu berupaya membantu keduanya agar dapat dirawat di rumah sakit Redemptoris milik mereka. Setelah pulih dari sakitnya, kedua imam ini tidak dikembalikan ke tahanan namun diselundupkan dengan kapal laut ke Meksiko.  Dari Meksiko perjalanan dilanjutkan melalui jalan darat ke El Salvador.
Tiba di Kampung halamannya, sejumlah tugas telah menanti pater Romero. Awalnya ia ditugaskan sebagai pastor paroki di Anamorós, lalu pindah ke Paroki San Miguel, kota kelahirannya, di mana dia berkarya selama lebih dari 20 tahun. Disini ia mendirikan berbagai kelompok Serikat kerasulan dan mempelopori pendirian kelompok Alcoholics Anonymous, yang berkarya membantu para pecandu dan mantan pecandu alkohol. Ia juga mempromosikan kembali Devosi pada Santa Perawan Maria dan membangun Katedral San Miguel. Dari paroki San Miguel, Romero kemudian diangkat menjadi Rektor Seminari di San Salvador.  
Pada tahun 1966, Romero dipilih menjadi Sekretaris Konferensi Para Uskup untuk El Salvador. Dia juga ditunjuk menjadi Direktur dan Editor koran Orientación, milik Keuskupan Agung. Romero segera dikenal sebagai seorang imam konservatif yang gigih membela Magisterium Tradisional Gereja Katolik.

Menjadi Uskup

Pada tahun 1970, secara mengejutkan bapa suci paus Paulus VI mengangkat Oscar Romero menjadi Uskup Auksilier (Auxiliary Bishop atau Uskup Pembantu) untuk Keuskupan Agung San Salvador.  Selanjutnya pada tahun 1974, ia ditunjuk sebagai Uskup Keuskupan Santiago de María, sebuah keuskupan di wilayah pedesaan yang miskin.
Pada tanggal 23 Februari 1977, Uskup Oscar Romero diangkat menjadi Uskup Agung San Salvador. Penunjukkan ini, walau disambut gembira oleh Pemerintah El Salvador, namun mengkhawatirkan beberapa pihak terutama kaum militer sayap kanan dan para pendukung Marxis. Reputasi Uskup Romero sebagai seorang yang dekat dengan kaum miskin papa, dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap agenda kaum Marxis yang gencar menyebarkan ideologi mereka pada kaum buruh dan petani di El Salvador. Uskup Romero juga dibenci oleh paramiliter sayap kanan karena selalu bersuara keras menentang berbagai aksi teror, intimidasi dan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dilakukan aparat militer terhadap rakyat miskin.
Pada tanggal 12 Maret 1977, Rutilio Grande SJ, seorang imam Jesuit yang aktif berkarya dalam pembinaan dan pemberdayaan kaum miskin papa di San Salvador, tewas terbunuh. Kematian sahabatnya itu berdampak besar pada Uskup Romero. Beberapa hari setelah pembunuhan keji tersebut, Romero berkata : "Ketika saya melihat padre Rutilio tewas terbaring di sana, saya jadi berpikir,  'Jika mereka membunuhnya karena karya yang dilakukannya, maka saya pastinya berjalan di jalur yang sama’."  Ia berupaya sekuat tenaga mendesak pemerintah untuk menyelidiki kasus pembunuhan ini, tetapi permintaannya diabaikan. Pers nasional bahkan disensor untuk tidak memberitakan peristiwa pembunuhan ini. Namun pembunuhan ini sama sekali tidak menyurutkan langkahnya. Ia bahkan semakin lantang berbicara menentang berbagai pelanggaran hak asasi manusia seperti penculikkan, penyiksaan dan pembunuhan yang marak terjadi seiring semakin tidak menentunya situasi politik di El Salvador.
Pada tahun 1979, The Revolutionary Government Junta of El Salvador (Spanyol: Junta Revolucionaria de Gobierno, JRG) mengambil alih pemerintahan di El Salvador. Kediktatoran Militer ini berkuasa di tengah-tengah meningkatnya kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia oleh kelompok Paramiliter sayap kanan pro pemerintah dan gerilyawan komunis FMLN. Eskalasi kekerasan dua kelompok yang bertikai ini kemudian meletus menjadi Perang Sipil El Salvador.
Ditengah pertempuran dan perang Ideologi antara Pemerintah Junta Militer dan Gerilyawan Marxis FMLN, Uskup Romero memimpin Gereja Katholik El Salvador untuk tidak memihak dan tetap bersuara lantang membela umat yang menderita ditengah perang. Hal ini membuatnya semakin dibenci, baik oleh Junta Militer maupun oleh FMLN.
Perang terus berkobar, kekejaman dan teror terus berlangsung. Puluhan ribu orang tewas dalam perang ini dan jutaan lainnya menjadi pengungsi. Bapa Uskup dengan hati perih menyaksikan umatnya menjadi korban dan menderita berkepanjangan akibat perang. Ia kemudian mendanai dan mengorganisir berbagai relawan kemanusiaan untuk membantu para korban perang.
Berbagai karya kemanusiaan yang dilakukannya kemudian mendapat perhatian dunia internasional. Pada Februari 1980, ia diberi gelar doktor kehormatan oleh Universitas Louvain Belgia. Dalam kata sambutannya di Université catholique de Louvain, Belgia, 2 Februari 1980; Uskup Agung Romero mengungkapkan penganiayaan yang harus dialami Gereja Katolik di El Salvador :
“Dalam waktu kurang dari tiga tahun, lebih dari lima puluh imam telah diserang, diintimidasi, ditindas. Enam orang sudah menjadi martir - mereka telah dibunuh. Beberapa telah disiksa dan yang lainnya diusir [dari El Salvador]. Para biarawati juga telah dianiaya. Stasiun radio dan lembaga pendidikan keuskupan, umat Katolik atau Kristen lainnya telah diserang, diancam, diintimidasi, bahkan dibom. Beberapa komunitas paroki telah digerebek. Jika semua ini terjadi pada orang-orang yang merupakan perwakilan Gereja yang paling nyata, Anda dapat menebak apa yang telah terjadi pada umat Kristen biasa, pada para campesinos, para katekis, para pendeta awam, dan kepada komunitas berbasis gerejani. Ada ancaman, penangkapan, siksaan, pembunuhan, penomoran dalam ratusan dan ribuan ....”
Pada kunjungannya ke Eropa kali ini ia juga bertemu dengan Paus Yohanes Paulus II yang menyatakan keprihatinannya atas apa yang terjadi di El Salvador. Kepada Bapa Suci uskup Romero menjelaskan sikapnya untuk tidak mendukung Pemerintah Junta Militer El Salvador karena meskipun Nasionalis dan anti komunis, mendukung Junta Militer sama saja dengan melegitimasi berbagai aksi teror, intimidasi, serta berbagai penculikan dan pembunuhan politik yang marak terjadi di El Salvador.

Kemartiran

Pada 23 Maret 1980 di San Salvador, Uskup Romero berkotbah dengan lantang dan memohon agar para tentara El Salvador, sebagai orang Kristiani, supaya lebih mematuhi perintah Tuhan untuk saling mengasihi, dan menghentikan aksi teror, penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan atas nama pemerintah. Tanggal 24 Maret ia menghadiri rekoleksi yang diorganisir oleh organisasi Opus Dei, dan ikut dalam pertemuan bulanan para imam yang dipimpin oleh Mgr. Fernando Sáenz Lacalle.
Malam itu, Uskup Agung Romero merayakan Misa di sebuah kapel kecil di Rumah Sakit de la Divina Providencia, sebuah Rumah Sakit yang dikelola para suster Penyelenggaraan Ilahi. Ia tengah menyelesaikan khotbahnya dan melangkah dari mimbar menuju ke meja altar. Sebuah mobil merah berhenti di jalan di depan kapel dan seorang pria bersenjata turun dari kendaraan. Pria ini melangkah ke pintu kapel, dan melepaskan satu (mungkin dua) tembakan terukur yang tepat menembus jantung Uskup Agung Romero. Gembala umat ini terjungkal dihadapan altar dan tewas saat itu juga. Para pembunuhnya kemudian melarikan diri.
Uskup Oscar Romero kemudian dimakamkan pada 30 Maret 1980 di Katedral Metropolitan San Salvador (Catedral Metropolitana de San Salvador).  Misa Pemakaman dihadiri oleh lebih dari 250.000 pelayat dari seluruh dunia. Seorang imam Yesuit, John Dear, SJ mengatakan, "Pemakaman Uskup Romero adalah demonstrasi terbesar dalam sejarah El Salvador, beberapa orang mengatakan dalam sejarah Amerika Latin."
Saat upacara pemakaman berlangsung, sejumlah aksi teror ditebar untuk menakut-nakuti dan mencegah umat untuk mengikuti misa penguburan. Sebuah bom molotov meledak di jalan dekat katedral dan terjadi insiden penembakkan terhadap para pelayat. Banyak orang terbunuh oleh tembakan sniper dan sebagian tewas berdesakan. Sumber resmi melaporkan ada 31 orang tewas, sementara para wartawan mencatat lebih dari 50 orang meninggal dunia.  Beberapa saksi mengatakan bahwa para pelaku pelemparan bom dan penembakkan adalah anggota pasukan pemerintah yang berpakaian sebagai warga sipil. Ditengah insiden penembakkan, tubuh Uskup Agung Oscar Romero dimakamkan di lantai bawah tanah Katedral. Bahkan setelah upacara penguburan usai, orang-orang terus berbaris untuk memberi penghormatan kepada Oscar Romero, Uskup Agung dan Martir Pembela Kaum Tertindas.
Dalam misa pemakamannya, hadir Kardinal Ernesto Corripio y Ahumada, sebagai delegasi pribadi Paus Yohanes Paulus II. Kardinal memuji Romero sebagai "Seorang yang penuh kasih dan membangkitkan Damai,". Kardinal juga menyatakan : "Darahnya akan memberi buah bagi persaudaraan, cinta, dan kedamaian."
Sampai saat ini, tidak ada yang pernah dituntut atas pembunuhan Uskup Agung Oscar Romero. Juga tidak ada pihak yang mengaku bertanggung jawab. Pria bersenjata yang menembak bapa Uskup pun belum teridentifikasi.  Pada 24 Maret 2010 – di ulang tahun ketiga-puluh pembunuhan Uskup Romero, Presiden EL Salvador, Mauricio Funes menyatakan permintaan maaf resmi negara atas pembunuhan Uskup Romero. Berbicara di depan keluarga besar Romero, Perwakilan Gereja Katolik, para diplomat, dan pejabat pemerintah, Presiden Funes mengatakan bahwa mereka yang terlibat dalam pembunuhan itu; "Sayangnya bertindak dengan perlindungan, kolaborasi, atau partisipasi agen negara.”.

Kanonisasi

Pada hari Selasa, 3 Februari 2015, Paus Fransiskus melalui Kardinal Angelo Amato, SDB, (Prefek Kongregasi untuk Penyebab Orang Suci) secara resmi mengesahkan Kemartiran Uskup Agung Romero. Selanjutnya pada tanggal 23 Mei 2015 di Plaza Salvador del Mundo, El Salvador, Uskup Agung Oscar Romero secara resmi di Beatifikasi. Misa beatifikasi dipimpin oleh Kardinal Angelo Amato dan dihadiri sekitar 250.000 umat Katolik. 
Santo Oscar Romero dikanonisasi oleh Paus Fransiskus pada tanggal 14 Oktober 2018 di Basilika Santo Petrus Roma - Vatican.
Umat Katolik El Salvador menyebut namanya sebagai "San Romero". Gereja Katolik di Amerika Latin sering memproklamasikan Romero menjadi santo pelindung tak resmi dari benua Amerika. Di luar Gereja Katolik, Uskup Oscar Romero dihormati oleh denominasi-denominasi Kristen lainnya yang meliputi Gereja Inggris dan Komuni Anglikan. Bagi Gereja Inggris, Uskup Agung Romero merupakan salah satu dari sepuluh martir abad ke-20 yang digambarkan dalam patung-patung di atas Great West Door, Westminster Abbey, London. (qq)

0 comments:

Post a Comment