Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Thursday, August 1, 2019

Bermakna Karena Siap Tak Berguna


"Sebagai orang-orang yang sudah berusia 60 tahun keatas, apakah yang membuat saya atau kita merasa bermakna dalam hidup ini?" Pertanyaan ini saya lontarkan dalam rekoleksi lansia yang diadakan oleh pengurus dewan Gereja Seyegan. Di dalam rekolesi ini tema yang dibicarakan adalah "Menjadi Lansia yang Bermakna". Ini terjadi pada hari Sabtu sore jam 16.00-18.00 pada tanggal 13 Juli 2019. Para peserta yang berjumlah lebih dari 200 orang saya minta omong-omong dengan kiri-kanan dan muka-belakangnya.

Butir-butir Yang Diomongkan

Sesudah menganggap cukup untuk waktu omong-omong, saya membuka kesempatkan bagi para peserta untuk mengungkapkan hasil pembicaraannya. Dari ungkapan-ungkapan yang muncul, saya mencatat beberapa hal yang dianggap menghadirkan makna hidup sebagai kaum lanjut usia.
  • Bisa memberi saran dan pemahaman.
  • Bisa menjadi berkat dalam arti hal-hal yang bermanfaat banyak untuk keluarga dan masyarakat.
  • Mampu hidup sendiri dalam arti siap tidak dikunjungi oleh anak dan cucu.
  • Mudah diminta jasanya dengan siap menjadi pengurus apa saja.
  • Ikut kegiatan-kegiatan.
  • Tidak membuat perkara atau menjaga kerukunan dengan keluarga dan masyarakat.
  • Bisa membantu belajar cucu.
Kecuali butir "Mampu hidup sendiri", butir-butir lain menunjukkan derap aktifnya lansia berperan dalam kegiatan-kegiatan untuk orang lain.

Catatan untuk Istilah Adiyuswa

Beberapa orang yang tampil berbicara kerap mengucapkan kata adiyuswa sebagai istilah untuk kaum lanjut usia. Saya mengatakan ada kelompok-kelompok yang menggunakan istilah adiyuswa untuk kelompok lansia. Bahkan ada yang menentang istilah lansia yang berkonotasi menunjukkan situasi dan kondisi melemahnya golongan usia 60 tahun keatas. Lalu yang dipilih adalah istilah adiyuswa. Ini adalah istilah dari kata jawa adi (indah) dan yuswa (usia). Dengan istilah ini kaum berusia lanjut berada dalam masa indah sehingga sering disebut masa usia emas.

Dalam hal itu saya menunjukkan kenyataan yang sering memunculkan suara-suara miring tentang sikap dan perilaku kaum lanjut usia yang dianggap mengganggu kenyamanan hidup bersama. Beberapa contoh saya ketengahkan seperti suka berceritera tentang kedudukan dan kehebatan masa lalu, merasa lebih tahu dibandingkan dengan kaum muda, suka menegatifir perilaku kaum jaman kini. Dari sini saya mengatakan bahwa adiyuswa adalah cita-cita bagi kaum lansia. Lansia itu realita dan adiyuswa adalah cita-cita. Maka kita berusaha menemukan makna bagi kaum usia 60 tahun keatas agar mampu menghayati masa lansia yang indah.

Realita Kaum Lansia

Berkaitan dengan realita kaum lansia, secara terus terang saya menyatakan bahwa gejala pelemahan amat menonjol. Secara fisik kaum lansia sekalipun tanpa penyakit akan mengalami berbagai pelemahan daya. Barangkali ada sosok lansia yang merasakan kebugaran seperti kala masih muda. Tetapi pada umumnya orang dengan memasuki usia lanjut mengalami penurunan daya panca indranya. Banyak penjelasan biologis menjelaskan tanda-tanda perubahan yang membuat kaum lansia harus siap meninggalkan berbagai aktivitas masa lalunya. Secara jiwani perubahan-perubahan kondisi hidup juga dapat membuat orang mengalami berbagai permasalahan. Apalagi di era global, kaum lansia harus menghadapi amat banyak sekali hal baru yang membuatnya mudah jauh tertinggal dari derap kaum muda. 

Terhadap realita seperti itu saya mengatakan bahwa kalau lansia tetap ingin berperan aktif dalam jajaran umum, dia akan mengalami persoalan-persoalan paling tidak secara sosiologis (ketidakditerimaan) dan psikologis (ketidakirasionalan dalam menghadapi kenyataan). 

Spiritualitas Tak Berguna

Sebenarnya ketika berada di Seyegan saya menggunakan inspirasi iman kepada sesama dari bacaan Injil Minggu 14 Juli 2019 (Luk 10:25-37). Yang pokok lansia tidak mengejar harus diakui masih kuat berperan dengan posisi tertentu. Lansia tidak berambisi masih bisa berguna dapat menjadi tokoh. Yang pokok lansia menjalani kasih dengan kemungkinan yang ada padanya untuk peduli pada kebersamaan. Barangkali kini kepeduliannya lewat tetap mau ikut pertemuan yang dipimpin oleh orang-orang yang jauh lebih muda. 

Tetapi untuk tulisan ini saya akan mengetengahkan spritualitas atau gaya sikap batin yang saya ketemukan lewat Injil Lukas 17:7-10. Dalamhal ini saya akan mengutip semua yang pernah saya tulis dalam buku SEJIMPIT BUTIR-BUTIR CATATAN DARI RUMAH TUA hal 50-57.

Luk 17:7-10 :
"Siapa di antara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan! Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum. Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya? Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan."


Tentu saja permenungan saya diwarnai oleh situasi hidup yang sudah masuk dalam golongan kaum usia lanjut. Hal lain yang cukup mewarnai datang dari pelayanan keagamaan yang saya jalani, yaitu misa arwah. Dengan dua warna ini permenunganku banyak mendapatkan cahaya suasana hidup senja menyongsong datangnya suasana penghayatan tidur enak meninggalkan kesibukan sehari-hari duniawi.

1.     Tuhan Egoistis?

Ketika membaca Luk 17:7-10 saya tahu bahwa yang terpapar di situ adalah perumpamaan. Walau ada kata hamba enam kali (yang terakhir “hamba-hamba”) dan tak ada kata “tuan”, tetapi benak saya mengatakan bahwa itu bicara tentang hubungan antara “hamba dan tuan”. Ketika benak berkata “hubungan hamba dan tuan”, ternyata hati mengartikan “hubungan manusia dan Tuhan Allah”. Di sini saya menyadari bahwa aku, manusia, memang bagian dari karya ciptaan-Nya. Tetapi aku termasuk gambaran jati diri ilahi (Kej 1:26-27) karena ada anugerah roh ilahi meresap dalam diri saya (Kej 2:7). Katanya di hadapan Allah manusia adalah makhluk kudus kesayangan ilahi (Ul 7:6). Apalagi di hadapan Yesus, saya tidak menjadi hamba dan menjadi salah satu sahabatnya (Yoh 15:15). Kalau ada perintah, perintah-Nya adalah perintah kasih seperti Dia telah mengasihi saya (Yoh 15:12).

Menimbang gambaran-gambaran yang membanggakan saya sebagai ciptaan yang punya tempat khusus di hadapan yang ilahi, maka perumpamaan dalam Luk 17:7-10 menimbulkan kejutan tidak enak di dalam hati. Di situ tergambar Tuhan Allah yang tak ambil pusing dengan kondisi orang yang sudah bekerja sesuai tugas yang sudah diberikan kepadanya. Di situ tergambar Tuhan Allah yang hanya perintah sesuai kepentingan-Nya sendiri. Dia maunya dilayani lebih dahulu. Bukankah ini berlawanan dengan kata-kata Yesus “Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Mrk 10:45)? Kata-kata ayat 9 “Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya?” bagi saya amat bertentangan dengan gambaran Tuhan Allah yang memberikan penghargaan bagi yang telah bekerja baik (Mat 25:14-30 dan Luk 19:12-27). Mengapa Lukas menjadi satu-satunya penginjil yang menghadirkan gambaran Tuhan Allah seperti itu. Apakah diam-diam Tuhan Allah itu egoistis?

2.     Tuhan Takut Tersaingi?

Permenungan saya makin membuat rasa penasaran karena memperhatikan ayat 10 “Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan." Masakan Tuhan memberi nasihat agar saya jadi “hamba tak berguna”. Padahal dengan tinggal di rumah tua para rama yang bernama Domus Pacis Puren, saya merasa berguna. Bukankah di antara umat Katolik sering dijumpai ucapan “Wah, setelah Rama Bambang di Domus Pacis, rumah itu berubah jadi semarak menyenangkan”? Bukankah saya juga berperan dalam hadirnya konsumsi makan harian dari para relawan-relawati untuk 93 kali kalau tanggal dalam bulan mencapai angka 31? Bukankah saya juga berperan untuk pengembangan pendampingan iman kaum usia lanjut yang mewarnai Domus Pacis? Bukankah saya ikut berperan membuat Domus Pacis tidak menjadi tempat terpinggir, sepi, bahkan seperti rumah tahanan?

Dari perasaan memberontak itu, saya sungguh sulit menerima nasihat Tuhan untuk menjadi hamba yang tidak berguna. Kalau orang-orang saja ada yang menghargai, mengapa Tuhan menyebut saya sebagai hamba tidak berguna? Bukankah Allah itu Mahapengasih dan Mahapenyayang? Bukankah Dia itu Sang Kasih sendiri (1Yoh 4:8)? Apa artinya “TUHAN kiranya membalas perbuatanmu itu, dan kepadamu kiranya dikaruniakan upahmu sepenuhnya oleh TUHAN” (Rut 2:12) dan “Kamu tahu, bahwa setiap orang, baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan” (Ef 6:8)? Apakah dengan Luk 17:10 ternyata diam-diam Tuhan takut mendapatkan saingan?

3.     Lho, Tak Terhitung, Ta?

Pada suatu hari, ketika beliau masih tinggal di Domus Pacis, Rm. Agoeng bertanya kepada saya “Pikantuk undangan saking Museum mboten?” (Dapat undangan dari Museum?). Ternyata beberapa hari kemudian saya membaca berita-berita FB dari Museum Misi Muntilan yang menayangkan cerita-cerita singkat hajatan besar disertai gambar-gambar. Rm. Agoeng sebagai ketua Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan diundang dan datang bersama tim kerjanya. Tentu saja beliau diundang untuk membuat dokumentasi. Jujur saja, ketika Rm. Agoeng bertanya kepada saya tentang dapat undangan atau tidak, dan ketika saya menjawab “Mboten” (Tidak), di dalam hati muncul suara “Wis ra kepetung, kok” (Sudah tidak masuk hitungan).

Ketika saya ingat peristiwa sekilas karena pertanyaan Rm. Agoeng, saya menyadari pandangan saya tentang hubungan kerja bersama dengan orang-orang dekat. Bagaimanapun kalau sudah pindah tempat, hubungan dekat dengan yang lampau akan selesai. Seorang pastor yang tidak dapat melepas kedekatan hubungan dengan orang atau orang-orang area kerja yang sudah ditinggalkan, dia akan menjadi sosok bermasalah. Bagaimanapun juga, orang akan mengalami kewajaran hidup kalau mampu merasa at home dengan orang-orang yang biasa muncul dalam kehidupan harian dimana dia tinggal. Ketidakmampuan menerima realitas ada bersama dengan orang-orang yang sehari-sehari dijumpai, hal itu akan membuat orang menjadi sosok bermasalah dan membuat masalah.

Tetapi menjadi orang wajar dan mampu menikmati hidup harian dengan enak membawa konsekuensi menjadi jauh dan tidak akrab dengan orang-orang yang pernah dekat dan kini sudah tidak menjadi kebersamaan harian. Memang, dalam momen-momen tertentu sehingga berjumpa dengan orang dekat masa lampau bisa membuat suasana amat menyenangkan. Omongan-omongan yang bernuansa nostalgia menggairahkan akan muncul. Tetapi itu hanya momental sekalipun dapat muncul kata-kata “Saya kangen sekali”. Momen-momen seperti itu hanya seperti peristiwa piknik melihat alam lain yang tidak ada dalam kehidupan harian. Sesudah itu semua akan kembali ke kesibukan harian masing-masing.

Satu hal yang kemudian muncul dalam kesadaran saya, di dalam hidup harian tak ada orang berjasa. Memang, orang yang egoistik mau enaknya sendiri akan mendapatkan celaan. Tetapi orang yang ikut bertindak demi kebaikan bersama juga tidak akan mendapatkan ucapan “Terima kasih” apalagi sanjungan kecuali pada momen tertentu seperti ketika diulangtahuni atau mungkin waktu meninggal dunia. Makin ikut berperan dia, kalau dalam perannya muncul masalah, makin dia dituntut kerja lebih. Makin kerja karena keprihatinan demi kebaikan bersama, makin mudah mendapat celaan ketika muncul soal. Di dalam kehidupan harian orang tidak menghitung apa saja hasil baik dari sosok yang mengerjakan kepentingan bersama. Sosok seperti ini akan masuk benak kebersamaan ketika muncul soal dan atau ketidak puasan. Tetapi ketika suasana baik-baik saja “Lho, tak terhitung, ta?

4.     Bagaimana Dengan Usia lanjut?

Bagaimanapun juga dengan masuk golongan usia lanjut dan masuk rumah tua saya tidak ikut lagi dalam derap kesibukan orang-orang aktif produktif dan yang masih menyandang dinas resmi. Makin tua dan usia lanjut, saya sadar akan makin masuk dalam suasana kesendirian. Pada umumnya, sekalipun masih serumah dengan anak cucu, orang yang sudah usia lanjut akan tidak mudah untuk mengalami kebersamaan duduk dan omong-omong. Pada umumnya anak dan cucu memiliki kesibukan sendiri-sendiri. Kaum usia lanjut akan mengalami perhatian khusus kalau tiba-tiba kondisinya mengkhawatirkan misalnya karena sakit. Dalam keadaan biasa, kalau minta perhatian khusus dengan minta ini dan itu, dia dapat dicap sebagai yang banyak merepotkan atau rèwèl. Apalagi kalau dia kemudian berbicara tentang jasa-jasa masa lampau, model usia lanjut seperti ini bisa dikatakan masuk golongan penderita post power syndrom.

Dalam kondisi dan situasi sudah masuk golongan usia lanjut, berhadapan dengan yang muda hingga kanak-kanak, saya sadar bahwa sebagai orang beriman barangkali harus menghayati hidup seperti muncul dalam kata-kata Simeon “Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu,  sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu,  yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa,  yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, .....” (Luk 2:29-32) Kaum usia lanjut yang sungguh hidup dalam tuntunan Roh menyadari bahwa peran sosialnya akan bahkan harus makin menghilang. Dia harus makin menghayati secara mendalam kata-kata “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38 band Mat 26:39)

Sebenarnya yang diomongkan itu bukan sikap kerohanian khas untuk usia lanjut. Itu adalah sikap rohani yang harus dikembangkan oleh semua murid Kristus dari segala generasi. Semua murid Kristus harus menghayati sikap perhambaan sebagaimana Dia yang berkata “dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.  Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Mrk 10:44-45) Dan yang seperti inilah yang dalam keadaan apapun dapat menghadirkan keceriaan relung hati yang menghadirkan kegembiraan bagi siapapun yang ada di hadapannya. Dengan demikian saya berharap dapat menghayati kehendak ilahi sebagaimana dikatakan oleh Santo Paulus “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” (1 Tes 5:18)

0 comments:

Post a Comment