Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Tuesday, June 24, 2014

MENGAPA SAYA MENGENAKAN KERUDUNG MISA


Oleh Anne dalam luxveritatis7.wordpress.com 15 Mei 2014
 
Saya telah setia dengan kerudung Misa* selama kurang-lebih tiga tahun. Kebanyakan orang tidak berkomentar, tetapi mereka yang didorong oleh rasa keingintahuan yang positif kemudian bertanya: “Mengapa?”

Ya, mengapa saya akhirnya memutuskan untuk mengenakan kerudung Misa? Bukankah itu praktek yang sudah tua, sudah ketinggalan zaman, dan tidak diharuskan lagi setelah disahkannya Hukum Kanonik tahun 1983?

Di sini saya tidak akan membahas kontroversi mengenai harus atau tidaknya mengenakan kerudung Misa pada masa ini. Bagi saya, tidak diwajibkannya kerudung Misa justru memperkuat alasan kita untuk mengenakannya atas dasar kasih kepada Yesus dalam Sakramen Mahakudus. Kasih lahir dari kehendak bebas, dan kini banyak wanita yang dengan bebas memilih untuk berkerudung Misa.

Alasan mengapa saya berkomitmen mengenakan kerudung Misa berkembang seiring bertambahnya pengetahuan teologis saya, dan juga tidak lepas dari awal mula saya berkenalan dengan sepotong kain ini.
Waktu itu tahun 2009, saya mendapat sebuah undangan dari forum dunia maya untuk menghadiri Misa Forma Ekstraordinaria (Misa Latin Tradisional). Undangan tersebut secara eksplisit menghimbau agar para wanita mengenakan kerudung.

Pada saat itu saya masih menganggap kerudung Misa hanya sebagai sebuah “kostum” khusus untuk Misa FE saja. Praktek yang manis, namun sudah tua dan sudah tidak relevan, dan rasanya sudah tidak cocok untuk wanita modern abad ke-21.

Namun, petualangan lebih lanjut di internet membawa saya pada sebuah kesimpulan yang menarik: kerudung Misa rupanya telah kembali, dan banyak wanita muda kini telah mengadopsi kembali praktek kuno ini.

Di dalam hati saya mulai muncul sebersit ketertarikan untuk ikut berkerudung. Tetapi dari awal saya sadar bahwa kerudung Misa tidak main-main; ia adalah sebuah devosi yang serius dan memerlukan komitmen serta iman yang matang. Apalagi, devosi ini melibatkan sebuah tanda eksternal yang jelas terlihat, sama halnya dengan orang yang mengenakan skapular, atau biarawan yang berjubah.

Saya memerlukan waktu discernment selama kurang lebih dua tahun, disertai dengan beberapa peristiwa yang mengawali pertobatan pribadi saya, sebelum akhirnya memutuskan untuk konsisten berkerudung kapanpun saya berada di hadapan Sakramen Mahakudus.

Kerudung Misa, Kerudung Pengantin Kristus

Satu permenungan yang amat menyentuh saya secara spesial adalah bahwa kerudung Misa (terutama mantilla) membuat saya merasa bagaikan seorang pengantin! Saya berpikir seperti ini: “Jika banyak wanita menunggu-nunggu hari besarnya di mana ia akan berkerudung saat menghampiri calon suaminya, mengapa kita enggan berkerudung saat menyambut Kekasih Surgawi kita? Bukankah Kurban Kalvari, yang senantiasa dihadirkan kembali di dalam Misa, adalah tanda perkawinan antara Kristus dengan Gereja-Nya, Kristus dengan saya? Jikalau demikian, tidakkah semestinya kita mengenakan bukan saja pakaian yang terbaik, melainkan juga pakaian yang spesial, yang sedikit berbeda dari hari-hari biasa? Betapa beruntungnya para biarawati yang seumur hidup mengenakan gaun beserta kerudung pengantin mereka!”

Permenungan tersebut kemudian menjadi alasan utama saya memutuskan mengenakan kerudung Misa. Tanpa disadari, kerudung Misa meningkatkan sensitivitas saya terhadap benda-benda kudus dan atmosfer suci di dalam gereja. Saya memperhatikan bahwa setiap gerakan doa dan pujian saya lebih teratur, tenang, dan bertujuan; disposisi batin saya pun lebih terarah kepada Dia yang pantas mendapatkan seluruh perhatian saya.

Selembar kain yang tampak remeh ini rupanya sanggup menjadi semacam bentuk disiplin bagi daging saya yang lemah ini, serta sebuah pengingat bahwa saya adalah kekasih Kristus, pengantin Tuhan, dan dengan demikian saya harus bersikap selayaknya seorang pengantin, bukan pelacur. Betul bahwa hal tersebut membutuhkan pengorbanan dalam bentuk ketundukan (submission); namun apa artinya kasih tanpa pengorbanan?

Tubuh Mempengaruhi Roh, Roh Mempengaruhi Tubuh

Aneh tapi nyata, lambat laun perubahan secara fisik pun juga terjadi, yaitu perubahan isi lemari pakaian saya. Perlu dicatat bahwa sebelumnya saya agak anti dengan rok dan hal-hal yang “cewek banget”. Saya menganggap hal-hal feminin itu lemah dan kurang praktis. Padanan baju saya pun sebagian besar berupa kaus atau kemeja dan celana jins panjang maupun pendek (jangan ditanya seberapa pendek).

Namun setelah beberapa lama berkerudung Misa, saya mulai mengevaluasi kembali pakaian dan penampilan saya. Pertama, dari segi kecocokan, saya merasa bahwa kerudung Misa sesungguhnya memang paling cocok jika disandingkan dengan gaun atau rok yang sopan, jadi saya mulai secara eksklusif mengenakan rok untuk ke gereja. Kedua, bagaimana mungkin seorang wanita yang menudungi kepalanya tidak melindungi tubuhnya juga? Demikianlah kini saya menjadi lebih modest, tidak hanya dalam berbusana, melainkan juga dalam tindak-tanduk, perkataan, dan cara berpikir.

Identitas dan Misteri Perempuan

Bisa dibilang, memang, bahwa praktek berkerudung mengubah pribadi saya menjadi lebih feminin. Di masa modern ini, terutama di kehidupan perkotaan yang banyak terpengaruh budaya barat, menjadi feminin merupakan bahan cemoohan. Diri saya beberapa tahun yang lalu juga pasti akan mencemooh saya yang sekarang.

Tetapi jika dipikirkan, mengapa wanita takut menjadi feminin? “Feminin” berasal dari kata “female”, perempuan, sehingga feminin berarti hal-hal yang berkaitan dengan perempuan. Menjadi feminin sesungguhnya mengukuhkan identitas seorang perempuan, yang sejajar dengan pria namun tetap berbeda, salah satunya berbeda dalam hal kehormatan menjadi bejana sakral pembawa kehidupan baru. Tabernakel dan piala yang berisikan Tubuh dan Darah Tuhan — Sang Kehidupan itu sendiri — juga dikerudungi, mengapa wanita tidak? Padahal, di dalam tubuh wanitalah terjadi misteri cinta yang melahirkan kehidupan! Kerudung Misa menegaskan realita ini dan mengangkatnya ke dalam makna teologis yang tinggi dan mendalam.

Mungkin, itulah mengapa pudarnya praktek berkerudung Misa berbarengan dengan meluasnya gerakan revolusi seksual dan ideologi feminisme radikal pada tahun 1960-an, yang kemudian melahirkan aborsi dan kontrasepsi. Gerakan revolusi seksual berusaha meyakinkan para perempuan bahwa mereka sama dengan laki-laki, harus meniru laki-laki dalam segala hal, dan bahwa hal-hal yang feminin — termasuk peran sebagai istri dan ibu — hanya akan menjadi penghambat kebebasan dan prestasi. Kerudung Misa, beserta segenap nilai-nilai kesederhanaan dan keteraturan tradisional yang diwakilinya, merupakan tamparan keras di wajah sang feminis karena ia mengusung martabat perempuan sebagai makhluk yang unik, yang istimewa dalam feminitasnya, yang setara dengan, namun tidak sama dan tidak akan pernah sama dengan, laki-laki.

Holier-than-thou?

Tentunya, saya tidak menganggap bahwa wanita dengan kerudung Misa itu lebih suci dibanding wanita yang tidak berkerudung. Justru, karena saya belum sucilah, saya membutuhkan devosi ini untuk membantu mendisiplinkan kedagingan saya dan mengarahkan saya kepada Kehadiran Allah.
Saya juga mengakui, perubahan-perubahan yang saya jabarkan di atas berlangsung sedemikian halus (subtle), dan banyak yang lebih berkaitan dengan suasana internal jiwa saya, sehingga sulit rasanya jika harus dijelaskan melalui tulisan. Anda yang membaca ini pun mungkin susah membayangkannya, apalagi mempercayainya. Maka, bisa dipahami apabila anda masih merasa skeptis. Akan tetapi saya berani meyakinkan anda bahwa sungguh inilah yang terjadi: kerudung Misa mendorong pertobatan saya secara fisik dan membuat saya lebih memahami konsep kesederhanaan (modesty), kemurnian (chastity), dan keindahan (beauty) menurut Iman Katolik.

Kerudung Misa mungkin hanya terlihat sebagai sepotong kain yang cantik belaka, tetapi percayalah, sebagai sebuah bentuk devosi, kerudung Misa amat powerful dan dengan rahmat Allah, ia akan membantu anda lebih mudah tunduk kepada Sang Mempelai yang Tersalib.

***
Catatan:
 Dalam artikel ini, saya menggunakan istilah “kerudung Misa” (chapel veil), bukan “mantilla”, karena sesungguhnya mantilla adalah satu jenis khusus dari kerudung Misa, yaitu kerudung dari bahan lace (brokat atau renda). Sebenarnya, lebih akurat lagi jika saya menggunakan istilah “tudung kepala” (headcovering), mengingat praktek “menudungi kepala” bagi wanita Kristen tidak terbatas pada kerudung sungguhan, melainkan juga syal atau skarf, bandana besar, serta topi-topi resmi seperti yang rutin dikenakan oleh wanita-wanita Inggris hingga saat ini.

0 comments:

Post a Comment