Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Monday, September 15, 2014

PEMBAGIAN WARISAN YANG SAMA ANTARA LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN BUKAN SEBUAH KEADILAN

Catatan: Artikel ini ditayangkan dalam rangka mencari wawasan untuk tambahan dalam pembicaraan seminar "Geger Warisan" di Domus Pacis Minggu 5 Oktober 2014

oleh I Ketut Merta Mupu dalam Kompasiana 1 Oktober 20112


13490908561053824790
Pembagian Warisan Antara Laki-laki dengan Perempuan (blog.innomuslim.com)

Berbicara kehidupan bermasyarakat seringkali kita berhadapan dengan kesenjangan sosial. Di Bali sebagian besar beraggapan bahwa kaum perempuan sering ditindas dan tidak dihargai terutama persoalan pembagian waris. Hal ini disebabkan sistem kekeluargaan yang dianut di Bali. Suatu sistem apabila tidak dipahami secara benar maka akan melahirkan anggapan yang keliru bahkan menyesatkan.
Waris memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Hukum waris adalah bagian dari hukum kekayaan, akan tetapi erat sekali kaitannya dengan hukum keluarga, karena seluruh pewarisan menurut undang-undang berdasarkan atas hubungan keluarga sedarah dan hubungan perkawinan. Dengan demikian, hukum waris termasuk bentuk campuran antara bidang yang dinamakan hukum kekayaan dan hukum keluarga.
Masyarakat adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau kebapaan yang lebih dikenal luas dalam masyarakat Bali dengan istilah kepurusaan atau purusa[1]. Kepurusaan tidak selalu keturunan berdasarkan garis laki-laki, adakalanya berdasarkan garis perempuan, terutama dalam perkawinan nyentana, ini terjadi bilamana sebuah keluarga tidak memiliki keturunan laki-laki. Seperti yang dinyatakan Ketut Sri Utari dalam makalah Mengikis Ketidakadilan Gender Dalam Adat Bali[2], ia mengungkapkan sistim kewarisan menurut garis purusa yang sepenuhnya tidak identik dengan garis lurus laki-laki, karena perempuan pun bisa menjadi “Sentana Rajeg” sebagai penerus kedudukan sebagai kepala keluarga dan penerus keturunan keluarga.
Prinsip-prinsip dalam kekeluargaan kepurusa sama dengan sistem kekeluargaan yang dianut dalam kitab Manawa Dharmasastra, yang dikenal sebagai salah satu kitab Hukum Hindu[3]. Hal ini tidak terlepas dari agama yang dianut mayoritas penduduk masyarakat Bali. Sistem kekeluargaan ini dalam ilmu hukum disebut sistem kekeluargaan patrilineal, sistem kekeluargaan ini dianut dalam masyarakat Batak, Nias, Sumba dan beberapa daerah lainnya. Demikian juga halnya dalam pewarisan ternyata prinsip-prinsip pewarisan hampir serupa dengan ketentuan kitab Manawa Dharmasastra, hanya saja sedikit terjadi penyimpangan, dimana dalam Hukum Hindu perempuan mendapat seperempat, sedangkan di Bali perempuan tidak mendapat warisan.
Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, kaum perempuan mulai menuntut kesetaraan[4] khususnya dalam hal pewarisan. Sebagian perempuan Hindu Bali menghendaki adanya pembagian warisan yang sama antara laki-laki dan perempuan, hal ini dianggap sebagai sebuah keadilan. 
Di Indonesia, sistem pewarisan menggunakan tiga sistem yaitu (1) sistem hukum waris Islam, (2) sistem hukum kewarisan perdata barat dari Burgerlijk Wetboek (BW) atau umum dikenal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan (3) sistem hukum adat. Tampaknya tuntutan pembagian warisan yang sama antara laki-laki dan perempuan dipengaruhi sistem kewarisan dalam hukum kewarisan perdata barat (BW), dimana keturunan laki-laki dan perempuan mendapat warisan yang sama. Sedangkan di Bali sistem kewarisan menggunakan sistem kewarisan adat yang dijiwai Hukum Agama Hindu.
Berbicara warisan memang seolah-olah ada kesenjangan didalam hukum adat Bali, tetapi sebenarnya tidak demikian. Berbicara warisan adalah berbicara hak dan kewajiban. Perempuan Bali pada umumnya hanya sedikit mendapatkan warisan bahkan hampir tidak mendapat warisan sedangkan lelaki mendapat warisan lebih besar. Perempuan yang kawin adalah wajar mendapat sedikit warisan dari orang tua kandungnya karena ia akan melakukan kewajiban di rumah suaminya dan mendapat warisan bersama sang suami. Sedangkan seorang laki-laki akan melaksanakan kewajiban yang besar terhadap leluhurnya misalnya upacara “ngaben”, sehingga wajar ia mendapatkan warisan lebih besar pula.
Menurut Ketut Sri Utari (2006), Konsep warisan dalam hukum adat bali memiliki beda makna dengan warisan dalam pengertian hukum barat, yang selalu merupakan hak dan bersifat materiil atau memiliki nilai uang. Di Bali warisan mengandung hak dan kewajiban yang tidak bisa ditolak bersifat materiil maupun inmaterial. Laki-laki menerima warisan biasanya berupa:
1) Kewajiban terhadap Desa Adat
2) Kewajiban menjaga kelangsungan ibadah pura, pemerajan yang bersifat dewa yadnya
3) Kewajiban melakukan manusia yadnya dan pitra yadnya terhadap anggota keluarga, orang tua maupun saudari perempuannya yang janda atau gadis.
4) Kewajiban melanjutkan keturunan dengan memiliki anak kandung atau anak angkat
5) Mewarisi harta kekayaan keluarga sebaliknya juga semua hutang piutang.
6) Memelihara hidup anggota keluarga termasuk saudari-saudari yang menjadi tanggungjawabnya.
Dari 6 angka di atas ternyata 5 merupakan kewajiban dan hanya satu hak mewaris harta kekayaan. Akan sangat beruntung anak laki-laki bila orang tua kaya, tetapi lebih banyak yang apes/tidak beruntung bila hidup mereka pas-pasan dan bahkan bila sangat miskin seperti itu, tanggungjawab tetap harus dipikulnya[5].
Apabila berbicara warisan tidak berpedoman pada hak dan kewajiban maka akan terjadi kesesatan dalam berpikir. Seperti beberapa daftar kewajiban utama keturunan laki-laki maka dapat disimpulkan kewajiban dan tanggung jawab keturunan laki-laki begitu berat. Sehingga wajar mendapat warisan lebih besar.
Selain itu sebenarnya hukum Hindu (adat) juga tidak melarang orang tua memberi hibah berupa tanah untuk anak perempuannya yang kawin, inilah yang disebut dengan harta tatadan, tentu wewenang sepenuhnya ada pada orang tua. Seorang perempuan Hindu yang kawin juga mendapat “bekel” atau harta bawaan dan apabila ditinjau dari sudut pandang hukum Hindu perempuan mendapat bagian warisan seperempat dari keturunan laki-laki.
Sebagai akibat hukum yang timbul atas pemberian harta tatadan, harus merawat orang tua nantinya kalau ia sudah sakit-sakitan sebagai wujud bhakti anak terhadap orang tua dan juga harus memelihara harta tatadan yang diberikan oleh orang tuanya. Dikemudian hari, bilamana diperlukan oleh orang tuannya, niscaya dapat dimanfaatkan. Hal ini wajar sebab sudah merupakan hukum siapa yang menerima hak maka akan melakukan kewajiban.
Apabila kita bandingkan dengan sistem kewarisan perdata barat (BW) yang hanya berorientasi pada pembagian harta benda saja memang tampak pembagian warisan hukum Hindu maupun hukum adat Bali seolah-olah tidak adil. Tetapi apabila dilihat dari hak dan kewajiban justru pembagian warisan yang sama bukanlah sebuah keadilan melainkan ketidak adilan. Bagimanapun juga adat ketimuran selalu mengedapankan kewajiban kemudian hak mengikuti. Demikian pula halnya dalam hukum waris, siapa yang menanggung kewajiban maka ia pula yang mendapatkan hak, dalam hal ini hak berupa warisan.
Seharusnya perempuan merasa beruntung menjadi individu yang bebas mengekspresikan dirinya, tak terikat kewajiban keluarga akibat hukum tidak menerima hak berupa warisan.
Perlu ditekankan kembali bahwa pada dasarnya warisan bukan untuk dibagi-bagi melainkan untuk dipelihara dan dijaga bersama, terutama warisan yang berupa tanah dan pura keluarga. Selain itu pula berdasarkan “Peraturan (Peswara) tanggal, 13 Oktober 1900 tentang hukum waris berlaku bagi penduduk Hindu Bali dari Kabupaten Buleleng” dikeluarkan oleh Residen Bali dan Lombok dengan permusyawarahan bersama-sama Pedanda-pedanda dan punggawa-punggawa[6], pasal 1 ayat 2 dnyatakan “Sebelum pengabenan diselenggarakan, dilarang melakukan pembagian atas harta peninggalan itu atau melepaskan (mendjual, menggadaikan, dsb), ketjuali untuk keperluan tersebut’. Selanjutnya pasal 2 ayat 1 dinyatakan pula bahwa sisa dari pembiayaan tersebut digunakan untuk keperluan-keperluan keluarga yang ditinggalkan (mungkin maksudnya istri sang pewaris, anak angkat, dsb).

Catatan Kaki

[1] R Soepomo, 1977, hal 51 dalam Wayan P. Windya, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2006, hal 78.
[2] Disajikan (untuk urun pendapat) dalam Temu Ilmiah II Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berspektif Gender se Indonesia ( APPHGI). Tgl 18-20 September 2006, di Hotel Santika Jln Pandigiling 45 Surabaya Telp.031-5667707 . dalam http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/mengikis%20ktdkad%20gender%20ad.pdf . Diakses 22 september 2012.
[3] Wayan P. Windya, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2006, hal 78-79.
[4] Pada hakekatnya memang laki-laki dan perempuan kedudukannya setara, tetapi apabila berhubungan dengan hak dan kewajiban maka akan berbeda, tergantung besar kecilnya kewajiban, seperti dinyatakan didalam Manu Smerti 9.133 yang berbunyi “Tidak ada perbedaan putra laki-laki dengan putra (anak) perempuan yang diangkat statusnya, baik yang berhubungan dengan masalah duniawi ataupun masalah kewajiban suci. Karena bagi ayah dan ibu mereka keduanya lahir dari badan yang sama”
[5] Ketut Sri Utari, Loc Cit

0 comments:

Post a Comment