Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Monday, January 15, 2018

BAGAIMANA LANSIA MEMAHAMI GENERASI MILENIAL?

diambil dari http://167.205.67.209 November 6, 2017 Admin STEI
Kata-kata apa yang melekat untuk generasi milenial? Egois, suka selfie, tidak sopan, atau gadget oriented? Bila ini Anda tanyakan pada mereka yang ‘berumur’, bisa jadi jawabannya satu, sebagian, atau malah seluruh kata-kata tersebut. Benarkah?
Pada tahun 2013 silam, Majalah TIME pernah memuat tajuk “Me Me Me Generation” yang ditulis oleh Joel Stein. TIME menyebutkan bahwa generasi millenial tumbuh ke arah yang keliru. Stigma yang dilekatkan kepada mereka di antaranya narsis, penggila gadget, egois, dan manja.
“Semakin banyak orang usia 18 sampai 19 tahun yang masih tinggal dengan orangtua,” tulis TIME.
Anda setuju? Mungkin jawabnya di dalam hati saja. Tapi, bukan tanpa alasan stigma-stigma tersebut muncul. Manja di sini, contohnya, mengacu pada mereka yang masih tinggal bersama orangtua pada usia di saat mereka seharusnya sudah berkeluarga.
Menurut CNN.com, walau tingkat pengangguran pemuda AS menurun, namun biaya hidup meningkat. Sementara itu, gaji karyawan rata-rata stagnan. Akibatnya, generasi millenial berjuang lebih keras dalam membiayai diri sendiri. Bagi mereka, menabung adalah prioritas belakangan. Mereka ‘terpaksa’ tinggal dengan orangtua mereka.
Lebih mengkhawatirkan, generasi milenial diasosiasikan melekat dengan gadget. Tidak sedikit kejadian ketika sang anak ‘sibuk’ mengutak-atik gadget, sementara orangtuanya berada di dekatnya.
Well, yang perlu ditekankan di sini adalah hindari asumsi. Bisa jadi, dalam konteks ini, si anak belajar atau bekerja melalui gadget-nya itu. Di era ini, banyak pekerjaan bisa digabungkan ke dalam satu alat. Lain halnya bila si orangtua anak tersebut mengajak bicara. Maka, sudah kewajiban anak untuk mendengarnya tanpa disibukkan dengan hal lain.
Stigma lain yang sering disematkan kepada generasi milenial adalah selalu ingin diperhatikan dan dihargai. Ini sebenarnya berakar dari kebiasaan yang diterapkan oleh generasi sebelumnya. Psikolog terkenal Carl Rogers menyarankan agar perusahaan bisa meningkatkan kepercayaan diri karyawan mereka. Murid-murid sekolah didukung agar lebih spontan dan bebas. Penilaian moral ‘baik dan buruk’ pun diterapkan ulang.
Dampaknya banyak perusahaan yang membanggakan karyawan mereka. Hal ini bisa dilihat dari salah satu keyword yang paling dicari beberapa tahun belakangan adalah ‘keterlibatan karyawan’ (employee engagement).
Ini, sama sekali, bukanlah hal buruk. Masalahnya ketika generasi X dan baby boomers hanya duduk di meja menunggu promosi dari bos, generasi milenial justru berusaha agar kinerja mereka dihargai. Bagi sebagian orang, terutama dari generasi baby boomers, ini dinilai sebagai bentuk narsisme. Padahal, ini sesungguhnya merupakan bentuk usaha pengembangan diri.
Ini semua adalah persepsi. Satu hal yang jelas, generasi milenial memiliki korelasi dengan generasi-generasi sebelumnya. Dengan kata lain, ada proses yang terjadi. Maka, akan lebih bijak bila penilaian diberikan melalui lebih dari satu sudut pandang.
Diolah dari berbagai sumber.
Featured image by Oren Atias on Unsplash

0 comments:

Post a Comment