Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Tuesday, September 9, 2014

SOPAN SANTUN

Pembicaraan dalam Novena Domus 7 September 2014 secara praktis berkaitan dengan soal sopan santun. Tema yang dicanangkan adalah "WONG TUWA ORA KAJEN?" (Orang Tua Tak Dihormati?). Dalam langkah pertama Rama Bambang menampilkan gambar "Anak muda pacaran" dan "Remaja putri naik sepeda pakai rok pendek" yang semua dikatakan terjadi depan orang tua. Para peserta diminta untuk membicarakan tanggapannya dengan yang duduk berdekatan. Ketika diberi kesempatan menyampaikan, muncullah komentar dan pendapat yang dirangkum sebagai berikut:
  • Diberi tahu agar pindah
  • Itu tidak nguwongke (menghargai) orang lain
  • Tidak hormat pada yang tua 
  • Kasih tahu anak-cucu agar tak begitu dengan demikian akan jadi contoh bagi teman-temannya
  • Dalam kenyataan sebenarnya dicuekin sehingga dibiarkan
  • Itu tidak patas, mengganggu orang lain, dan membuat risih
  • Kejadian-kejadian seperti itu mengingatkan pentingnya pendidikan sopan-santun ala budaya timur
  • Hal ini memang memprihatinkan. Generasi kini tak berakhlak karena jadi korban tak adanya pelajaran budi pekerti sehingga menjadi korban sistem
  •  Semuanya diakibatkan orang tua lupa sehingga mengabaikan pentingnya penanaman budi pekerti atau sopan santun
  • Itu adalah tanggungjawab orang tua dan pendidik
  • Semua karena sudah tak berpikir empan papan (tahu bagaimana menempatkan diri)
  • Barangkali semua adalah pengaruh budaya barat seperti seorang gadis men"tato" punggung bagian bawah. 
Setelah mengulas yang diungkapkan oleh para peserta, Rama Bambang menyampaikan pertimbangan dengan tulisan sebagai berikut :


1. Kebersamaan dalam Masyarakat

Dua golongan dalam masyarakat Jawa

Pola hidup bersama dalam masyarakat amat ditentukan oleh tata budayanya.  Kebudayaan berkaitan dengan pandangan hidup warga masyarakat dalam menata hubungan satu sama lain. Dalam masyarakat Jawa ada warisan nilai-nilai budaya yang sadar atau tidak sadar membagi orang-orang dalam dua kelompok: 1) Wong cilik (massa rakyat), dan 2) Wong gedhé (kaum elit). Wong gedhé adalah golongan yang menetukan tata hidup bersama, karena golongan inilah yang memegang hubungan struktural kehidupan umum. Menjadi kaum elit adalah cita-cita umum, karena dengan masuk kelompok wong gedhé orang mendapatkan kesempurnaan hidup. Untuk menjaga kesempurnaan, wong gedhé akan menjaga diri agar tidak jatuh masuk golongan wong cilik.

Menjaga keselarasan adalah paling pokok

Baik wong cilik maupun wong gedhé kesemuanya memiliki prinsip dasar untuk hidup, yaitu menjaga “keselarasan” (harmoni sosial). Segala hal yang membuat dan bahkan memungkinkan adanya konflik dipandang buruk dan berbahaya. Apapun yang baru harus diwaspadai agar tidak mengganggu keselarasan hidup bersama. Penghayatan akan keselarasan ini dihayati secara berbeda di antara golongan wong cilik dan golongan wong gedhé.
Sekalipun menyangkut mayoritas massa rakyat, kebersamaan golongan wong cilik menekankan hidup “paguyuban”. Di dalam paguyuban yang ditekankan adalah hubungan personal yang hangat sehingga iklim kesemartabatan amat kenthal. Pola hidup padha-padha (sama derajat) dan gotong royong (kerjasama) menjadi prinsip yang menyuburkan hidup bersama. Di sini sikap “rukun” amat dijunjung tinggi.
Di kalangan wong gedhé, yang dalam masyarakat tradisional disebut golongan priyayi, pola organisasi menjadi kerangka hubungan satu sama lain. Hubungan antar orang ditentukan oleh status struktural (posisi) dalam tata institusional. Dengan suasana seperti ini sikap “hormat” menjadi nilai yang dijunjung tinggi.

2. Sopan-Santun dan Sikap Hormat

Di dalam kehidupan orang Jawa ada ucapan désa mawa cara, negara mawa tata (desa menggunakan kebiasaan, kota menggunakan aturan). Orang desa (kalangan orang kecil) untuk menjadi baik cukup dengan menjalani berbagai kebiasaan. Sementara itu untuk menjadi sempurna orang harus mampu hidup sebagaimana diajarkan dan diatur oleh orang-orang cerdik pandai dan kuasa (kalangan orang elit). Di kalangan kaum elit segala gerak dan kata-kata dalam hubungan satu sama lain diatur sesuai dengan posisi masing-masing. Di sinilah letak kepentingan sopan santun, yaitu tatanan perilaku untuk hubungan antar orang sesuai dengan posisi strukturalnya. Dengan demikian sopan santun bukan pola untuk hubungan personal, yang menekankan hubungan hati, sebagaimana dalam keluarga dan paguyuban. Memang, di kalangan orang Jawa sopan santun juga menjadi cara untuk menjalin hubungan dengan orang yang belum dikenal dan atau untuk menjaga jarak personal.

Satu hal yang perlu dimengerti adalah pola hubungan Jawa yang menekankan rasa kekeluargaan. Panggilan antar siapapun yang tidak ada hubungan darah biasa menggunakan khasanah sebutan keluarga seperti “bapak, ibu, mbah, eyang, budhé, pakdhé, paklik, bulik, mas, mbak, dik ...” Ini berbeda dengan hubungan orang Barat yang kepada orang lain menggunakan sebut “tuan, nyonya, nona”. Dengan latar belakang seperti ini sopan santun bukan hanya dilakukan oleh yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi dan lebih muda kepada yang lebih tua. Semua menjalani sopan santun:
·         Yang “bawah” dengan sikap ajrih-asih,
·         Yang “atas” dengan sikap ngrengkuh.

3. Sopan-Santun dan Perubahan Zaman: Sebuah Soal

Dalam kenyataan hidup masyarakat selalu berubahan sejalan dengan perubahan zaman. Ada zaman agraris (hubungan orang ditentukan oleh kesatuan dan persatuan suku). Dari agraris zaman berkembang dan berubah karena munculnya masyarakat industri (hubungan orang terbuka pada rasa kebangsaan). Dan kini orang berada dalam zaman global (orang masuk dalam hubungan jejaring dunia).

Satu hal yang harus terjaga, sekalipun ada perubahan zaman, adalah penghayatan nilai-nilai budaya. Bangsa yang tidak menjaga penghayatan nilai-nilai budaya akan mengalami kehidupan yang kacau. Dalam hal ini yang disebut nilai-nilai budaya adalah sikap kejiwaan dan bukan bentuk ekspresi atau ungkapan dan pewujudan diri. Bentuk-bentuk ekspresi akan dipengaruhi oleh kenyataan yang dihadapi. Berkaitan dengan sopan santun, barangkali yang menjadi pertanyaan adalah:
Bagimana orang harus berekspresi dan menangkap ekspresi orang lain
yang mengandung rasa hormat?

0 comments:

Post a Comment