Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Thursday, October 3, 2019

Mukjizat Buah Komitmen Pada Yang Nyata




Pada hari Selasa pagi 1 Oktober 2019 saya mendapatkan kunjungan Maria Paramastri Hayuning Adi yang biasa dipanggil Astrid. Kini nama lengkapnya dalam undangan perkawinan sudah bertambah dengan gelar SE dan M.Sc. “Sekarang apa saja acara rama?” tanya Astrid yang saya jawab “Sangangpuluh persen luwih neng kamar. Ketemu rama saomah mung pas misa Komunitas karo neng kamar makan sedina ping telu. Sok-sok diundang misa. Biasane misa arwah” (Berada di kamar lebih dari 90%. Berjumpa dengan rama serumah hanya pada saat misa komunitas dan tiga kali di kamar makan. Kadang-kadang ada yang minta pelayanan misa. Biasanya misa arwah). Tampaknya dia ingin berbicara masa lalu ketika masih aktif ikut gerakan kegiatan di Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner (MMM PAM). Maklumlah Astrid termasuk anggota tim remaja sejak SMP dan SMA dan dulu bersama keluarganya termasuk dekat dengan saya. Tetapi saya berkata “Nek omong urip ki sing saiki wae. Sing biyen ki wis kliwat. Kuwi nggo sinau” (Yang dibicarakan yang sekarang saja. Yang dulu sudah lewat. Itu untuk pembelajaran).


Belajar Mati untuk Meraih Kehidupan

Sebenarnya kata-kataku yang menekankan omongan untuk yang riil kini dan disini saya sengaja untuk masuk dalam ikut menyiapkan Astrid meninggalkan orangtuanya demi bersama suaminya berada di kota lain. Saya kemudian men-sharing-kan pengalaman saya masuk rumah tua para rama di Domus Pacis Puren. Berpisah dengan “hidup harian” masa lalu memang membutuhkan proses. Pada saat meninggalkan kehidupan harian ketika masih dinas dengan pusat MMM PAM dan kemudian tinggal di Domus, saya bertindak ekstrim. Kecuali untuk melayani permintaan pelayanan misa, yang pada bulan Juli-Agustus 2010 hanya amat kadang-kadang, saya sengaja ngendon di kamar. Dalam hati terpatri kata-kata “Sebelum merasa kerasan di kamar ini, saya tidak akan pergi-pergi apalagi hanya untuk dolan”. Dari catatan yang saya miliki, saya memerlukan 59 hari untuk menyadari mengapa hati diwarnai kegelisahan. Hal itu terjadi ketika saya mengendarai sepeda motor roda tiga di tengah hujan menuju tempat misa yang harus saya layani. Karena terjadi pada sekitar jam 18.30, peristiwa itu sungguh membuat saya menderita. Bila kaca helm ditutup, saya akan mengalami pandangan gelap. Bila dibuka, derasnya hujan membuat pipi terasa disayat-sayat. Saya hanya mengeluh dalam hati kepada Tuhan. Tiba-tiba terasa seperti ada sentakan yang mengatakan “Itulah sekarang kinimu. Kamu sudah bukan pimpinan lembaga yang memiliki fasilitas mobil. Kamu sudah tidak memiliki tim kerja yang biasa mengiringipun dalam pelayanan”.

Karena suara sentakan itu muncul dalam doa batin sembari bermotor menempuh kelebatan hujan, dalam renungan-renungan sesudahnya saya menyadarinya sebagai cahaya terang ilahi. Kesadaran itu saya yakini karena saya tidak tersinggung akan kata-kata itu. Justru karena kata-kata itulah yang membuat saya seperti mengalami kebangkitan jiwa. Hati menjadi tenang. Dan selanjutnya situasi dan kondisi Domus Pacis Puren menjadi kehidupan baru. Saya teringat ungkapan bahasa Perancis yang kalau tidak keliru berbunyi partir c’est murir en peau (perpisahan itu adalah kematian kecil). Segala karya MMM PAM sudah lalu, sudah mati. Tetapi dengan ikhlas menghayati kematian itu, saya menemukan kehidupan baru yang tak kalah terasa indah dan membahagiakan. Tentu saja semua ini saya katakan kepada Astrid sebagai sharing untuk ikut mengantarnya meninggal ibu dan bapaknya karena akan menghayati kehidupan baru bersama suaminya.


Èh, Malah Sadar Mukjizat

Ketika Astrid sudah pulang dan dalam kesendirian di kamar, ternyata saya terus digerayangi oleh kekinian saya. “Kini dan di sini” saya adalah Domus Pacis Puren.

Kondisi dalam keterbatasan

Sebagaimana rama-rama lain yang tinggal di Domus, hidup saya didominasi oleh kangkangan kamar. Saya memang menjadi yang paling tampak segar dibandingkan dengan para rama lain. Saya masih bisa pergi baik dengan motor roda tiga maupun mobil matik Ayla. Dalam mobilitas saya memang bisa menggunakan kruk atau tongkat penyangga. Tetapi karena pernah dua kali terpeleset dan harus terbaring di RS Panti Rapih karena patah tulang, saya merasa lebih aman dengan kursi roda. Saya memang menjadi sosok Domus yang paling banyak pergi untuk pelayanan misa (mayoritas misa arwah) dan pendampingan penyegaran ajaran agama untuk kelompok lansia. Meskipun demikian, sekalipun tampaknya paling sibuk, 92,77% hidup saya berada di rumah induk Domus Pacis Puren. Inilah yang membuat saya berani mengatakan bahwa 90,00% saya lebih berada dalam kamar. Perjumpaan dengan rama-rama hanya pada waktu misa komunitas dan tiga kali makan sehari. Dalam mobilitas saya banyak berkursi roda. Kalau pergi harus lebih membutuhkan bantuan orang lain untuk memasukkan dan mengeluarkan kursi roda serta mengandalkan bantuan orang lain lebih-lebih kalau berhadapan dengan jalan tak rata bahkan dengan tangga.

Kondisi seperti itu tentu membuat cakupan aktivitas saya amat terbatas. Saya hanya melayani misa ujub keluarga, 5 kelompok pendalaman ajaran agama untuk lansia lima kali sebulan, dan Novena Seminar untuk lansia setiap Minggu Pertama 9 kali dalam setahun. Selain kondisi seperti itu, saya juga harus memperhatikan kondisi tubuh. Saya harus menjaga diri dalam hal menu yang saya santap. Ada penyakit-penyakit yang menggerayangi tubuh: hipertensi, asam urat, kolesterol, trigliserid, dan diabetes. Dalam hal kondisi tubuh, saya juga tidak mudah untuk menerima acara luar yang harus terjadi pada waktu pagi hingga sekitar jam 09.30. Kalau harus menerima, saya sudah harus santap pagi pada antara jam 03.00-04.00. Hal ini disebabkan keadaan saya yang akan mudah berak sewaktu-waktu walau sudah berak sebelumnya sesudah makan pagi.

Penyelenggara kepentingan tidak kecil

Dengan keterbatasan yang ada, ada beberapa hal yang menurut saya cukup besar.



1.     Novena Ekaristi Seminar. Ini adalah program untuk kaum lanjut usia yang dirintis pada tahun 2012. Kemudian mulai tahun 2013 hingga kini terjadi 9 kali berturut-turut dari Maret hingga November pada setiap Minggu Pertama jam 09.00-12.00. Dengan program ini para peserta diharapkan mendapatkan wawasan realitas dunia kelansiaan. Setiap akhir pembicaraan memang ada pegangan Injili yang diharapkan dapat menjadi landasan untuk menghayati iman sesuai dengan situasi hidup yang dihadapi. Sesudah pembicaraan pada bagian seminar, ada misa kudus. Dalam program ini ketika datang para peserta selalu mendapatkan minuman teh dan snak sederhana. Sesudah misa makan siang pun disajikan untuk semua. Jumlah pendaftar biasa menembus angka 300. Ini adalah program yang melibatkan tidak sedikit orang untuk berbagi. Para pembicara, yang sungguh ahli dalam bidang masing-masing, datang berbagi wawasan tanpa honorarium. Ibu Tatik Santo menjadi sosok berbagi tenaga untuk menyiapkan santap siang dengan beaya yang amat rendah. Bu Rini menjadi penyedia snak juga dengan harga murah. Mas Handoko mengurus perlengkapan seperti tata kursi dan soundsystem. Bu Sri Handoko, Bu Sri dari Ambarrukmo, Bu Mumun, Bu Mardi, Bu Mardanu, Bu Dini, Bu Titik Waluyanti biasa datang untuk membantu Bu Tatik dan Bu Rini. Bu Titik dari Puren mengurus altar, hosti, anggur, dan buku misa. Semua datang berbagi tenaga juga tanpa honorarium. Untuk program ini yang membutuhkan beaya hanya konsumsi. Uang diperoleh dari kolekte para peserta. Kadang-kadang ada peserta yang memberikan tambahan sumbangan. Maka para peserta mendapatkan kesempatan berbagi harta. Dalam hal berkolekte, hal ini sungguh bersifat suka rela dan bukan keharusan. Hasil kolekte dipakai untuk pembeayaan konsumsi bulan selanjutnya.
2.      Hajatan. Domus Pacis Puren biasa mengadakan hajatan terutama ulang tahun tahbisan. Tetapi kini yang jadi hajatan besar adalah ulang tahun imamat ke 40 atau dimungkinkan ke 50. Secara praktis itu memang saya yang bertanggungjawab. Selain hajatan untuk kepentingan rama penghuni, ada juga hajatan besar yang berkaitan dengan keperluan saya pribadi seperti pertemuan trah dan peringatan arwah ibu saya. Untuk hajatan Mas Handoko akan secara ekstra mengurus perlengkapan dan apapun yang dibutuhkan selain konsumsi. Bu Titik Waluyanti dan Bu Rini akan sibuk mengurus konsumsi. Tentu saja beberapa ibu yang ikut membantu program Novena juga ikut terlibat dalam hari pelaksanaan.
3.      Rumah Tangga Domus Pacis Puren. Saya memang sudah terbiasa membantu mengurus kebutuhan Domus. Tetapi secara resmi diserahi tanggungjawab memang baru terjadi mulai Agustus 2018. Domus memang memiliki karyawan dan tenaga pramurukti yang berasal dari RS Panti Rini. Untuk kebutuhan-kebutuhan khusus internal Domus ada beberapa orang yang setiap saat siap membantu: Bu Rini, Mas Handoko, dan suami-istri Pak Naryo – Bu Ninik. Orang-orang ini sungguh meringankan saya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan Domus. Mereka berperan dalam mendapatkan bantuan-bantuan in natura (berupa barang) atau paling tidak mendapatkan barang kebutuhan dengan harga ekstra murah. Bu Ninik dan Bu Rini bersama 6 orang ibu lain (Bu Tatik, Bu Wulan, Bu Mardi, Bu Riwi, Bu Vero, dan Bu Mumun) dapat menghimpun 89 orang untuk pengadaan lauk pauk sehari 3 kali yang diantar ke Domus Pacis Puren. Delapan puluh sembilan orang ini menyumbang tambahan beaya untuk pengadaan masakan. Dalam pengamatan saya rata-rata per orang menyumbang sebesar Rp. 50.000,00. Memang, saya secara pribadi sering mendapatkan bantuan berupa uang dari donator. Sumbangan ini tentu amat bermanfaat menutup kekurangan finasial yang saya terima per bulan. Dana Keuskupan yang saya minta lewat Rm. Sapta Nugraha paling banyak menutup kebutuhan finansial sebesar 75,00%. Apalagi kalau bantuan barang seperti beras, pempers, dan tambahan untuk makan dihitung uang, dana-dana ini untuk Domus mendukung kekurangan minim 39,15%.

Mukjizat penyertaan Tuhan

Dari permenungan ini saya sungguh menyadari diri saya yang terbatas. Keterbatasan disabilitas kaki membuat saya baru sekali masuk rumah Pak Naryo – Bu Ninik. Di rumah Bu Rini, yang paling banyak berada di Domus Pacis Puren, saya hanya bisa masuk di ruang bawah yang tidak biasa untuk menerima tamu. Itupun belum sampai sepuluh kali. Biasanya saya hanya berada di halaman rumahnya dan itupun berada di dalam mobil. Untuk sungguh masuk ruang penerimaan tamu orang harus naik lewat jalan bertangga-tangga banyak. Apalagi di tempat tinggal Mas Handoko. Untuk naik ke tingkat 5 rumah susun sungguh di luar kemungkinan.

Untuk kontak dengan semua relawan-relawati baik yang siap secara harian, dalam acara-acara khusus, maupun yang menyediakan diri menyiapkan masakan, saya hanya biasa lewat SMS, WA, dan telepon. Tetapi kehadiran mereka selalu bersifat fisik face to face. Kontak saya banyak diwarnai model non lahiriah tetapi yang terjadi adalah lahiriah sesuai kebutuhan kongkret baik yang diharapkan maupun yang di luar harapan tetapi amat baik jadinya. Entah bagaimana saya merasa bahwa apa yang saya kontakkan dengan alat komunikasi adalah seperti sebuah doa yang relasinya bercorak batiniah. Dan dari “doa” itu datanglah mereka dengan segala karyanya. Dalam hal ini saya berkeyakinan bahwa kehadiran mereka adalah kehadiran kasih berkepedulian. Padahal kasih berkepedulian adalah karya ilahi. Maka semua relawan-relawati adalah ujud-ujud bagian raga ilahi. Yang terjadi adalah mukjizat dalam hidup para penghuni atau komunitas Domus Pacis Puren. Dengan ini saya sungguh disadarkan bahwa, dengan kesungguhan hidup “kini dan di sini” dalam perjalanan sehari-hari, sadar atau tidak sadar saya boleh mengalami mukjizat yang sungguh nyata.


3 Oktober 2019

0 comments:

Post a Comment