Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Thursday, September 18, 2014

HIBAH ORANG TUA KEPADA ANAK-ANAKNYA DAN KAITANNYA DENGAN WARIS

Catatan: Artikel ini ditayangkan dalam rangka mencari wawasan untuk tambahan dalam pembicaraan seminar "Geger Warisan" di Domus Pacis Minggu 5 Oktober 2014

dari www.hukumonline.com Senin, 16 April 2012
Pertanyaan:
Sebelum wafat ayah saya pernah membagi hartanya kepada semua anaknya yang masih hidup yaitu 3 orang, termasuk saya. Setiap anak diberikan 1 rumah. Sebagai anak laki-laki satu-satunya saya diberikan rumah yang lebih besar. Sedangkan, 2 orang kakak perempuan saya diberikan rumah yang lebih kecil dari bagian saya. Setelah ayah saya wafat, kakak saya berpendapat bahwa harta waris harus dibagi berdasarkan Al-Quran. Pertanyaan saya: 1. Apakah hibah/hadiah kepada ahli waris dibenarkan dalam hukum Islam menurut Al-Quran dan Sunnah? 2. Apakah yang dilakukan ayah saya termasuk hibah atau hadiah? 3. Apakah pengadilan agama berwenang memutus perkara semacam ini, maksud saya pembagian harta sesuai hukum Islam dan amanah Ayah saya? Terima kasih sebelum dan sesudahnya.
ar_arifin
Jawaban:

http://images.hukumonline.com/frontend/lt4b4586344aa95/lt4f828a3b70846.jpg
1.      Definisi hibah, menurut Pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.


Dari cerita Anda, sebelum wafat ayah Anda menghibahkan kepada ketiga anaknya masing-masing sebuah rumah. Anda juga mengatakan bahwa rumah yang dihibahkan kepada Anda lebih besar daripada dua rumah lainnya yang diberikan kepada dua kakak perempuan Anda.


Berkaitan dengan hal tersebut, Nabi Muhammad saw. memang menganjurkan agar orangtua menyamaratakan pemberian kepada anak-anaknya. Hal ini tercermin dalam hadits riwayat dari al Thabrani dan al Bayhaqi dari Ibn Abas RA. bahwa Nabi saw. pernah bersabda yang artinya:


“Samakanlah pemberian yang kamu lakukan terhadap anak-anakmu; dan sekiranya hendak melebihkan, maka hendaklah kelebihan itu diberikan kepada anak perempuan.”


Meski demikian, sikap ayah Anda yang semasa hidupnya memberikan kepada Anda rumah yang lebih besar daripada yang diberikan kepada kedua kakak Anda, tidak dapat dipersalahkan.


Di sisi lain, Anda tidak menjelaskan apakah hibah rumah tersebut dilakukan sesuai prosedur yang semestinya. Untuk diketahui, menurut hukum, hibah atas tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”). Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah:


“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”


2.       Yang dilakukan oleh Ayah anda adalah hibah yang juga diatur Pasal 1666 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut:


 “Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.”


3.      Selanjutnya, Anda menceritakan bahwa setelah ayah Anda meninggal kedua Saudara perempuan Anda ingin agar harta waris ayah Anda dibagi sesuai hukum Islam.


Dalam hukum waris Islam, pada prinsipnya pembagian terhadap anak laki-laki lebih besar dari anak perempuan. Hal ini berdasarkan ketentuan dalam Pasal 176 KHI yang menyatakan sebagai berikut :


“Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.”


Jika keinginan kedua saudara perempuan Anda tersebut berkaitan dengan hibah yang telah diterima dari ayah Anda, maka kita dapat merujuk pada ketentuan Pasal 211 KHI yang menyatakan bahwa hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Penjelasan mengenai Pasal 211 KHI, berikut kami kutip uraian Drs. Dede Ibin, S.H. (Wkl. Ketua PA Rangkasbitung) dalam tulisannya berjudul Hibah, Fungsi dan Korelasinya dengan Kewarisan (diunduh dari www.badilag.net):


Pengertian ‘dapat’ dalam pasal tersebut bukan berarti imperatif (harus), tetapi merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa warisan. Sepanjang para ahli waris tidak ada yang mempersoalkan hibah yang sudah diterima oleh sebagian ahli waris, maka harta warisan yang belum dihibahkan  dapat dibagikan kepada semua ahli waris sesuai dengan porsinya masing-masing. Tetapi apabila ada sebagian ahli waris yang mempersoalkan hibah yang diberikan kepada sebagian ahli waris lainnya, maka hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai harta warisan, dengan cara mengkalkulasikan hibah yang sudah diterima dengan porsi warisan yang seharusnya diterima, apabila hibah yang sudah diterima masih kurang dari porsi warisan maka tinggal menambah kekurangannya, dan kalau melebihi dari porsi warisan maka kelebihan hibah tersebut dapat ditarik kembali untuk diserahkan kepada ahli waris yang kekurangan dari porsinya.”


Kalaupun para ahli waris, terutama Anda dan kedua saudara perempuan Anda, masih belum dapat bersepakat mengenai harta warisan ayah Anda, maka hal tersebut dapat diselesaikan melalui Pengadilan Agama. Hal ini sesuai dengan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU 3/2006”), yang berbunyi:


Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a.      perkawinan;

b.      waris;

c.      wasiat;

d.      hibah;

e.      wakaf;

f.       zakat;

g.      infaq;

h.      shadaqah; dan

i.        ekonomi syari'ah.”


Demikian jawaban dari kami, semoga dapat bermanfaat.
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
3.      Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam

0 comments:

Post a Comment