Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Thursday, September 6, 2018

Mengapa orang Indonesia lebih mementingkan asal sekolah (almamater) dibandingkan dengan ilmu atau pengalaman, terutama saat wawancara kerja?

diambil dari https://id.quora.com/

Y. Amanda Syaputri, Asisten Dosen Komunikasi Antarbudaya di The London School of Public Relations


Karena Indonesia termasuk negara High Context Culture. Saya membicarakan tentang teori dari antropolog Edward T. Hall yaitu dunia ini terbagi menjadi 2 kebudayaan besar: High Context Culture & Low Context Culture. High Context Culture adalah negara” Asia, Afrika, Eropa Barat (Inggris & Prancis) & Eropa Selatan (Italia, Spanyol, Yunani), Amerika Latin. Sedangkan Low Context Culture adalah sisanya: Amerika Utara, sebagian besar Eropa, Australia & Selandia Baru.
Ciri” High Context Culture adalah:
  1. Collectivistic atau mementingkan kebersamaan & kekeluargaan. Lebih mengutamakan keluarga dibanding diri sendiri.
  2. Mementingkan hubungan pada setiap relasi. Contohnya kita sungkan menegur rekan kerja kita ketika melakukan kesalahan karena dia adalah sahabat kita, jadi takut kalau menegur nanti malah akan jadi bertengkar.
  3. Terdapat tumpang tindih antara hubungan pribadi (private relationship) dengan hubungan profesional (professional relations). Misalnya kita bisa menjalin hubungan asmara dengan rekan kerja atau klien.
  4. Menilai & mementingkan Status Sosial. Jati diri seseorang dinilai dari “Anak siapa kamu/dia?” atau “Dari kelompok sosial atau kasta mana kamu/dia?”. Identity is identified.
  5. Menilai & mementingkan apa yang dimiliki (titel, harta, besaran gaji, jabatan).
Di sisi lain karakteristik Low Context Culture adalah kebalikan dari High Context Culture:
  1. Individualistik
  2. Relasi hanya dibuat atas kepentingan. Jika kepentingan sudah tercapai maka relasi juga usai. Contohnya hubungan dengan klien hanya terjadi selama proyek/pekerjaan berlangsung. Begitu pekerjaan selesai relasi juga selesai.
  3. Terdapat perbedaan antara private life & professional life. Bagi mereka private life adalah keluarga, pasangan & sahabat. Maka jangan heran jika di negara Barat resepsi pernikahan hanya dihadiri segelintir orang. Karena memang mereka hanya mengundang orang-orang di lingkaran private life saja.
  4. Tidak menilai & mementingkan Status Sosial. Siapa keluargamu & orang tuamu tidak penting karena setiap individu membentuk jati dirinya sendiri. Identity is earned.
  5. Bukan melihat apa yang kamu miliki tapi melihat apa yang bisa kamu kerjakan dari yang kamu miliki itu. Misalnya seseorang yang jabatannya Managing Director dengan gaji $100,000 apa saja kinerjanya? Apa layak kinerjanya diberi gaji sebesar itu?
Jawaban pertanyaan ini adalah poin 4 & 5 dari ciri-ciri High Context Culture. Seperti kita tahu Pemerintah setiap tahun menerbitkan Peringkat Universitas Terbaik. Namun karena kita negara yang budayanya High Context Culture, peringkat tersebut justru menciptakan status sosial di benak masyarakat terhadap perguruan tinggi. Karena jadi terbentuk “Oh, yg peringkat 10 besar ini universitas bagus. Pasti lulusannya pintar-pintar, lulusannya berkualitas.” Pertanyaannya: Apa benar pasti begitu?
Saya mengajar di universitas swasta. Saya sendiri lulusan universitas negeri terbaik versi peringkat Pemerintah (versi 2010–2012 untuk Program Studi Komunikasi). Kampus tempat saya bekerja tidak pernah masuk 10 besar universitas dari Pemerintah. (Kami juga tidak repot menyesuaikan diri untuk itu karena kami memilih mematok pada kriteria akreditasi internasional.) Tapi dengan haqqul yakin saya mengatakan bahwa mahasiswa kami jauh lebih kreatif & nantinya lebih mampu menciptakan lapangan kerja dibanding mahasiswa dari almamater saya. Karena kurikulum kami practical oriented. Jadi mahasiswa kami terbiasa mengerjakan projects hampir tiap semester.
Contoh untuk poin 5 adalah memang terdapat perbedaan pada CV dari negara High Context Culture & CV dari negara Low Context Culture. CV dari negara High Context nama institusi pendidikan & nama perusahaan dulu bekerja yang ditulis pertama, bahkan di-bold kalau perlu. Sedangkan nama jurusan, berapa lama kuliah & nama divisi terdahulu, berapa lama bekerja ditulis di baris bawah. Kita juga tidak pernah diajarkan untuk menjabarkan pada CV mengenai Project/Riset selama kuliah & Project yang dikerjakan di kantor. Karena kemungkinan besar HRD negara High Context juga tidak ambil pusing tentang itu. Bagi mereka nama besar almamater sudah jaminan mutu.

0 comments:

Post a Comment