Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Thursday, April 9, 2020

Jumat Agung 10 April 2010 (Yoh 18:1-19:42)

https://unio-indonesia.org/2020/04/09; ilustrasi dari koleksi Blog Domus


KISAH SENGSARA MENURUT YOHANES
Rekan-rekan yang baik!
Tiga pokok dalam Kisah Sengsara yang dibacakan Jumat Agung ini (Yoh 18:1-19:42) sempat mengemuka dalam  sebuah pembicaraan dengan sang empunya cerita, yakni Yohanes penginjil. Yang pertama berkisar pada hubungan antara kata-kata terakhir Yesus di salib, yakni “sudah selesai” (Yoh 19:30, Yunaninya “tetelestai”) dan catatan Yohanes mengenai mengasihi “sampai pada kesudahannya” (Yoh 13:1, “eis telos”). Yang kedua membicarakan perihal jubah Yesus yang diundi para serdadu (Yoh 19:23-24). Tema ketiga berhubungan dengan arti “darah dan air” yang keluar dari lambung Yesus (Yoh 19:34). Beliau tidak keberatan surat-menyurat ini ikut dibaca rekan-rekan.
=======================================
Oom Hans yang baik!
Ini nih, kami semua dirumahkan. Mengajar dari rumah, rapat dari rumah, belanja dari rumah, nonggo, eh, ngobrol dengan tetangga bahkan dengan rekan segedung juga lewat Team atau Zoom. Lha kalau keadaan ini terjadi di zaman Oom, bagaimana, apa ada internet rohani? Ngomong-omong kami juga sudah disuruh berminggusuci lewat dunia ether – gak usah kita bilang maya karena bukan maya belaka melainkan nyata, cuma cara beradanya beda. Nih, ngisi waktu ada tiga perkara menarik.
Ketika menyiapkan tulisan mengenai Kisah Sengsara yang dibacakan pada hari Jumat Agung, terpikir kata-kata Yesus “Sudah selesai!” (Yoh 19:30). Seorang rekan Yesuit di Internos ingin memahaminya sebagai ungkapan rasa lega, penderitaan sudah lewat, rampunglah karya keselamatannya. Tapi rasanya kok ndak sreg dengan tafsir saksiré (sesuka hati) seperti itu. Kayak tontonan layar turun, tamat, selesai, kukut, bubar. Kan aslinya di situ ada tertulis dalam bahasa Yunani “tetelestai”, dan kalo kagak keliru dari kata “telos”, yakni tujuan akhir yang merangkum perjalanan dari awal, yang memberi arti pada semua yang telah dijalani. Rasa-rasanya Yesus hendak mengatakan kini sudah terlaksana sampai utuh. Orang Jakarta bilang udah kecapai, kalau di Jawa ya wis klakon. Oom gimana? Seperti versi Latin yang cespleng “consummatum est”, dengan dua “m” itu. Kan consummatum itu rak dari consummare, con + summa, “merangkum semua jadi utuh”, dan bukan dari consumere satu m, “menghabiskan” (makanan, waktu, duit) yang ada hubungannya dengan konsumsi.
Ada lagi soal lain. Kalau ndak salah, sepertinya hendak digarisbawahi gagasan bahwa Yesus itu kurban Paskah yang diterima Yang Di Atas sana sehingga benar-benar menjadi silih dosanya umat manusia. Karena itu Oom kasih kronologi lain, yaitu penyaliban terjadi sebelum Paskah, tidak seperti Marc dll. yang menaruh Paskah pada perjamuan malam terakhir. Iya kan? Saya sudah pernah katakan di sebuah milis bahwa perjamuan terakhir di mana Yesus membasuh kaki murid-murid itu bukan perjamuan Paskah, melainkan sebelumnya.
Pada awal perjamuan itu disebutkan bahwa Yesus mengasihi orang-orangnya yang di dunia ini dan betul mengasihi “eis telos”, sampai pada kesudahannya, sampai tuntas (Yoh 13:1). Apa ini semacam antisipasi atau padanan bagi kata-kata Yesus “tetelestai”, sudah terlaksana, yang diucapkannya pada saat terakhir di salib? Bila begitu kedua ayat itu memang saling menjelaskan. Yesus mengasihi orang-orangnya sampai terlaksana sesuatu yang mengubah arah hidup mereka, dan hidupnya sendiri, begitu kan?
Ada yang tanya nomer seluler-nya Oom, ingin kirim WA buat Oma Miryam 2UBOK4ever, 😉 + :-)). Kawan-kawan itu sekarang genggamannya ponsel sih, dan bukan lagi tasbih.
Sampai nanti,
Gus
==========================================
Jawaban Oom Hans
Pax!
     Dulu ada malaikat yang bawa berita penting. Lebih cackcek dari messengers kalian. Tapi kita bicara soal yang kautanyakan saja.
Betul seperti yang kaukatakan. Perkaranya, ketika mengucap “tetelestai” (Yoh 19:30), Yesus sebetulnya berseru kepada Bapanya di surga, seperti hendak mengatakan “Bapa, telah kujalani semua sampai di tujuannya,. Sekarang kupasrahkan pada-Mu semuanya!” Terjemahan Indonesia “Sudah selesai!” memang rasanya kurang pas karena hanya seperti mengatakan sudah tak ada apa-apa lagi. Mungkin “Sudah terlaksana!” atau ungkapan seperti itu akan lebih cocok. Asal membuat orang mengerti yang hendak dimaksud.
Seperti kukatakan, seruan Yesus “tetelestai” itu disampaikannya kepada Bapanya, Tetapi kami dulu ikut mendengarnya. Kejadian itu mengajar banyak tentang dia, tentang Tuhan, tentang kasih yang diucapkannya berkali-kali selama jamuan makan yang penghabisan kalinya itu. Mula-mula aku mengira Yesus ketika itu hanya aneh-aneh saja. Tapi, gagasan “consummatum est” (dua “m”) ini kunci untuk memahami semua yang terjadi padanya dan apa-apa yang diberikan kepada kami.
Senang dengar kau lihat kaitan antara “tetelestai” (menurutmu “sudah terlaksana”) dengan “eis telos” (bagimu “sampai tuntas”) yang diucapkan dalam jamuan makan penghabisan tadi (Yoh 13:1). Betul, dengan latar belakang itu, wafatnya di salib memberi makna pada “mengasihi orang-orang yang dipercayakan padanya yang kini masih ada di dunia”, artinya yang masih terancam kegelapan dan kekuatan jahat. Ia mengawani kita, menuntun kita berjalan melewati lorong-lorong hidup yang paling kelam. Kita boleh yakin tak bakal ditinggalkan oleh dia yang diutus oleh Bapa untuk membawa kami kembali kepada-Nya, ke sumber kehidupan, ke sumber terang.
Tentang pertanyaanmu yang kedua, betul, Yesus memang anak domba Paskah yang sesungguhnya. Bukan karena Yang Maha Kuasa itu suka pengorbanan dan darah muncrat dari orang ini, tidak, tidak! Yang mau disampaikan dengan bahasa itu begini. Darahnya, pengorbanannya itu kini berperan seperti darah anak domba dalam Kel 12:13 (menandai rumah agar tidak didatangi wabah penyakit dan kematian yang melanda). Jadi ketika Yesus wafat di salib dalam artian itu, Yang Maha Kuasa sendiri mengambilnya dan dengan demikian kegelapan tersingkir kekuatannya daripadanya. Itulah Terang SabdaNya. Paham?
Eh, tak usah mencoba menyama-nyamakan urutan kronologi kisah sengsara dalam tulisanku dengan ceritanya Mark. Pembasuhan kaki – peristiwa yang tak dikenal Marc dan dua orang muda lainnya nanti  – sebenarnya ialah  pembukaan jamuan Paskah yang baru, yaitu pengurbanan Anak Domba Allah di kayu salib. Aku juga sudah baca esai yang kau tulis tentang pembasuhan kaki untuk Kamis Putih kalian. Ya, Yesus ingin berbagi sangkan paran, berbagi asal dan tujuan, dengan kita semua sehingga kita bisa jadi anak-anak Yang Maha Kuasa, terlindung dari yang jahat!
Oma Miryam baik-baik saja. Ia geli melihat WA itu. Lalu ada malaikat kecil di sini yang mengajarinya membaca itu emoticon kalian yang lucu-lucu itu. Ia mendiktekan jawabannya, begini: Thanx >:), ;-*. Maklum seluler Ma Mir masih zaman mesin uap, jadi belum ada emotikon ikonik.
Salam hangat,
Hans
=======================
Oom Hans!
Terima kasih buat penjelasan dalam surat barusan. Ada soal lagi. Marc, Matt, Luc bercerita bahwa serdadu yang berjaga di tempat penyaliban mengundi pakaian Yesus di antara mereka. Oom juga ke arah itu, tapi lebih mendetail. Ada catatan bahwa selain membagi-bagi pakaian, empat serdadu di situ mengundi jubah Yesus yang terbuat dari satu tenunan kain utuh tanpa jahitan sehingga tetap utuh. Dan dalam Yoh 19:24 bahkan ada kutipan dari Mazmur 22:19 “mereka membagi-bagi pakaianku di antara mereka dan membuang undi atas jubahku.”
Apa ada penjelasannya? Mohon pencerahan. Apa dengar semua ini dari Oma Mir, Bu Mary Kleopas dan Tante Lena yang katanya ada di kaki salib waktu itu?
Sampai lain kali,
Gus
=============================================
Pax!
Kok bersoal melulu! Tentu saja aku melihat semuanya, aku mendengar semuanya. Kalau mau, tanyakan kepada ibu-ibu yang juga ada di situ. Semua ini kuceritakan pada kalian supaya kalian bisa ikut serta dalam peristiwa itu. Kami ini mata dan telinga kalian bagi peristiwa itu.
Mengapa memakai Mazmur 22:19? Ah, kami waktu itu baru sadar bahwa yang terjadi pada Yesus sesungguhnya sudah sejak lama diketahui orang bijak dari zaman dulu. Yesus memang sedang dikepung lawan-lawannya. Ia tidak dianggap bermartabat manusia lagi, kecuali oleh kami yang mengikutinya. Bahkan pakaiannya pun dijarah. Kalian kan tahu, bagi kami orang Semit zaman dulu, pakaian itu membuat orang yang memakainya kelihatan, membuat kentara siapa orangnya. Pakaian itu seperti badan, apalagi jubah yang utuh dari atas ke bawah itu. Semuanya ditanggalkan dari diri Yesus sehingga sulit kelihatan lagi bahwa ia juga ada harganya sebagai manusia. Tak perlu kalian cari-cari tafsiran apa ini jubah imam menurut praktek liturgi Yahudi juga terbuat dari tenunan utuh. Memang ada kemiripannya, tapi bukan ke arah itulah pembicaraan itu waktu. Hanya mau kutegaskan bahwa kini kemungkinannya untuk masih sedikit tampak sebagai manusia sudah dijarah habis-habisan sampai tak bersisa. Yang tinggal hanya penderitaan yang sulit diterima akal. Bahkan juga oleh kami yang dekat dengannya.
Ingat kan, Pilatus sendiri mencoba menunjukkan dalam 19:5 “Lihatlah orang itu!”, tapi orang banyak di alun-alun itu sudah jadi lupa daratan dan tak mampu lagi berpikir jernih untuk mengenalinya. Apalagi ketika ia ada di salib. Pakaian yang bakal menunjukkan ia masih bisa dianggap orang juga sudah dibagi-bagikan. Habis. Ini kami saksikan sendiri. Dan Mazmur keramat tadi membantu. Seperti pengarang Mazmur itu, kami juga percaya akan datang pertolongan dari atas. Yang Maha Kuasa sendiri nanti akan memberinya “pakaian” yang tak bisa ditanggalkan orang lagi. Malah nanti Dia akan menjadi pakaiannya. Yesus akan semakin dikenal sebagai yang sedemikian dekat dengan Yang Ilahi sendiri.
Jangan berhenti menemukan hal-hal baru dalam peristiwa yang dikisahkan mengenai Yesus itu. Penulis Injil hanya memberi kesaksian. Kalau kauterima kesaksian itu maka kalian sendiri akan ikut memasuki peristiwa itu dan menemukan makna-makna baru. Bukankah demikian kehidupan yang lahir kembali dari atas, seperti yang pernah dikatakan kepada Nikodemus dulu (Yoh 3:3 dan 7)? Dan dalam peristiwa kali ini ia juga datang – tengok Yoh 19:39 – ia membawa minyak mur dan minyak gaharu, dan tidak sedikit, sekitar 50 kati. Ini penghargaan bagi seorang Raja yang berangkat ke perjalanan jauh – ke atas sana!
Salam teguh,
Hans
=====================
Oom Hans yang baik!
Terima kasih banyak. Tak pernah terduga ada kaitannya dengan Nikodemus! Masih ada pertanyaan lagi, maaf kalau terasa kelewat ingin tahu. Ketika lembing ditusukkan, yang keluar dari lambung Yesus ialah darah dan air (Yoh 19:34). Apa sih maksudnya? Mark dkk. tidak tahu-menahu tentang perkara itu. Kemarin saya konsultasi perkara itu dengan Luc ketika ngobrol lewat Google Talk Dia malah kasih komentar, ah, Oom Hans kita itu aneh-aneh, paranormal sih.
Titip salam buat Oma Miryam begini :-* 4U.
Gus
==============================
Gus,
Menjawab soal darah dan air yang keluar dari lambung Yesus. Begini. Seperti para leluhur kami dahulu, kami membayangkan darah sebagai tempatnya kehidupan dan air sebagai kekuatan yang menopang dan melangsungkan kehidupan. Ketika Yesus meninggal di kayu salib, yang mengalir keluar dari dirinya ialah kehidupan dan kekuatan penopangnya. Itulah yang hendak kusampaikan.
Memang aku bukan ahli anatomi, tapi aku melihat lebih jauh. Kan sudah kukatakan dalam bab 19 bahwa aku menyaksikan semua ini. Juga sekarang ini masih tetap aku ingin berbagi pengalaman dan kesaksian itu dengan kalian. Eh, sudah jam dua malam nih!
😮 B4N!
Hans

0 comments:

Post a Comment