Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Friday, September 20, 2019

Santa Lusia Pak Hui-sun

diambil dari katakombe.org/para-kudus Hits: 1090 Diterbitkan: 16 Januari 2019 Diperbaharui: 02 Februari 2019
ilustrasi dari koleksi Blog Domus

  • Perayaan
    24 Mei - 20 September (Pesta Para Martir Korea)
  •  
  • Lahir
    Tahun 1801
  •  
  • Kota asal
    Seoul Korea Selatan
  •  
  • Wafat
    24 Mei 1839 di Seoul Korea Selatan | Martir.
    Dipenggal di luar Pintu Gerbang Kecil Barat bersama para Martir Katolik lainnya
  •  
  • Venerasi
    9 Mei 1925 oleh Paus Pius XI (decree of martyrdom)
  •  
  • Beatifikasi
    5 Juli 1925 oleh Paus Pius XI
  •  
  • Kanonisasi
    6 Mei 1984 di Yoido, Seoul oleh Paus Yohanes Paulus II. Sumber : Katakombe.Org

Santa Lusia Pak Hui-sun adalah adik dari Santa Maria Pak K’un-agi. Mereka berasal dari keluarga kaya di kota Hanyang (Seoul).  Pak Hui-sun terkenal akan kecantikannya. Pada usia dini ia telah dipanggil menjadi dayang-dayang bagi Permaisuri Kim Sunwon di istana kerajaan. Selain cantik dan menawan, Pak Hui-sun juga pintar dan terampil. Dia fasih berbahasa Korea dan Mandarin sehingga dengan cepat ia dipromosikan. Di sisi lain, kecantikannya juga menjadi sumber masalah. Saat Pak Hui-sun berumur lima belas tahun, Raja Sunjo (raja ke-23 Dinasti Joseon, Korea. Bertakhta sejak tahun 1800 sampai tahun 1834) yang saat itu masih berusia tujuh belas tahun melihatnya dan segera tertarik pada kecantikannya. Sang raja lalu berusaha untuk merayunya.
Wanita istana biasanya akan menganggap hal ini sebagai suatu kehormatan dan kebanyakan dari mereka akan berusaha keras untuk menarik perhatian raja. Namun Pak Hui-sun menghormati sang Ratu dan tidak ingin menyakiti hatinya.  Karena itu dengan keberanian yang luar biasa ia berhasil menghindar dari godaan raja Sunjo. Rumor tentang situasi itu sempat merebak ke seluruh istana.  
Ketika ia berusia tiga puluh tahun, Pak Hui-sun mendengar tentang Gereja Katolik untuk pertama kalinya. Jenuh dengan kehidupan di istana yang penuh intrik politik, ajaran iman Katolik yang baru dikenalnya menjadi cahaya yang menuntunnya menjalani kehidupan yang lebih baik. Dia ingin mempelajari lebih dalam tentang ajaran iman Katolik, namun aturan ketat dalam istana Kerajaan tidak memungkinkan nya untuk melakukan hal tersebut. Di masa itu, seorang dayang istana biasanya akan hidup selamanya dalam istana. Mereka hanya diperkenankan meninggalkan istana bila memiliki alasan yang sangat serius. Demi beroleh kesempatan mempelajari iman Kristiani, Pak Hui-sun berpura-pura sakit hingga diperbolehkan meninggalkan istana untuk menjalani perawatan.
Ayah Pak Hui-sun sangat marah dengan keputusan puterinyanya keluar dari istana. Ia bertambah murka setelah mengetahui alasan puteri kebanggaannya itu pergi dari istana, yaitu untuk mempelajari ajaran iman Katolik. Pak Hui-sun lalu diusir dari rumah dan terpaksa tinggal bersama dengan keponakannya. Disana Pak Hui-sun menolak semua kemegahan dan kemewahan serta memilih cara hidup yang sederhana. Teladan hidupnya yang kudus membuat keponakannya dan juga keluarga keponakannya tertarik akan ajaran iman Kristiani. Mereka ikut belajar katakese, lalu dibaptis bersama-sama. Pak Hui-sun memilih nama Babtis : Lusia.
Beberapa waktu kemudian, seorang saudarinya yang bernama Pak K’un-agi datang untuk tinggal di rumah tersebut. Tidak lama kemudian saudari ini juga dibabtis dengan nama Maria. Tidak diketahui latar belakang pertobatan Maria Pak K’un-agi. Namun tidak diragukan lagi, pertobatannya terjadi karena pengaruh adiknya Lusia.
Ketika penganiayaan terjadi, mereka berusaha untuk tenang dan tetap hidup bersama-sama. Pada tanggal 15 April 1839 polisi kerajaan mendatangi rumah mereka. Lusia Pak Hui-sun keluar menemui mereka dan mengundang para polisi itu untuk makan dan minum anggur. Keluarganya serta umat Katolik lainnya sangat terkejut akan sikapnya. Namun ia berkata dengan tenang, “Tidak akan terjadi sesuatu tanpa izin Tuhan. Jika ini adalah kehendak-NYA, maka marilah kita menerimanya dengan rela.”
Lusia Pak Hui-sun, kakaknya Maria Pak K’un-agi, dan umat Katolik lainnya lalu ditangkap dan digiring ke penjara. Mereka tahu betul bahwa mereka mungkin akan dianiaya dan dihukum mati, namun mereka sama sekali tidak merasa takut. 
Berita penangkapan seorang wanita istana segera kemudian menyebar ke seluruh wilayah kerajaan. Sebuah perintah dikeluarkan oleh istana, “Jika ditemukan bukti terhadap seorang mantan wanita istana, atau pun yang masih berstatus sebagai wanita istana, mereka harus ditangkap sesudah pemberitahuan kepada pihak istana.”
Karena Lusia Pak Hui-sun pernah menjadi seorang wanita istana, ia pun disiksa tanpa ampun. Komisaris polisi berteriak kepadanya, “Wanita istana lebih terdidik daripada wanita lainnya, bagaimana kamu bisa percaya akan agama palsu dan tercela ini?”  Pak Hui-sun menjawab, “Kami tidak mempercayai agama ini sebagai agama palsu. Tuhan telah menciptakan segala sesuatu di langit dan di bumi dan telah memberikan kehidupan kepada manusia, sehingga layaklah untuk memuji dan menyembah Tuhan. Adalah suatu kewajiban bagi semua orang untuk memuliakan Tuhan.”
Sang komisaris lalu menatapnya dan berkata, “Tinggalkanlah Gereja Katolik, dan berikan nama-nama umat Katolik lainnya.” Lusia menjawab, “Tuhan adalah Penciptaku dan juga Bapaku, aku tidak dapat meninggalkan-NYA walau apapun yang akan terjadi. DIA juga melarang kita untuk membahayakan nyawa orang lain, karena itu saya tidak dapat memberitahukan nama umat beriman lainnya.” Komisaris segera menyadari bahwa dia tidak akan berhasil membujuk Lusia Pak Hui-sun. Karena itu ia mengembalikan Lusia ke penjara.  
Di penjara, Lusia disiksa tiga kali lebih banyak dari umat Katolik yang lain. Ia dicambuk dengan tiga puluh cambukan setiap kali ia disiksa. Dagingnya terkoyak hingga tulang-tulangnya terlihat. Sebuah kakinya lalu dipukuli hingga patah dan ia roboh bermandikan darah. Lusia menyeka luka-lukanya dengan rambutnya sambil berkata, “Sekarang saya dapat sedikit merasakan rasa sakit yang diderita Tuhan Yesus dan Bunda Maria.” Ia tetap tegar selama menjalani penyiksaan dan menolak untuk menunjukkan rasa sakitnya.  
Beberapa hari kemudian, luka-luka di sekujur tubuh wanita perkasa ini sembuh dengan sempurna tanpa meninggalkan bekas sedikit pun. Mujizat ini  dalam beberapa hari dan membuat takjub semua orang dan menggentarkan hati para penjaga dan hakim. Mereka lalu mengaitkan mujizat ini dengan ilmu sihir.
Menyadari tidak ada harapan untuk membujuk para tahanan Kristen untuk mengakui kesalahan dan meninggalkan iman mereka, hakim lalu menjatuhkan hukuman mati kepada meraka. Catatan pengadilan mereka menyebutkan :
“Pak Hui-sun dan teman-temannya tetap bertahan dalam kesesatan mereka. Perbuatan mereka jahat dan tidak tulus. Perkataan mereka dan keheningan mereka semuanya adalah tahayul dan sihir. Dalam perkataan dan bahasa isyarat, mereka tidak melakukan apapun selain kutukan. Mereka menolak untuk menyesalinya dan oleh karena itu mereka pantas dihukum mati.”
Dalam penjara, Lusia Pak Hui-sun menjadi contoh seorang pengikut Kristus yang sejati. Ia menjadi guru katekese bagi para tahanan Kristen, menghibur mereka yang berduka dan menguatkan iman mereka di tengah kekhawatiran dan keraguan. Lusia sendiri dengan tabah mempersiapkan diri untuk menjalani hukuman mati. Dikatakan pada suatu hari ia pernah memanggil algojo dan berkata kepadanya, “Saya memiliki sebuah permintaan. Saat anda memenggal kepala saya, janganlah ragu. Lakukanlah dengan satu kali tebasan.”
Hukum Korea dimasa itu tidak memperbolehkan dua bersaudara untuk dieksekusi pada hari yang sama. Karena itu Lusia dan Maria akan dieksekusi pada waktu yang berbeda. Pada tanggal 24 Mei 1839, Lusia Pak Hui-sun yang saat itu berusia 39 tahun, bersama delapan martir Kristen lainnya digiring keluar penjara menuju Pintu Gerbang Kecil Barat kota Seoul untuk dieksekusi. Dia berpamitan kepada umat di penjara lalu berkata kepada para tahanan yang akan dieksekusi bersamanya; “Mari kita berjalan menuju kemartiran untuk mendapatkan kemuliaan di Surga.” Lusia terus melantunkan berdoa di sepanjang jalan menuju tempat eksekusi. Ia tidak kehilangan ketenangannya dan menerima tebasan algojo dengan senyum kemenangan.
Empat bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 3 September 1839, kakaknya Maria Pak K’un-agi dieksekusi ditempat yang sama bersama Santa Barbara Kwon Hui dan beberapa martir lainnya.
 Sumber : Katakombe.Org

0 comments:

Post a Comment