Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Saturday, June 7, 2014

SURAT ENSIKLIK TERANG IMAN (11)

Berikut ini adalah terjemahan yang tidak resmi (unofficial translation) dari ensiklik Paus Fransiskus yang berjudul Lumen Fidei (Terang Iman). Jika anda ingin mengutip terjemahan ensiklik ini, mohon mencantumkan www.katolisitas.org sebagai sumbernya, sehingga kalau ada masukan dapat diberitahukan kepada kami.
AN  UNOFFICIAL INDONESIAN TRANSLATION OF THE ENCYCLICAL LUMEN FIDEI (The Light of Faith)
@COPYRIGHT 2014 – KATOLISITAS


Surat Ensiklik
TERANG IMAN

dari Sri Paus
FRANSISKUS
Kepada Para Uskup Imam dan Diakon
Kaum Religius dan Umat Awam
Tentang IMAN



Dialog antara iman dan akal budi

32. Iman Kristiani, karena ia mewartakan kebenaran akan kasih Allah yang total dan membukakan kita kepada kekuatan kasih itu, menembus kepada inti dari pengalaman manusiawi kita. Masing-masing dari kita datang kepada terang itu karena kasih, dan masing-masing dari kita dipanggil untuk mengasihi agar tetap berada di dalam terang itu. Berhasrat untuk menerangi seluruh realitas dengan kasih Allah yang dimanifestasikan dalam Yesus, dan berusaha untuk mengasihi orang lain dengan kasih yang sama itu, jemaat Kristiani perdana menemukan dalam dunia Yunani itu, dengan kehausannya akan kebenaran, sebuah pasangan ideal dalam dialog. Perjumpaan pesan Injil dengan budaya dunia kuno yang filosofis telah membuktikan sebuah langkah yang menentukan dalam evangelisasi bagi semua bangsa, dan telah membangkitkan suatu interaksi yang berhasil antara iman dan akal budi yang telah terus berlanjut selama berabad-abad sampai ke zaman kita sendiri. Beato Yohanes Paulus II, dalam Surat Ensiklik Fides et Ratio [Iman dan Akal budi], telah menunjukkan bagaimana iman dan akal budi saling memperkuat satu sama lain.[27] Saat kita menemukan terang yang penuh dari kasih Kristus, kita menyadari bahwa setiap kasih di dalam kehidupan kita sendiri selalu telah mengandung seberkas terang itu, dan kita memahami tujuan akhirnya. Fakta itu bahwa kasih manusiawi kita mengandung berkas terang itu juga membantu kita untuk melihat bagaimana semua kasih dimaksudkan untuk mengambil bagian di dalam pemberian diri yang seutuhnya dari Putera Allah demi kita. Di dalam gerakan yang melingkar ini, terang iman menerangi semua hubungan manusiawi kita, yang kemudian dapat dihidupi dalam persatuan dengan kelembutan kasih Kristus.

33. Dalam kehidupan Santo Agustinus kita menemukan sebuah contoh yang signifikan dari proses ini di mana akal budi, dengan hasratnya akan kebenaran dan kejelasan, telah diintegrasikan ke dalam wawasan iman dan dengan demikian memperoleh pemahaman baru. Agustinus menerima filsafat Yunani tentang terang, dengan desakannya kepada pentingnya penglihatan. Perjumpaannya dengan Neoplatonisme telah memperkenalkannya kepada paradigma terang itu yang, turun dari tempat tinggi untuk menerangi semua realitas, adalah sebuah simbol dari Allah. Maka Agustinus sampai kepada penghargaan akan transendensi Allah dan mendapati bahwa segala sesuatu memiliki sebuah transparansi tertentu, sehingga mereka dapat merefleksikan kebaikan Allah. Realisasi ini membebaskannya dari paham Manikeisme yang dianutnya sebelumnya, yang telah menyebabkannya untuk berpikir bahwa kebaikan dan kejahatan seterusnya ada dalam pertentangan, tercampur baur dan terjalin satu sama lain. Realisasi bahwa Allah adalah terang telah memberikan Augustinus sebuah arah baru dalam hidup dan memampukannya untuk mengakui kedosaan-nya dan untuk beralih menuju kebaikan.

Namun demikian, momen yang menentukan dalam perjalanan iman Agustinus, sebagaimana dikatakannya kepada kita dalam Pengakuan-pengakuannya [Confessions], bukanlah dalam penglihatan akan Allah yang di atas dan melampaui dunia ini, melainkan di dalam sebuah pengalaman mendengarkan. Di taman itu, ia [St. Agustinus] mendengar sebuah suara yang mengatakan kepadanya: “Ambil dan bacalah”. Ia kemudian mengambil buku itu yang berisi surat-surat yang ditulis oleh Santo Paulus dan mulai membaca bab ketiga belas dari Surat kepada jemaat di Roma.[28] Dengan cara ini, pribadi Allah dari Alkitab telah menampakkan Diri kepadanya: Allah yang dapat berbicara kepada kita, datang turun untuk tinggal di tengah-tengah kita dan menemani perjalanan kita melalui sejarah, yang membuat diri-Nya dikenal di waktu mendengar dan merespon.

Namun perjumpaan dengan Allah yang berbicara ini tidak menyebabkan Agustinus menolak terang dan penglihatan. Ia telah mengintegrasikan kedua perspektif dari pendengaran dan penglihatan, yang secara terus menerus dibimbing oleh wahyu kasih Allah di dalam Yesus. Dengan demikian Agustinus telah mengembangkan sebuah filosofi terang yang sanggup merangkul keduanya, baik hubungan timbal balik yang tepat bagi firman itu, maupun kebebasan yang lahir untuk mencari terang itu. Sama seperti firman menuntut sebuah respon yang bebas [tidak terpaksa], begitu juga terang memperoleh sebuah respon di dalam gambaran yang memantulkannya. Karena itu, Agustinus dapat menghubungkan pendengaran dan penglihatan, dan berbicara tentang “firman yang bersinar ke luar dari dalam”.[29] Terang itu menjadi, seolah-olah, terang dari sebuah firman, karena ini adalah terang dari sebuah raut wajah personal, sebuah terang yang, bahkan ketika ia menerangi kita, memanggil kita dan berharap agar dipantulkan pada wajah-wajah kita dan bersinar dari dalam diri kita. Namun demikian kerinduan kita akan penglihatan keseluruhan itu, dan bukan hanya dari fragmen-fragmen sejarah, tetap ada dan akan digenapi pada akhirnya, ketika, seperti dikatakan Agustinus, kita akan melihat dan kita akan mengasihi.[30] Bukan karena kita akan dapat memiliki semua terang itu, yang mana selalu akan tidak ada habisnya, melainkan karena kita akan masuk seluruhnya ke dalam terang itu.

34. Terang kasih yang tepat untuk iman dapat menerangi pertanyaan-pertanyaan dari zaman kita sendiri tentang kebenaran. Kebenaran saat ini sering direduksi menjadi keaslian subyektif dari individu itu, yang berlaku hanya untuk kehidupan individu tersebut. Suatu kebenaran umum mengintimidasi kita, karena kita mengidentifikasi itu dengan tuntutan-tuntutan yang tak kenal kompromi dari sistem-sistem totaliter [pengendalian kebebasan, kehendak, pikiran orang lain]. Tetapi jika kebenaran adalah sebuah kebenaran kasih, jika itu adalah sebuah kebenaran yang diungkapkan dalam perjumpaan pribadi dengan Yang Lain-Nya dan dengan sesama lainnya, maka itu dapat dibebaskan dari keterbatasan dalam pribadi- pribadi dan menjadi bagian dari kebaikan bersama. Sebagai sebuah kebenaran kasih, ia [kebenaran kasih itu]adalah bukan sesuatu yang bisa diberlakukan dengan paksa, ia bukan suatu kebenaran yang mencekik individu tersebut. Karena kebenaran lahir dari kasih, ia [kebenaran]dapat menembus ke dalam hati, ke inti pribadi dari setiap pria dan wanita. Maka, jelaslah, iman bukanlah bersikeras pada pendiriannya sendiri, tetapi bertumbuh dalam keberadaan bersama, yang penuh hormat dengan orang lain. Orang yang percaya tidak boleh pongah; sebaliknya, kebenaran membawa kepada kerendahan hati, karena orang-orang yang percaya tahu bahwa, bukannya diri kita sendiri yang memiliki kebenaran, melainkan kebenaran-lah yang merangkul dan memiliki kita. Jauh dari membuat kita jadi tidak fleksibel, jaminan iman meletakkan kita pada sebuah perjalanan; ia memungkinkan kesaksian dan dialog dengan semua.
Tidaklah juga terang iman, yang digabungkan dengan kebenaran kasih, tiada berhubungan dengan dunia materi, karena kasih selalu dihidupi keluar dari tubuh dan roh; terang iman adalah terang yang berinkarnasi, yang memancar dari kehidupan Yesus yang bercahaya. Terang iman juga menerangi dunia materi itu, mempercayai ketertiban yang melekat di dalamnya dan mengetahui bahwa ia [terang iman]memanggil kita kepada sebuah jalur yang meluas tentang keteraturan dan pengertian. Maka pandangan ilmu pengetahuan memperoleh manfaat dari iman: iman meneguhkan hati ilmuwan untuk tetap selalu terbuka terhadap realitas dengan segala kekayaannya yang tidak ada habisnya. Iman membangkitkan rasa kritis dengan mencegah penelitian dari rasa puas dengan rumusannya sendiri dan membantu penelitian untuk menyadari bahwa alam adalah selalu lebih besar. Dengan membangkitkan rasa takjub di hadapan misteri yang mendalam akan penciptaan, iman memperluas wawasan-wawasan akal budi untuk memancarkan terang yang lebih besar kepada dunia yang mengungkapkan dirinya sendiri kepada penyelidikan ilmiah.

0 comments:

Post a Comment