Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Monday, November 27, 2017

Tak Mau Kupat


Kalau sudah masuk golongan lanjut usia, apalagi terjangkit penyakit-penyakit tua, orang dapat mengalami ketidakmampuan mengorganisasi organ-organ tubuh. Dua hal yang mudah mengganggu orang lain dalam kebersamaan adalah ketidakmampuan menahan kencing dan berak. Tak sedikit seorang lansia yang merasa mau buang air kecil dan ketika dia mulai melangkah menuju toilet, air seni sudah nyelonong keluar tidak menunggu aba-aba. Demikian juga kelompok tinja bisa mendadak nyelonong dari dubur ketika orang baru berniat dalam hati untuk berak. Kondisi seperti ini juga terjadi untuk beberapa rama di Komunitas Rama Domus Pacis. Maka, kalau kencing dan berak saja mudah keluar, kentut pun pasti tidak menjadi hal yang disoalkan. Ternyata rama-rama Domus Pacis memiliki jurus untuk tidak terganggu terhadap yang di antara mereka memiliki masalah-masalah kelansiaan tersebut. Jurus itu amat mudah dan sederhana tetapi membutuhkan sikap hati menguatkan telinga tak terganggu oleh suara "tak sopan". Para rama Domus, yang kalau omong-omong secara praktis hanya pada saat makan, biasa berkelakar tentang kondisi-kondisi kelansiaan tadi. Berceritera pengalaman-pengalaman ngompol dan kecirit sambil makan sudah tidak mengganggu kenikmatan dan kelahapan. (Tentu saja, hal ini tak terjadi bila ada tamu ikut makan.)


Yang mengherankan, tampaknya dari suasana saling ceritera dan saling mentertawakan, itu semua menjadi seperti terapi mengurangi kondisi dol (tak mudah menahan). Barangkali dengan tidak mempersoalkan realita kelansiaan membuat kaum lansia mendapatkan kesadaran tanda-tanda awal kalau akan kencing atau berak. Kelakar "tak sopan" seperti itu misalnya terjadi pada makan siang Senin 20 November 2017. Pada saat itu di antara menu terdapat tahu kupat. Rm. Harto minta Mas Abas, yang biasa menyuapi, untuk mengambilkan menu itu. Tahu, taoge, sayuran lain, dan kuah kecap sudah berada dipiring. Tetapi Rm. Harto dengan telunjuk tangannya menunjuk-nunjuk sambil berkata sesuatu. Tangan beliau, yang selalu bergerak-gerak karena tremor, membuat jari telunjuk menunjuk sana-sini. Suara yang lemah membuat omongan tak jelas. "Niki?" (Minta ini?) kata Rm. Bambang menunjuk lauk tertentu, yang diulang-ulang sambil menunjuk menu lain. Tetapi Rm. Harto selalu memberi kode "Bukan" dengan telapak tangan yang lain. Mas Abas, yang berusaha bertanya beberapa kali tetapi tidak memahami jawabannya, tiba-tiba berkata "Oooo, mboten kersa mawi kupat" (Oooo, tidak mau memakai kupat). Rm. Yadi bertanya kepada Rm. Bambang "Mboten purun mawi napa?" (Tak mau pakai apa?) yang dijawab "Kupat". Sesudah itu terjadi gelak tawa dari semua yang ada di kamar makan, karena Rm. Yadi dengan sembrono berkata "Oooo, kula kira KOPET" (Oooo, saya kira TAI KECIL DI CELANA ORANG).

0 comments:

Post a Comment