Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Friday, November 6, 2020

Minggu Biasa XXXII/A – 8 Nov 2020 (Mat 25:1-13)

 diambil dari https://unio-indonesia.org/2020/11/03; ilustrasi dari koleksi Blog Domus


YANG SIGAP DAN YANG LAMBAN

Injil Minggu Biasa XXXII tahun A ini (Mat 25:1-13) menyampaikan perumpamaan sepuluh gadis yang bermaksud mengiringkan pengantin lelaki pergi menjemput mempelai perempuan agar dapat ikut pesta pernikahan. Lima dari kesepuluh gadis tadi siap tetapi lima lainnya tidak. Mereka tidak membawa persediaan minyak bagi pelita mereka sehingga perlu pergi membelinya. Sementara itu mempelai lelaki yang ditunggu-tunggu datang dan kelima gadis yang pergi membeli minyak tadi tertinggal dan tak bisa ikut dalam pesta pernikahan.

Perumpamaan ini termasuk rangkaian pengajaran yang memiliki unsur-unsur kisahan berikut:

– Ada dua kelompok orang yang menanti-nantikan: Mat 24:37-41 (yang satu terbawa, yang lain tertinggal); 45-51 (hamba setia, hamba jahat); 25:14-46 (hamba-hamba setia yang menggandakan talenta – hamba yang mengubur pemberian; domba di kanan, kambing di kiri).

– Tertundanya kedatangan orang yang dinantikan: Mat 24:48 (majikan para hamba); 25:14.19 (pemberi talenta).

– Saat kedatangannya tak terduga-duga: Mat 24:29-36; 50-51.

– Bisa diamati gelagatnya: Mat 24:29-36.43 (nasihat berjaga-jaga; inti pewartaan Mat 24-25).

– Perlu kewaspadaan dan usaha: Mat 24:45-51 (hamba yang berjaga-jaga) ; 25:14-30 (menjalankan talenta).

Marilah kita lihat dari dekat beberapa unsur di dalam perumpamaan sepuluh gadis ini.

PADA WAKTU ITU

Petikan hari ini mulai dengan ungkapan “Pada waktu itu hal Kerajaan Surga seumpama….” Dibicarakan di sini saat pemisahan siapa yang akan masuk siapa yang akan tertinggal di luar, seperti juga sudah disebutkan dalam Mat 24:40 (“Pada waktu itu kalau ada dua orang di ladang, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan”) dan nanti dalam Mat 25:32 (“Lalu semua bangsa akan dikumpulkan di hadapan [Anak Manusia yang datang dalam kemuliaannya] dan ia akan memisahkan mereka seorang dari yang lain, sama seperti gembala memisahkan domba dari kambing.”). Yang dimaksud dengan “Hal Kerajaan Surga” ialah keadaan pada akhir zaman itu nanti.

Apakah ini ramalan? Banyak pembaca Injil Matius pada zaman itu berpikir demikian. Maklum mereka mengira bahwa akhir zaman akan segera datang. Namun anggapan ini dirasa perlu disesuaikan dengan kenyataan bahwa akhir zaman yang ditandai dengan macam-macam kekalutan dan kekacauan tak kunjung tiba.  Juga ketika orang merasa bahwa tanda-tandanya yang disebutkan dalam Mat 24:4-18 sudah tampak . Dunia terus berlangsung. Orang-orang juga tetap hidup. Injil Matius menjelaskan bahwa akhir jagad tetap akan datang tidak lama lagi, tetapi kapan persisnya tidak diketahui. Tak ada yang tahu, malaikat tidak tahu, bahkan anak (manusia) sendiri yang akan datang dengan kemuliaan tidak mengetahuinya. Hanya Bapa di surga yang tahu. Diajarkan kepada orang zaman itu agar tetap waspada. Itulah sebabnya perumpamaan mengenai sepuluh gadis tadi tampil dalam pembicaraan mengenai akhir zaman. Di sini terlihat betapa iman mereka tetap hidup dan penalaran mereka tidak berhenti. Tidak terpancang pada gagasan dan perkiraan belaka.

Bagaimana dengan orang pada zaman ini? Bila pelita iman tetap dihidupkan dengan minyak nalar yang tak mengering, maka tak usah takut menafsirkan Mat 24-25 bukan sebagai ramalan bahwa akhir zaman akan segera datang. Namun demikian, kewaspadaan serta kesiagaan yang diajarkan di situ tetap memiliki bobot dan arti. Malah makin besar. Bagaimana penjelasannya?

IKUT PESTA PERKAWINAN, PELITA, MINYAK

Perumpamaan ini didasarkan pada kebiasaan yang pada zaman Matius sudah tidak begitu ada tetapi tetap diingat dan dapat dijadikan ibarat. Dulu aib besar bagi seorang gadis yang memasuki umur dewasa bila tidak boleh atau tak dapat ikut meramaikan pesta pernikahan salah satu dari antara mereka sebagai pengiring pengantin. Dalam kesempatan itu boleh diharapkan akan mendapatkan tunangan. Yang tak bisa ikut bisa jadi tak punya pakaian yang pantas, atau berparas buruk, atau memang tidak dimaui. Akan susah baginya menemukan tunangan yang akan menjadi suaminya. Sisa hidupnya akan tak terurus. Ia harus menantikan sampai ada yang menebusnya. Dan memang dalam masyarakat Yahudi dulu ada kelompok seperti ini. Kerap mereka yang tidak menikah ini tergolong bersama dengan kelompok “janda”. Bukan kehidupan yang menyenangkan. Dijadikan buah bibir, dicibiri, dijauhi. Hanya dipelihara, dikasihani.

Dalam perumpamaan ini, nasib mereka diakibatkan akibat kebodohan mereka sendiri. Mereka teledor tidak membawa cukup bekal dan kehilangan kesempatan berharga ikut mempelai lelaki menjemput pengantinnya. Ketika mereka menyusul, pintu tidak akan dibuka bagi mereka. Terlambat. Permintaan mereka agar pintu dibuka tidak dilayani dan mereka dianggap orang yang tak dikenal.

Dalam sejarah penafsiran, kerap ada uraian mengenai pelita dan minyak. Pelita dapat dilihat sebagai lambang terang iman yang menuntun pembawanya. Penolakan lima gadis yang bijaksana untuk memberi minyak mereka tak usah ditafsirkan sebagai sikap menaruh kepentingan diri di atas kebutuhan sesama. Penolakan itu menunjukkan betapa minyak dan pelita menjadi bagian yang tak terpisahkan dari yang membawanya. Jelas yang dimaksud bukan minyak sungguhan, melainkan minyak yang menghidupkan orang dari dalam dan tak dapat diparo bagi orang lain. Juga angka sepuluh sering dilihat sebagai cara mengatakan seluruh komunitas orang yang percaya, Gereja, di situ ada yang sigap dan ada yang lamban dalam menunggu sang Mempelai, yakni Kristus. Bila begitu, maka ada imbauan untuk membantu agar jangan sampai orang jadi lamban, siap-siaplah dengan bekal. Juga yang sigap hendaknya tetap awas.

MENDENGARKAN SABDA

Petikan hari ini mengingatkan kita pada perumpamaan orang bijak yang mendirikan rumah di atas pondasi batu (Mat 7:24-27). Rumahnya tak bakal rubuh bila hujan turun dan angin menerpa. Tetapi orang yang bodoh membangun rumah di atas pasir. Gampang. Tapi bila datang hujan dan banjir rumahnya akan musnah. Di situ bijaksana atau bodoh diukur dengan “mendengar perkataanku”. Yang tidak mendengarkan tapi merasa sudah berseru “Tuhan, Tuhan” akan terpaksa mendengar jawaban “Aku tidak mengenalmu!” (7:21-23). Seruan sia-sia dan jawaban yang sama diperdengarkan kepada lima gadis lamban yang datang menyusul ketika pintu sudah ditutup (25:11-12).

Perbandingan di atas memperlihatkan bahwa kebodohan kelima gadis tadi intinya ialah sikap kurang mau memberi ruang gerak pada Sabda Ilahi dalam kehidupan mereka. Bagi mereka, Sabda belum jadi bagian dalam kehidupan. Ini kecerobohan bertindak yang akhirnya membuat mereka tidak dapat ikut di dalam kegembiraan yang mereka harap-harapkan.

Tertundanya kedatangan yang ditunggu-tunggu itu bisa jadi kesempatan berharga untuk semakin belajar mendengarkan. Bukan agar menjadi waswas mengenai kapan datangnya yang ditunggu dan mulai ikut dalam upaya ramal meramal. Yang berbekal kebijaksanaan boleh tetap tenang dan yakin bahwa yang ditunggu pasti akan datang. Kapan terserah yang kuasa. Ini kebijaksanaan orang yang mendengar Sabda Ilahi tidak memaksa-maksa, tidak mendahului, melainkan membiarkan-Nya datang dengan derap langkah-Nya sendiri. Ini sama dengan mengawasi gerak gerik-Nya dan membuat orang bisa selangkah dengan-Nya nanti.

Salam hangat

A. Gianto

0 comments:

Post a Comment