Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Sunday, September 29, 2019

Santa Theodota

diambil dari katakombe.org/para-kudus Hits: 4047 Diterbitkan: 28 Juli 2014 Diperbaharui: 22 September 2016
ilustrasi dari koleksi Blog Domus

  • Perayaan
    29 September
  •  
  • Lahir
    Hidup pada abad ke-4
  •  
  • Kota asal
    Philippopolis - Thrace (sekarang Plovdiv – Bulgaria)
  •  
  • Wafat
    Martir - di sekitar tahun 318.
    Dihukum cambuk, dicabut giginya satu demi satu, tubuhnya dicabik-cabik dengan sisir besi dan lukanya di siram dengan cuka dan garam, lalu akhirnya dirajam sampai mati
  •  
  • Kanonisasi
    Pre-Congregation Sumber : Katakombe.Org

Menjelang akhir masa pemerintahan Kaisar Licinius, di sekitar bulan September tahun 318, terjadi penganiayaan pada orang Kristen di kota Philippopolis di Thrace (sekarang kota ini disebut Plovdiv – kota terbesar kedua di Bulgaria). Penganiayaan ini bermula ketika Prefek (walikota) Philippopolis yang bernama Agripa memerintahkan agar seluruh kota harus mempersembahkan korban bagi Dewa Apollo. Perintah ini tentu saja tidak dapat dilaksanakan oleh para pengikut Yesus.
Santa Theodota adalah seorang bekas pelacur yang telah bertobat dan telah dibabtis menjadi seorang kristen. Ia dengan berani menolak untuk bergabung dengan orang-orang yang hendak mempersembahkan korban bagi dewa kafir tersebut.  Orang-orang yang mengenal masa lalunya mengejek dan menertawakannya. Kepada mereka Theodata berkata bahwa dia memang telah berdosa dengan begitu menjijikan, tapi ia kini ia telah bertobat. Ia tidak mau menambah lagi dosa-dosanya dan menajiskan dirinya dengan memberikan persembahan bagi dewa Apollo. Melihat keberaniannya; sebanyak tujuh ratus lima puluh orang, termasuk diantaranya beberapa anggota tentara Romawi, ikut menolak memberi persembahan bagi dewa Apollo dan mengakui diri mereka sebagai orang Kristen.
Banyak dari mereka yang kemudian ditangkap dan dibunuh. Theodota juga ikut ditangkap dan  dilemparkan ke dalam penjara. Dalam penjara bawah tanah yang pengap tersebut, Theodata terus menerus berdoa sepanjang waktu. Dalam doa-doanya ia kerap menangis; bukan karena takut akan hukuman mati yang menantinya, tapi karena merasa dirinya tidak layak untuk ikut menderita seperti Kristus.
Saat dibawa ke pengadilan Theodota menangis dengan suara keras, dan berdoa dengan sungguh-sungguh memohon agar Kristus bersedia mengampuni dosa-dosa masa lalunya, dan memohon kekuatan untuk ia dapat menanggung semua siksaan kejam yang akan ia terima.  Dalam jawabannya kepada hakim dia mengaku bahwa dia pernah menjadi seorang pelacur, tapi ia kini telah menjadi seorang Kristen, dan meskipun merasa dirinya tidak layak, namun ia akan tetap setia pada imannya.
Jawabannya membuat Hakim dan Prefek Agripa marah. Mereka memerintahkan agar Theodota dihukum cambuk.  Para prajurit kafir yang berdiri di dekatnya, menasihatinya agar ia membebaskan diri dari hukuman ini dengan berpura-pura menyangkal iman Kristianinya dan mempersembahkan korban kepada Dewa Apolo. Tapi Theodota tetap teguh pada imannya. Ia malah berkata dengan lantang :   "Saya tidak akan pernah meninggalkan Allah yang benar, dan tidak pernah mempersembahkan korban kepada patung yang tak bernyawa."  
Theodota lalu dicambuki dan terus dicambuki sampai ia tidak sadarkan diri. Setelah itu ia diikat pada sebuah tiang lalu tubuhnya dicabik-cabik dan dirobek sedikit demi sedikit dengan sisir besi. Dalam siksaan yang mengerikan ini, Theodatta dengan sungguh-sungguh berdoa kepada Kristus, dan berkata : "Aku memuja-Mu, ya Kristus, dan terima kasih, karena Engkau telah membuatku layak untuk menderita demi nama-MU."
Keteguhan Theodota membuat Agripa bertambah murka.  Ia meminta algojo untuk terus merobek tubuhnya dengan sisir besi, sedikit demi sedikit; dan menuangkan cuka dan garam ke luka-lukanya. Sungguh mengerikan siksaan ini, namun Theodota tetap kokoh dengan imannya.  Kepada Agripa ia berkata :
“Saya tidak takut sedikitpun pada siksaan yang anda berikan. Saya memohon agar anda terus meningkatkan siksaan ini. Supaya saya bisa memperoleh pengampunan atas semua dosa masa lalu dan memperoleh mahkota yang lebih mulia."
Dan siksaan terus berlanjut.  Agripa memerintahkan untuk mencabut gigi Theodota satu demi satu agar ia mengalami penderitaan yang hebat dan berkepanjangan.
Hakim kemudian memerintahkan  agar ia dirajam sampai mati.  Theodota lalu diseret keluar kota dan dilempari dengan batu sampai ia mati. Saat meregang nyawa, Theodota berdoa:
"Ya Kristus, sebagaimana Engkau telah menunjukkan kemurahan hati-MU kepada Rahab, perempuan sundal itu; dan menerima penyamun yang bertobat di sisi salib-MU; kini janganlah Engkau memalingkan belas-Kasih-MU dariku”
Santa Theodota menerima mahkota kemartirannya sekitar tahun 318 di Philippopolis – Thrace.

Setiap Martir Adalah Persembahan Bagi Gereja

 Sumber : Katakombe.Org

0 comments:

Post a Comment